Kenapa milih “bule”, apa mereka emang lebih baik daripada lokal? “Bule” atau Lokal, mana yang lebih OK?
Wanita yang pasangan hidupnya non-Indonesia, pasti familiar banget dengan yang begini ini.
Jawaban setengah bercanda mungkin sering diberikan seperti: “Wah, baru pernah menikahi salah satu doang, jadi ya ngga tahu gimana bedanya :-D!” Jawaban yang “crafty” sih hehe, aku juga kadang pakai terutama jika yang saya hadapi orang yang sekedar kepo alias usil bin nyinyir. Tapi jika ini adalah pertanyaan yang diajukan secara serius, maka saya juga nggak keberatan untuk menjawab dengan serius juga, dan itu akan saya lakukan sekarang melalui tulisan ini :).
Meskipun mungkin memang belum pernah tinggal bersama, tapi mereka yang sudah pernah mengalami pacaran cukup lama sepertinya kita akan tetap bisa memperkirakan kurang lebih seperti apa kira-kira kalau hidup dengannya sebagai suami istri dan mengapa kita lebih milih si A atau si B untuk menghabiskan hidup.
Saya kebetulan pernah ngalamin “in love” dengan pria lokal juga, jadi bisa memang bisa membuat perbandingan kira-kira ini.
Lalu apa jawabannya?!?
Kalau menurut pendapat saya, kita tidak bisa menjawab pertanyaan ini secara “overall”, karena setiap manusia pada dasarnya memiliki kepribadiannya masing-masing.
“Bule” ataupun Indonesia, sama-sama manusia juga kan? Walaupun mungkin memang ada pengaruh kultur pada kebiasaan dan pola pikir mereka.
Tapi jika kita ingin membandingkan “attitude” atau pola pikir mana yang lebih baik, saya rasa itu juga kurang pas.
Kalau kita mau bilang pria bule lebih baik, apakah lantas kita mau bilang bahwa wanita yang bersuami pria Indonesia dapat pilihan buruk dan nggak bahagia?
Begitu juga sebaliknya jika saya bilang pria Indonesia pola pikir dan “attitude”-nya lebih baik, apa itu berarti wanita yang bersuamikan “bule” lantas kebahagiaannya cuma semu?
Bukankah itu juga absurd?
Sejauh ini saya sering bilang bahwa setelah mengalami beberapa kali hubungan dengan orang lokal yang gagal, saya akhirnya berkesimpulan bahwa saya lebih suka dengan pria eropa dan nggak merasa cocok dengan pria indonesia.
Tapi itu nggak berarti saya berpendapat bahwa pria Indonesia itu nggak baik.
Saya hanya berkesimpulan bahwa kepribadian dan pola pikir saya kebetulan memang jauh lebih sesuai dengan pola pikir eropa.
Saya juga sering bilang bahwa saya ngga ingin mencari imam tapi mencari partner hidup, dan itu memang benar.
Tapi ini juga ngga berarti lantas wanita-wanita yang bertujuan mencari imam bagi hidupnya itu melakukan kesalahan.
Kebutuhan dan apa yang dianggap seseorang mampu membuat hidupnya terasa “content” itu kan emang sifatnya sangat personal, jadi ya memang tidak bisa distandardisasi.
Belum lagi kalau kita sudah bicara “CINTA”.
Tidak ada cinta yang salah.
Yang ada hanyalah orang yang membuat pilihan penting dalam hidup secara tidak sensibel hanya karena mengikuti emosi dan hasrat hati.
Saya merasa jauh lebih cocok dengan pria Eropa karena pada umumnya mereka memberikan saya ruang privat yang cukup luas untuk melakukan dan memutuskan sesuatu yang cuma relevan bagi diri saya secara mandiri.
Saya nggak harus selalu minta pendapat apalagi ijin pasangan jika saya merasa itu tidak punya efek tertentu pada dia atau kepentingan bersama.
