Tumbuh Bersama si Bungsu [Vote untuk Anak-anak]
Dek Rafa ketika berada di Gunung Salak, Aceh Utara.
Voting untuk anak-anak yang digagas 경@cjsdns sungguh menyentuh, bukan sekadar menarik. Gagasan ini mendorong kita untuk lebih mengenal anak yang masih pra sekolah, mengingat semua momen yang pernah ada bersamanya, dan apa saja yang sudah kita lakukan dan belum kita lakukan. Singkatnya, postingan jenis ini membuat kita semakin dekat dengan anak.
Bagi saya, postingan ini sungguh menarik karena memang saya paling dekat dengan si bungsu yang kami beri nama Muhammad Rafa el-Jufri. Dari enam anak saya dan dua meninggal, kelahiran Dek Rafa pada 27 November 2014 sungguh menjadi bagian yang paling penting dalam kehidupan keluarga kami, terutama istri saya.
Dek Rafa dilahirkan saat usia istri saya 37 tahun. Ketika hamil Dek Rafa, istri sempat pendarahan (blooding) sehingga membuat kami semua cemas, apalagi dokter spesialis kandungan menggolongkan istri masuk dalam kriteria risiko tinggi (high risk) untuk melahirkan yang keenam kalianya dalam usia 37.
Ketika masih bayi, Dek Rafa lebih putih. Foto ini diambil Kakak Uci di teras samping rumah kami.
Dek Rafa kecil, berumur dua tahun, saat dikerjain sama kakak-kakaknya dengan mengikat rambutnya.
Kami punya pengalaman menyedihkan dalam kelahiran anak pertama dan ketiga, di mana dua anak perempuan kami meninggal dunia dalam kandungan. Ketika istri hamil, saya membawa istri ke dokter secara rutin dan semakin sering memeriksa ke dokter kalau sudah hamil tua untuk mendeteksi berbagai kemungkinan sejak awal.
Seminggu sebelum anak pertama lahir, dokter Marzuki SpOG menyebutkan kandungan istri saya sehat. Semua organ vital berfungsi normal. Tapi seminggu kemudian, ketika istri mulas dan saya membawa lagi ke dokter, denyut jantung calon bayi sudah tidak terlihat lagi.
Anak pertama kami, lahir secara normal dan meninggal. Kami semua terpukul. Ini pengalaman kematian pertama bagiku. Memang ketika saya berumur dua tahun, ayah meninggal dunia. Tapi kita tidak tahu apa-apa ketika berumur dua tahun sehingga kesedihannya tidak terasa.
Ulang tahun Dek Rafa kelima yang dirayakan di sekolah TK Bhayangkari Lhokseumawe, tanggal 27 November 2019.
Anak kedua kami, Suci Idealisti Meutia, lahir pada 2002 secara normal dan sekarang sudah berusia 18 tahun. Nah, pengalaman kematian anak pertama terjadi lagi pada anak ketiga. Sehat sampai bulan kesembilan, tetapi lahir meninggal. Anak ketiga ini juga lahir secara normal meski sudah meninggal dalam kandungan.
Makanya ketika hamil untuk kelima kalinya, saya lebih berhati-hati dan berkonsultasi secara rutin dengan dokter. Saya pun mengganti dengan dokter Nahrawi yang lebih muda. Empat anak perempuan kami, dua di antaranya meninggal, ditangani dokter Marzuki. Belakangan, dua anak lelaki kami, Muhammad Athari Jufri dan Muhammad Rafa el-Jufri, proses persalinannya ditangani dokter Nahrawi melalui operasi caesar.
Jarak keempat anak kami cukup jauh dan itu kami rencanakan. Kakak Suci sudah kuliah semester pertama, Kakak Amira sudah kelas 3 SMP, Bang Atha masih kelas 4 MIN 3 Lhokseumawe, dan Dek Rafa belum sekolah. Mulanya kami berharap mereka tidak berantam karena usia terpaut jauh, ternyata salah. Yang namanya anak-anak pastilah sering berantem meski baik semenit kemudian.
Saya menjemput Dek Rafa di TK Bhayangkari. Sejak kecil ia suka dengan polisi. Mungkin kariernya di kepolisian kelak.
Ketika Dek Rafa lahir, istri saya mengalami pendarahan hebat. Setelah operasi yang berjalan lancar, dokter kemudian pergi karena ada operasi lain di rumah sakit berbeda.
Ternyata kemudian istri saya pendarahan dan harus masuk ruang ICU. Seorang sahabat istri saya yang menjagainya, melaporkan lantai banjir dengan darah. Ketika itu saya sering meminta darah di transfusi darah di dekat terminal Lhokseumawe yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit Melati di Jalan Samudra Baru. Saya menyetir sendiri, dan kawan istri saya itu mengirim pesan via Blackberry Messanger (BBM).
