THE SPIRIT OF RAPAI
RAPAI adalah alat musik perkusi tradisional Aceh yang termasuk dalam keluarga frame drum, yang dimainkan dengan cara dipukul dengan tangan tanpa menggunakan stick. RAPAI sering digunakan pada upacara-upacara adat di Aceh seperti upacara perkawinan, sunat rasul, pasar malam, mengiringi tarian, hari peringatan, ulang tahun dan sebagainya, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat
Aceh baik secara filosofïs atau kultural. Rapai berperan mengatur tempo, ritmik, tingkahan, gemerincing serta membuat suasana menjadi lebih hidup dan meriah. Alat itu mendukung chorus (melodi) dari Serune Kalee atau buloh merindu (alat tiup berinterval nada diatonis).
Ada pameo yang sering terdengar berisikan “peunajoh timphan, piasan rapai” yang artinya makanan khas orang Aceh adalah timpan (sejenis kue dari bahan tepung beras di dalamnya berisi kelapa dan gula aren, atau berisi sarikaya/aso kaya telur, dibungkus dengan daun pisang muda dan dikukus), kemudian piasan rapai yang diartikan sebagai alat musik hiburan adalah rapai.
Berdasarkan naskah syair yang dinyanyikan bersama RAPAI, alat musik pukul ini berasal dari Syeh Abdul Kadir Jailani, ulama besar fiqih dari Persia yang hidup di Baghdad dari tahun 1077 hingga 1166 Masehi ( 470-560 Hijriah). Syair itu menyebut (dalam bahasa Indonesia):
Dilangit tinggi bintang bersinar
Cahaya bak lilin memancar kebumi
Asal rapai dari Syeh Abdul Kadir
Inilan yang sah penciptanya lahir kebumi.
Rapai dibawa oleh seorang penyiar Islam dari Baghdad bernama Syeh Rapi (ada yang menyebut Syeh Rifai) dan dimainkan untuk pertama kali di Ibukota Kerajaan Aceh, Banda Khalifak (sekarang Gampong Pandee, Banda Aceh) sekitar abad ke-11.
Itu sedikit ulasan yang saya kutip dari salah satu sumber, tapi malam ini saya, tidak membahas soal apa itu rapai, bagaimana membuatnya, kayu apa yang di pakai blaaa ... Blaaa... Tapi saya mau mengajak Steemian semua untuk bisa menikmati suasana hiburan yang sedang di suguhkan oleh sekelompok anak muda di salah satu Gampong di Kecamatan Dewantara yaitu Gampong Tambon Tunong.
, karena kata warga tersebut, Zan yang sudah sangat modern budaya asli pasti akan terkikis dengan budaya luar yang masuk tanpa filter, dan malam ini a akan muda di Gampong sudah melakukan filterisasi terhadap budaya luar, antusiasme warga tentunya semakin membuat panitia menjadi yakin, acara yang mereka lakukan itu bernilai positif.
Gemuruh suara RAPAI makin bersahutan, warga yang menyaksikannya semakin banyak, udara dingin di tengah lapangan sepak bola, tidak membuat mereka beranjak untuk pulang, masing-masing kelompok penabuh rapai saling berpacu dalam menabungnya, sorakan penonton pun semakin ramai, suasana malam semakin syahdu, iringan tabuhan RAPAI di sambut dengan Top Daboh.
Jadi ingat tema scenario planning, salah satunya tentang rapai pase kembali bergema :)
This is next-level stuff.
Hahahaha ... Mantap .. kita tulis ulang .. itu acara yang di buat sama anak muda Gampong tetangga ..