Saya adalah seseorang yang butuh ruang yang luas untuk diri saya, karena itu saya tidak suka dengan tendensi pria asia untuk merasa perlu “menjadi sosok pelindung” dan mengurusi pasangannya.
I don’t need a protector nor a guardian, I can protect my self well enough.
Tapi kan ada juga wanita yang menyukai perhatian besar dan luas seperti ini and that’s absolutely fine.
Pria asia cenderung menunjukkan perhatian yang besar jika mereka sayang, antar jemput seolah menjadi kewajiban, cemburu itu tanda cinta, dan hal-hal semacam itu.
Itu adalah kesan saya sejauh ini.
Jadi saya kurang sepakat dengan ungkapan bahwa pria eropa selalu lebih romantis daripada pria asia.
Karena untuk bisa memberikan evaluasi seperti itu, sebelumnya kita harus tetapkan dulu apa itu yang bisa dikategorikan “romantis”?
Apakah dengan memberi bunga itu cukup untuk bisa dilabeli “romantis”?
Lantas apakah jika pria Indonesia yang tahu bahwa pacarnya tidak punya kendaraan pribadi ikhlas selalu menyempatkan diri untuk menjemputnya pulang kerja menempuh macet meskipun lokasi mereka sangat jauh,
karena nggak tega membiarkannya berdesakan di buskota dan ambil resiko mengalami pelecehan seksual tidak bisa dikatakan “romantis”?
Cowok Indonesia itu justru lebih banyak lho perhatiannya kalau sedang naksir cewek.
Telepon rajin cuma untuk nanyain udah makan apa belum, bersedia direpotin ngantar kemana-mana,
kalau kebetulan punya banyak duit juga mereka malah lebih royal dengan hadiah dan traktir-mentraktir…
karena kultur asia yang patriarki mendidik mereka untuk menjadi penopang finansial keluarga, jadi royal dalam hal duit pada “wanitanya” jika mereka berdompet tebal bukanlah hal istimewa di Asia.
Maka dari itu asumsi bahwa kawin dengan pria “bule” bisa hidup lebih royal dan gaya itu nggak selalu benar.
Pria asia nggak kalah royal kalau punya duit, malah kalau berdasarkan pengalaman saya, pria asia justru jauh lebih royal.
Asian men would spoil their women rotten, when they have the ability to do it.
Cuma masalahnya, konsekuensinya ya itu, wanita jadi sering diperlakukan seolah sebuah "properti", meskipun dianggap sebagai hal yangg berharga, tapi kalau kesannya kayak properti gitu kan ngga selalu dikehendaki oleh setiap wanita. Contohnya saya.
Saya tipe orang yang sangat pragmatis, karena itu saya justru tidak nyaman dengan hal-hal semacam itu.
Saya ngga suka dimanja berlebihan kalau konsekuensinya membuat saya jadi terkekang. Ini ngga ada hubungannya dengan status bisa berkarir ataupun jadi ibu rumah tangga.
Karena saat ini saya juga kebetulan jadi full ibu RT lho, dan saya baik-baik saja kok.
Tapi sebaliknya kan ada juga wanita yang justru menikmatinya, menikmati "kemanjaan dan perlindungan" yang mana disaat yang sama juga berarti "kontrol" dan dominasi itu.
Kecenderungan posesif pria Indonesia (kebanyakan ya, bukan berarti ngga ada pengecualian) sangat mengganggu saya, tapi ada kelompok wanita lain yang justru merasa terganggu kalau pasangannya ngga pernah cemburu dan memberinya banyak kebebasan.
Golongan yang ini cenderung menganggap terlalu banyak memberi kebebasan itu adalah signal ketidakpedulian.
Apakah sekedar sering bilang “I love you”, memberi panggilan “sayang, darling, dst” itu cukup untuk mengkategorikan seseorang “romantis”?
Suamiku malah justru bilang: “Kata cinta kalau terlalu sering diucapkan nanti malah inflasi lho 😀 .”
Hah, inflasi gimana?
Lha iya, kalau terlalu sering di ucapkan sehari-hari, lama-lama kesannya jadi ngga istimewa lagi, jadi kaya orang makan dan minum saja.