Saya ingat dengan jelas, waktu itu saya sampai muntah-muntah karena stress. Masalahnya, saya tidak makan dari semalam sehingga hanya air yang keluar dari perut. Bukan tidak mau makan, tetapi makanan tidak bisa masuk karena tekanan melihat kondisi istri.
Ketika sedang bekerja, tak jarang Dek Rafa duduk di pangkuan saya dan menginterupsi pekerjaan.
Harusnya saya tidak menyetir dalam kondisi demikian. Namun, kondisinya sangat genting sehingga saya harus bergerak cepat.
Di sinilah yang menyesali keputusan dokter yang terlambat mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk. Saya berkali-kali menyebutkan kejadian sebelumnya agar ia lebih awas. Dengan pengalaman pendarahan semasa hamil, harusnya ia berpikir untuk tindakan darurat.
Ketika ia minta darah sebanyak dua kantong, saya langsung menghubungi Ketua PMI Aceh Utara (waktu itu), H Ismed Aji Hasan, yang kebetulan sedan berada di Nagan Raya (kalau tidak salah). Pak Haji, panggilan akrab Ismed Aji Hasan, memberikan nomor yang bisa saya hubungi. Ketika saya sampai di sana, ternyata harus menunggu dua jam untuk sterilisasi darah.
Bayangkan kalau orang dari pelosok yang tidak memiliki jaringan dengan pihak Unit Transfusi Darah. Mereka akan bingung bila disuruh mencari darah sendiri, dengan kondisi emosional yang tidak stabil. Begitu dapat kantornya dan terhubung dengan petugas, ternyata harus menunggu sampai dua jam. Bisa-bisa petugas kena maki keluarga pasien dan menurut Pak Haji itu sering terjadi.
Kalau ke coffee shop, Dek Rafa sering ikut dan hobi makan. Dimsum kepiting termasuk makanan kesukaannya.
Saya menceritakan latar belakang kondisi istri agar dokter bisa mengantisipasi tindakan selanjutnya. Misalnya, soal stok darah yang sesuai dengan golongan darah istri saya, sudah diminta siap-siap sebelumnya dan pihak rumah sakit yang mengurus, bukannya keluarga pasien. Ketika hal itu saya sarankan ke Ketua PMI Aceh Utara, kata ketua PMI memang begitulah seharusnya.
Jadi, mereka ternyata tidak melakukan yang seharusnya dan menyerahkan beban itu kepada keluarga pasien. Semoga sekarang pelayanannya menjadi lebih baik, apalagi jika mengingat akan kematian ibu dan anak di Aceh masih tinggi.
Dua hari dua malam istri saya koma dan menghabiskan enam kantong darah. Tiga hari saya berada dalam ketegangan dan tekanan tinggi sehingga merasa sangat down.
Kondisi Dek Rafa yang sehat dan ganteng, membuat kekhawatiran sedikit menurun. Kami melihatnya setiap saat dan berdoa agar bundanya sehat kembali dan bisa membesarkan Dek Rafa bersama-sama.
Masih segar dalam ingatan saya, dua hari setelah lahir, perawat membuatkan susu buatnya. Dan Dek Rafa dengan sikap memegang botol susu kecil itu dengan tangannya sendiri. Bahkan ketika dilepas, ia memegang botol susu itu dengan kencang dan menghabiskan isinya dengan cepat.
Saya sering melihat jemari Dek Rafa yang besar dan panjang. Bentuk jemari Dek Rafa sama persis dengan jemari Kak Suci, hanya saja warna kulit Kak Suci agak eksotis (untuk tidak menyebutnya hitam, hehehehe).
Saya ke gym pun, Dek Rafa sering minta ikut. Bahkan terkadang ia sering mencoba-coba alat yang ada di sana.
Masa kritis istri saya berlalu dan kemudian dikeluarkan dari ruang ICU. Saya tidak menceritakan bahwa untuk menyelamatkan nyawanya, dokter meminta izin saya mengangkat rahimnya saat terjadi pendarahan hebat. Meski sudah memiliki dua pasang anak, saya sedih dengan kenyataan itu. Istri baru tahu kemudian ketika tidak mendapatkan haid dan ia juga terpukul meski kami sudah cukup memiliki empat anak.
Saya menulis ini dan berharap nanti ketika Dek Rafa besar, bisa membacanya dalam keadaan yang berbeda karena sudah memahami tentang pengabdian kepada orang tua, dan betapa Bundanya harus bertarung nyawa untuk melahirkannya.
