Perubahan Sosial dalam Menghadiri Acara: Kenal Tuan Rumah, Jatah Makan, dan Gengsi Sosial
Terkadang kita selalu berpikir agak susah berada di kerumunan orang, terutama karena tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang benar-benar menikmati di tengah keramaian. Terlebih lagi, kalau orang tersebut menjadi pusat perhatian. Ketika hadir dalam satu forum, orang tersebut mampu menarik perhatian orang lain kepada dirinya. Kata orang, individu jenis ini memiliku pesona dan kharisma. Tidak hanya itu, ada juga yang terkesan memiliki wibawa.
Guru saya (alm. Prof. Joel S. Kahn) dalam satu sesi acara di Jakarta lebih tertarik untuk keluar dari keramaian. Sampai-sampai saya harus menemaninya merokok di luar acara seminar. Dia tidak begitu tertarik dengan acara basa-basi. Bahkan, ada guru besar salah satu kampus di Jakarta, yang mengatakan lebih nyaman beristirahat di kamar, ketika harus ikut bersosialisasi dalam seminar-seminar. Guru besar ini pun kerap memanggil orang yang akan diajak untuk berdialog. Namun demikian, ada pula seorang yang hobi menjadi pusat perhatian dalam berbagai pertemuan di level nasional dan internasional. Seolah-olah dia ingin mengatakan: “kehadiran saya sangat penting dalam acara tersebut.”
Saya telah menghadiri berbagai forum dengan berbagai kapasitas. Jumpa banyak orang di berbagai even, baik resmi maupun tidak. Banyak tingkah polah yang sudah dilihat. Terkadang proses penerimaan dalam forum pun harus cepat dipelajari. Sebab, di situ siapa saja yang akan mengambil manfaat dari acara tersebut. Siapa saja yang harus diajak berbicara. Pernah dalam acara lepas sambut pada satu kantor, saya harus bergegas pulang, karena tidak ada yang saya kenal dan tidak bahan obrolan dengan orang-orang di samping. Semua mata tertuju pada tokoh-tokoh yang menjadi bintang dalam acara tersebut.
Gejala tidak kenal sering melanda ketika mendapatkan undangan dari seseorang yang tidak dikenal pula. Kerap diundang hanya karena nama saya terlihat sebagai pegawai di kantor saya. Karena saya ada dalam daftar, maka mendapatkan undangan. Ketika sampai ke tempat acara pesta, tidak ada yang dikenal dan tidak tahu siapa tuan rumah. Akhirnya, hanya dua hal yang dilakukan: makan siang dan amplop. Setelah itu, langsung kembali ke areal parkir. Setelah beberapa kali mengalami pengalaman tersebut, saya akan hadir pada acara yang masuk dua kata kunci dengan tuan rumah: kenal dan tahu. Jika kedua kata kunci ini tidak ada, maka agak susah bagi saya untuk hadir. Hal serupa juga dilakukan oleh sejawat saya yang mengatakan merasa terganggung harinya, jika mendapatkan undangan hanya karena masuk dalam daftar gaji di kantor.
Baru-baru ini saya pun mencoba mengecek berapa harga satu porsi makanan kalau acara pesta di gedung. Rupanya angka lumayan fantastis, yaitu: mulai dari 40 hingga 50 ribu per-porsi. Tentu tuan rumah tidak akan mengatakan bahwa mereka akan cari untung atau minimal kembali modal. Akan tetapi ketika melihat angka tersebut, maka saya mulai berpikir berapa cocoknya untuk mengisi amplop. Minimal akan diisi mendekati angka tersebut. Kalau saya bawa anak, maka saya akan tambahkan lagi, karena saya tidak mau tuan rumah rugi. Karena pesta di kota bukan hanya sekedar selebrasi, tetapi juga untuk unjuk gensi dan kembali modal.
Gejala bawa anak pun sekarang mulai tidak disukai. Pernah salah satu hotel di Aceh Tengah tidak membolehkan sarapan pagi kepada saya dan anak-anak. Petugas hotel hanya mengatakan makanan disediakan hanya untuk tiga orang. Pada saat itu, saya pun menginap lebih dari 3 orang. Akhirnya, saya pun akhirnya sarapan di luar, karena tidak mungkin membagi jatah makan bersama anak-anak saya. Selama menginap di hotel tersebut, saya tidak menggunakan fasilitas sarapan pagi.
Pengalaman lain adalah, saya pun sempat ditegur oleh petugas hotel di salah satu kawasan kota Banda Aceh, karena membawa anak-anak menginap dalam acara dinas. Padahal, saya baru sampai jam 2 pagi dari Aceh Selatan dan terpaksa menginap di hotel tersebut, karena besok menjadi pembicara. Walhal, panitia menyediakan kamar untuk saya. Setelah ditegur ketika hendak sarapan pagi, detik itu juga saya keluar dari hotel baru tersebut. Walau kemudian salah seorang karyawan yang berdasi meminta maaf, sesuai dengan ilmu training-nya. Namun, sekali lagi, mungkin karena hitungan ekonomis dan minimalis, maka anak-anak tidak boleh berada di hotel tersebut. Firasat saya, mungkin akan menganggu jatah makanan yang disediakan untuk penghuni hotel. Persoalan jatah makanan rupanya menjadi hal yang cukup menarik. Uniknya, pengalaman ini saya dapatkan dari dua hotel baru (Aceh Tengah dan Banda Aceh).