It will be taken for granted. So, my hubby is very rarely saying “I love you”, he also calls me by Name, tanpa embel-embel “Schatz, darling, honey, sayang, etc…”
Nggak pernah kasih bunga (bagi dia: janganlah merampas sumber makanan serangga hanya untuk kesenangan kita yang cuma sesaat saja), ngga nganter aku kemana-mana, bahkan nggak pernah nanyain atau nyari apalagi neleponin dan SMS-in kalau aku pergi keluar rumah nanya kapan aku pulang, ngga punya tradisi harus selalu ngasih hadiah ultah atau dinner romantis misalnya...
But I just know that he really really cares about me, sees me as the only thing he would never leave behind and spoils me with his own way.
Contohnya aja: Dia selalu membujuk-bujuk aku untuk ikut kalau dia ingin jalan-jalan ke hutan, semua teman dia menjadi temanku juga karena aku nggak pernah ketinggalan diajak selama aku mau, dia nggak pernah membangunkan aku dan bahkan dengan hati-hati secepat mungkin mematikan weker kalau terpaksa dia harus bangun pagi, dia mengantar aku tidur tiap hari, ya saya ngga salah ngomong....
meskipun dia orang yang pelit dengan ucapan "cinta", bahkan celetukan-celetukannya kadang-kadang lebih sering bikin aku geregetan dan gemas keki, tapi dia bisa dikatakan mengantar aku tidur seperti layaknya ortu saya dulu waktu aku kecil, seperti dia membawa putri kecil kami tidur juga, setiap kali dia masih mau begadang lebih lama karena ada banyak kerjaan 😀 😀 .
Dan kata siapa kawin sama bule lantas bisa dianterin sarapan ditempat tidur, lantaran si abang bule rata-rata pada jago masak juga?
Aduuuh, suamiku nggak bisa masak atuh wkwkwkwk, tapi well,... dia selalu ambilin aku minum sih, kalau malem-malem aku haus. Kebiasaan aku suka terbangun trus kehausan tapi lupa bawa minuman ke kamar kita dilantai atas.
Aku bilang semua ini cuma untuk menunjukkan betapa karakter setiap orang itu unik, jadi tidak bisa kita mengkategorikan apakah “bule” pasti begini dan pria asia itu begitu, bule pasti lebih baik dari pria indonesia ataupun sebaliknya.
Saya juga ngga bermaksud bilang bahwa kebiasaan yang tipikal disebut romantis itu jelek lho. Saya cuma bilang bahwa itu ngga selalu cocok bagi setiap orang LOL. Semua yang pernah jadi mantan saya dulu melakukan apa yang sering disebut orang "romantis". Jadi kembali ngga selalu tepat untuk bilang bahwa semua pria indonesia nggak ekspresif dalam soal perasaan hehe.
Yang benar adalah: bahwa setiap orang akan lengkap dan “content” hidupnya hanya jika dia menemukan pasangan yang “pas” sesuai dengan kebutuhannya ngga cuma secara fisik tapi juga psikologis, dan itu terlepas dari status apakah itu dengan “bule atau dengan orang “asia”.
Dan hal itu hanya bisa dinilai oleh orang-nya sendiri masing-masing, ngga bisa mengambil cermin dan memakai standard penilaian dari orang lain. Orang luar boleh ngomong dan menduga apa aja, tapi yang tahu faktanya adalah kita sendiri.
Cuma sang pemakai lah yang bisa menentukan apakah sepasang sepatu tertentu itu enak dipakai atau nggak, orang lain cuma bisa melihat dan berspekulasi.
Dimana-mana pengecualian itu selalu ada. Karena itu, kenalilah dulu orangnya dengan baik sebelum memutuskan hehe.
Orang barat dan Asia keduanya memiliki daya tariknya sendiri. Saya memilih menikahi orang eropa, tapi nyatanya saya juga suka banget dengan gantengnya artis asia seperti: Wallace Huo, Hu Ge, Saif Ali Khan dan Takeshi Kaneshiro hehehe.