Dek Rafa sempat merasakan air susu ibu dalam beberapa hari. Tapi kemudian asi berhenti dan ia kembali mengonsumsi susu formula. Dek Rafa peminum susu yang tangguh, sejak bayi sampai sekarang. Ia mengonsumsi susu Child School Morinaga seperti minum air putih. Makannya juga kuat sehingga ia lebih berat dari abangnya meski usia mereka selisih empat tahun.
Saya sering mandikan Dek Rafa kemudian memakaikan baju serta mendadaninya sampai wangi.
Ulang tahun Dek Rafa kami rayakan dengan makan pizza di Lhokseumawe.
Dek Rafa juga sangat dekat dengan ayahnya. Kalau malam, ia hanya mau tidur dengan saya. Demikian juga ketika membuat susu dan memandikan, ia selalu memilih dengan saya meski saya dalam keadaan super sibuk.
Tak jarang, Dek Rafa ikut saya ke kantor dan belanja. Kawan-kawan sekantor sangat senang dengan Dek Rafa karena ia lucu dengan gaya bicara yang masih cadel tetapi sangat cerewet. Ia masih belum bisa bilang ‘S’ dengan benar sehingga semua kata yang ada huruf ‘S’ berubah menjadi ‘C’. Asap menjadi acap, sibuk menjadi cibuk, dan sebagainya.
Dek Rafa juga menjadi anak yang suka iseng, sering menggodai abang dan kakaknya. Kalau kakaknya sedang sibuk belajar atau kuliah online, tiba-tiba ia memanggil kakak. “Kak Uci dipanggil Ayah!” teriaknya. Padahal, saya tidak memanggil Kak Uci.
Dek Rafa sering ikut belanja, tapi maunya digendong sama saya. Sering ada kawan-kawan yang menggodainya karena masih digendong, tapi dia cuek saja.
Ketika hari-hari awal di masuk TK, dia mendorong kawannya sampai menangis. Kemudian, ibu guru bertanya siapa yang mendorong Kevin, dengan lantang Dek Rafa mengacungkan tangannya. Dia cukup berani dan mengakui kesalahannya.
Kalau saya bertugas ke luar daerah dan kami memiliki sedikit tabungan, biasanya dari trading cyptocurrency dan Steemit (tentu saja!), saya membawa istri dan anak juga. Biaya mereka tentu menjadi tanggungan sendiri. Kami juga sering melakukan konsep sambil menyelam minum susu dalam masalah liburan. Misalnya, ketika berobat mata ke Medan, sekalian saja kami liburan dan Dek Rafa selalu ikut. Demikian juga dengan kegiatan lain. Sejauh ada uang, waktu mengizinkan, dan tidak mengganggu pekerjaan, Dek Rafa sering ikut.
Dek Rafa juga dengan cepat belajar banyak hal. Dia cepat akrab dengan siapa pun, dan itu menurun dari kami yang memang cepat akrab dengan siapa saja. Saya selalu berdoa agar Dek Rafa dan semua anak-anak kami tumbuh menjadi anak saleh, bisa menjadi kebanggaan orang tua, bahkan kebanggaan agama dan negara.
Demikian kisah saya tentang anak yang paling kecil. Terima kasih sekali lagi buat경@cjsdns atas suara untuk anak. Saya berharap ke depan, ada suara untuk keluarga. Kita membuat postingan tentang keluarga, tentang mimpi-mimpi yang sudah terwujud dan belum terwujud.
That's my story about the youngest child. Thanks again for 경 @cjsdns for the voice for children. I hope that in the future, there will be a voice for the family. We make posts about family, about dreams that have come true and have not yet come true.
그것이 막내에 관한 제 이야기입니다. 어린이를위한 목소리에 대해 경 @cjsdns에게 다시 한 번 감사드립니다. 앞으로 가족의 목소리가 나오길 바랍니다. 우리는 가족에 대한 게시물, 아직 이루어지지 않은 꿈에 대한 게시물을 작성합니다.
사. 다시까지.
Dek Rafa suka dengan klub Barcelona dari Spanyol dan suka dengan Messi.
https://twitter.com/AyiJuf/status/1343428744799690753?s=20
Saya ikut bahagia melihat kedekatan ayi dengan buah hatinya. Kenapa ya ?
Berarti kebahagiaan itu menyebar Cek @midiagam. Hehehehe.....
Hehee, betul.
Dek Rafa pih sep imut dih wate ubeut, beranjak besar juga terlihat handsome, macem ayahnya.
Semoga bahagia selalu 😊
Terima kasih Cek @midiaagam.
Get, saban-saban bang Ayi 😊
Semoga dalam lindungan Allah sabe