Persoalan kenal dan tahu dengan tuan rumah, serta jatah makan di acara memang memberikan kesan unik. Terlebih lagi kalau undangannya disisipkan permintaan papan bunga. Gejala papan bungan ini juga hal baru. Saya menyebutnya sebagai antropologi florist. Seorang sejawat di kota Langsa menceritakan bagaimana perjuangannya dalam bisnis florist. Ada individu yang ingin papan bunganya berada persis di depan pintu rumah sang tuan rumah. Agar, mudah dibaca oleh khalayak. Berebut lokasi strategis adalah cerita tersendiri di kalangan pebisnis papan bunga. Ada pula pengalaman pahit ketika menagih uang kepada pemesan papan bunga. Walaupun secara kebudayaan, fenomena papan bunga ini lebih banyak ditemukan pada ritual kematian pada suku dan agama tertentu, tentunya bukan Islam.
Gejala di atas merupakan rangkaian perubahan dalam pertemuan sosial dan budaya. Tren yang terjadi memaksa kita untuk menyesuaikan diri. Karena itu, dalam setiap pertemuan, selain harus cepat beradaptasi, juga pandai membaca situasi. Dalam forum-forum internasional, membagikan kartu nama wajib hukumnya. Bahkan, terkadang diberikan satu kesempatan untuk bersosialisasi untuk mencari teman baru. Saya pun menyiapkan kartu nama, untuk ditukar dengan sahabat baru. Dalam pertemuan yang penuh keakraban, selalu mengoleksi kartu nama baru. Akan tetapi “orang penting” tersebut pun hanya berusaha untuk diingat, sukar untuk mengingat. Basa-basi saat jumpa adalah suatu yang mesti. Saat ini, kartu nama yang paling efektif adalah Google. Di situ didapatkan informasi tentang sosok yang ingin dicari.
Perubahan lanskap sosial ternyata memaksa kita untuk ikut di dalamnya. Cerita-cerita di atas mungkin sesuatu yang tidak lazim. Tetapi di dalam era kekinian, lazim atau tidaknya sesuatu, sangat bergantung bagaimana dimaknai sesuatu tersebut. Misalnya, ketika memberikan sedekah ke pengemis, cenderung kita mencari uang receh. Akan tetapi, kalau pergi ke undangan pesta, tentu bukan uang receh yang kita keluarkan. Begitu juga ketika celengan masjid diedarkan, cenderung kita mencari angka nominal untuk dimasukkah ke dalam celengan. Jarang celengan masjid diisi dengan angka 50 hingga 100 ribu rupiah. Akan tetapi, kalau ada penggalangan dana di media sosial, cenderung kita berikan di atas 100 ribu. Saya sedang membayangkan bagaimana kalau celengan masjid tembus pandang. Kita akan jarang melihat bagaimana orang susahnya mencari uang receh untuk dimasukkan ke celengan.
Paparan di atas adalah sekelumit pengalaman sosial keagamaan yang mungkin pernah kita rasakan. Sangat boleh jadi, pengalaman ini ada yang lebih parah dari saya, misalnya ke gedung kenduri, hanya tinggal kuah dan telur ayam semata.
Ikhlas, mudah di ucap susah diterap.
Saya suka postingan bapak,hal yg dirasa sederhana tapi bukan sepele.
Di daerah saya tradisi undangan ya begitu,datang dan salaman ,amplop.
Seminggu kalau lagi musimnya kita bisa dapat undangan 4 atau lima,rata-rata kenal semua karena daerah kami belum begitu ramai penduduknya .Tetapi di beberapa desa dan kecamatan lebih padat.
Soal papan bunga juga semakin membudaya...masalahnya persis seperti yang bapak ceritakan,padahal menurut saya itu mubazir saja.
Isi amplop,lebih parah ...didepan gerbang masuk ada meja tamu sekalian panitia yang bertugas membuka dan mencatat isi amplop yang dibawa oleh para undangan. Alasannya untuk mempersingkat waktu.Kalau dihitung setelah pesta usai butuh waktu lama sementara pembubaran peta harus segera dilaksanakan secepatnya. Bila tak sempat datang kita harus menitipkannya,tuan rumah akan mengirimkan sebungkus "bontot"sebagai bukti bahwa kiriman sudah diterima.
Masakan untuk pesta,pertama untuk yang "rewang"atau membatu kerja sukarela di dapur.Sebelum pulang disediakan makan siang sekalian keranjang "bontot"untuk yang dirumah.Kedua,"tonjok-an" yaitu bungkusan makanan isi lengkap diantar kerumah-rumah orang yang kita undang. Terakhir hidangan prasmanan untuk tamu-tamu undangan.
Bayangkan rumitnya ...undangan,tuan rumah sama-sama direpotkan.
Bapak @kba13 kita pesta di Gunung Meriah Aceh Singkil?
kayanya lebih parah yang ini hehehe
Mari...
Go here https://steemit.com/@a-a-a to get your post resteemed to over 72,000 followers.