Saya memilih pria eropa cuma karena sejauh ini saya kebetulan ngga pernah beruntung berkenalan dengan pria indonesia yang bisa membuat saya merasa lengkap, yang cocok dengan kepribadian saya. Itu aja.
There is no man better or worse, apalagi dari bangsa ini atau itu yang lebih baik atau lebih jelek… yang ada hanyalah: apakah pria A, B, atau C itu cocok dengan kita atau tidak, terlepas darimana dia berasal, bangsa apa, juga agama/kepercayaan apa yang dia peluk atau justru ngga punya agama. Baik dan buruknya karakter atau attitude seseorang, tidak selalu berhubungan dengan kebangsaannya, tapi lebih pada entah itu karakter bawaan genetis dan seperti apa proses tumbuh kembangnya sejak anak-anak sampai menjadi dewasa.
Jadi tolong teman-teman wanita indonesia yang suka nanya seperti ini: “Enak ya kamu dapat suami ‘Bule’?”, apalagi kalau kamu sendiri sudah punya pasangan, janganlah bertanya hal semacam itu lagi.
Karena secara tidak langsung kamu akan membuat orang jadi bertanya-tanya: “Apakah kamu nggak puas dengan suami lokal kamu sendiri?
Apakah kamu mau mengatakan bahwa suami Indonesiamu itu nggak cukup baik?
Kalau nggak baik kenapa dinikahi?”
Tapi diatas semua itu, yang paling menjijikkan adalah pertanyaan model begini: "Bule itunya besar ya? Bener ngga sih kata majalah2 itu, kalau itunya bule lebih besar daripada orang asia? Seks nya kuat ya?"
Well hellooo.... kok ironis sekali ya, masyarakat yang selalu membangga-banggakan katanya budaya timur adiluhung, tapi bisa memikirkan pertanyaan ngga sopan macam itu?
Dan pertanyaan macam ini ngga bisa dibilang jarang lho.
Disini bertanya hal macam itu bisa ditampar kali ya, atau minimal mah bakal ilfil ngga bakal mau temenan lagi deh sama si penanya.
Cuma berhubung seringnya orang indonesia yang nanya gitu itu biasanya dengan tampang tak berdosa...
endingnya seringnya saya memang cuma bisa jawab begini deh:
"Maaf sekali, saya belum pernah nikah sama orang asia, jadi ngga bisa membandingkan atuh.
Atau barangkali kamu mau buka celana (suruh suami kamu buka celana didepan saya), nanti saya baru bisa kasih jawaban, gimana menurut kamu, mau :-D ?
Eng ing eeeeeeeeeeeengg LOL
Note:
Ini sekalian promosi ya, kalau emang penasaran dengan kehidupan para pelaku pernikahan campuran, monggo silahkan beli buku ini yaaa.
Ini proyek bersama saya dengan beberapa teman sesama pioneer "Komunitas Kawin Campur".
Ini buku sumbernya dari cerita nyata banyak teman senasib dan seperjuangan saya, dan ngga sekedar buku pencari sensasi dengan fokus pada isu kontroversial saja, seperti yang banyak kita temukan selama ini.
Disini dikupas seluruh aspek yang ada dalam kehidupan kami, baik dari proses perkenalan, lika-liku birokrasi yang rumit sampai seluruh resiko juga masalah yang dihadapi baik dari masalah culture shock sampai ke isu hukum dan kematian. Monggoooo...
Sekian dan terimakasih ;)
Tulisan yg ini ganas ya...😂. Aq br baca ni, maklum emak2 rempong. Kalo aku sih yess, tiap manusia itu mmg unik dg kelebihan masing2. Menurut aq nikah sama yg bikin nyaman aja, krn nikah itu perkara seumur hidup. Terlalu guanteng jg bikin eneg, terlalu romantis bikin ilfil. Kalo kata Bg Haji sii...
😂😂
HAhahahhaha .... terlalu ganteng entar jangan2 malah ngga tenang tiap kali si abang pergi keeluar rumah hahahahahah
Katanya sih.. .cowo ganteng jaman now suka sama yang ganteng juga. Hahahaha.😂
Weis, akhirnya muncul tulisan dengan tema ini hehehe. Suka baca hal2 kayak ginian, menambah insight. Yang bikin ngekek di tulisan adalah cinta yg diobral bisa bikin inflasi hahaha....emang ada perempuan yang sukak diobralin, tp ada juga yg ngga.
And yes, merit itu ya dengan pasangan hidup yg cocok, tak peduli dr negara mana, dr ras mana dia berasal. Sy dulu jg pernah dekat dgn pria asing, tp ndak cocok hahaha...ternyata sy lebih cocok sama orang lokal. Tapi both punya kelebihan dan kekurangan, itu sih dah pasti ya mbak, namanya juga manusia wkwkwk..
Hahaha, iya...ada yang suka diobralin, tentu ada juga yang nggak suka :-D
Ngga ada yang namanya orang yang sempurna, semua orang harus menentukan skala prioritas nya masing-masing.
Kita ngga bisa selalu mendapatkan semua yang kita inginkan dalam hidup.
Ideal itu utopia. :-D
Yang penting jangan sampai membeli kucing dalam karung, tapi kalau emang suka main tebak-tebakan dan adu untung sih ya terserah juga, kan yang nanggung resiko juga diri sendiri hehehehehe.
Setujuu banget sama tulisan mbak di atas.. memilih pria bule bukan berarti pria indonesia tidak baik. Dan mungkin benar kultur patriaki yang kental banget di indonesia membuat seakan-akan kebanyakan pria menganggap wanita sebagai properti. Kan sampe ada lagunya tuh "Wanita di jajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu."
Hahahahaha... iya memang... kadang2 rasanya bagaikan burung disangkar emas gitu deh.
Ini ngga boleh itu ngga boleh, potong rambut aja kadang ada lho yang mesti ijin segala.
Saya pernah tuh ngalami, dulu saya kerja masuknya jam 9... jam 7 pagi udah nongkrong tuh cowok dirumah kos saya, buat ngantar saya kerja adooooh... iler saya aja masih belum dibersihkan, capek dueeeeeh.
Saya bilang pulang kerja mau mampir dulu ke perpustakaan cari buku, ngga usah dijemput.
Eeeh tetep aja nongol. Padahal saya sengaja mau pulang sendiri karena milih buku itu pasti lama, saya kalau udah ada ditempat kumpulan buku ngga akan ingat waktu, berasa disurga, maunya dinikmati lama-lama.
Tapi kalau ada yang nungguin kan jadi nggak enak, apalagi saya tahu dianya sendiri ngga hobi baca buku.
Well...lama-lama saya jadi ilfil beneran tuh, ini sebenarnya beneran karena peduli atau karena mau mengawasi? What does he think I am? Di perpustakaan pun masih perlu diawasi juga?
But hei... saya ada temen cewek yang justru memperbudak cowoknya habis-habisan sampai jam 3 pagi disuruh nganterin hidangan buat sahur pas ramadhan pun si cowok mau lho.
Saya mungkin menganggap itu perbudakan dengan memanfaatkan "cinta", ya, tapi itukan dimata saya (terlepas siapa itu yang jadi budak, entah si pria ataupun si wanita).
Kalau yang "diperbudak" sendiri menganggap itu cara dia membuktikan cinta, then who am I to judge?
Selama kedua pihak sama-sama rela (ngga bisa dikategorikan KDRT maksudnya), dimata saya itu sah-sah aja, ngga ada orang luar yang berhak komentar.
haha suka ni dengan sebutan "perbudakan atas nama cinta" wkwkw
Ah ternyata ada juga yang kaya saya yang mikirnya, "sepertinya pemikiran dan perilaku saya lebih cocok untuk punya pasangan bule".
Cuma bedanya mba udah "berhasil" menemukan pasangannya, sedangkan saya masih berjuang haha.
Sering sharing tulisan macam gini donk mba, yg membahas ttg hidup dgn perbedaan kultur gitu, menarik bangett buat dibaca & nambah wawasan.
Thank u for sharing
Hahahahaa semoga lekas ketemu yang diharapkan hehe.
Kapan-kapan saya nulis lagi.
Mungkin bisa juga beli bukunya tuh, ada banyak info berguna disana.
@kobold-djawa mam...
Actualy I cant understand this langauge..I think this is indonesian langauge...
No problem, because it's indonesian issue anyway. Yes, it is indonesian language.
Paklek ah, kalau bule ntar Di Arak Di publik, kan Ga boleh gays Di Indo 😂 Ga nyambung yah jeng 😂
Ngga boleh? Emang ada ya UU nya, ngga tahu saya? Yeah, pantas aja deh Indonesia susah maju, lebih sibuk buang waktu ngurusin urusan kamar tidur orang lain sih, daripada memikirkan bagaimana bikin makmur bangsa dan cara menyelesaikan masalah serius yang lebih menyangkut kepentingan nasional.
Bangsa lain udah sampai ke bulan dan mikirin Mars, orang indonesia masih berkutatnya seputar bawah udel LOL.
Prioritasnya selalu salah tempat. :-D
hallo ..mbak..e ..gimana kabarnya...???
ini soal rasa..yang sesungguhnya...cieee
kalo cabe pedas,gula manis,garam asin dan lain lain
tapi kalo cinta rasanya itu....gak ada yang bisa menjabarkan sampai tuntas...
bule atau asia sebetulnya jiwa aslinya sama kalo karena fisik akan menipu kita...
itu aja ya mbak kalo di jabarin banyak hehehe
Kalau lagi jatuh cinta, tahi ayam pun rasa coklat... kata seorang penyanyi dulu hahahahaha
Maaf Mba tulisan nya saya senang dan bener banget menurut karakter kehidupan saya biarpun ga baca keseluruhannya tapi garis besarnya saya mengerti. Salam sehat2 selalu dan bahagia.
Terimakasih... mungkin lain kali bisa disempatkan baca semuanya hehe.
Wihhhh... Informatif sekali @kobold-djawa.. Semua postingan Anda layak diikuti. Terima kasih sudah berbagi.. Salam dari Aceh Mbak.. :)
salam kembali
Wah. Buku ini bisa jadi panduan untuk yang ingin kawin campur antar bangsa nih. Keren. Jadi punya cara pandang baru tentang itu.
Salam
Iya, soalnya banyak juga yang salah persepsi tuh dengan kehidupan di LN itu kayak apa, karena yang dilihat cuma dari film dan sinetron yang tentunya menampilkan yang keren2, para turis yang memang sengaja ingin memanjakan diri untuk sesaat dengan uang tabungan beberapa tahun hasil mengencangkan ikat pinggang erat-erat LOL, atau selain itu liatnya ke para ekspatriat yang kerja di perusahaan multinasional di indonesia, dimana biaya hidup ditanggung kantor, ggajinya utuh, berupa dolar pula sementara makenya di indonesia wkwkwkkw.
Jelas aja bisa jadi nyonyah, punya pembantu...disini, yang di indonesianya anak mama manja sekalipun begitu pindah disini kebanyakan pada berubah jadi "Inem" wkwkwkwkwk.
Bule2 di Aceh yang singgah ke Sabang,banyak juga yang menikah dengan cewek lokal. Pindah agama ke Islam, tinggal di kampung dan berbaur dengan orang Aceh kebanyakan. Yang kerennya, di kampung saya itu, mereka menghasilkan anak yang 'eropa' banget, tapi ngomongnya bahasa aceh tulen. Fasih betul misalnya ketika ia memaki dalam bahsa Aceh.
Ini mungkin contoh bule yang berhasil masuk dan berasimilasi dengan budaya lokal Aceh yang kental Islam.
Salam dari Aceh yang damai.