Menulis dengan Baik adalah Ibadah
Kenzo Tange, arsitek Jepang dan juga dikenal sebagai perupa (sculptor) pernah berkata, “membuat karya yang jelek itu dosa”. Saya mendapatkan frasa itu dari Lian Sahar (alm), seorang pelukis ekspresionis asal Aceh tinggal di Yogyakarta, pada sekitar tahun 2000-an awal.
Saat itu saya baru masuk tahap baru pendidikan, yaitu Magister Ilmu Religi dan Budaya (Religion and Cultural Studies). S1 saya ambil Perbandingan Mazhab (Comparative Islamic Law) di IAIN Sunan Kalijaga. Sebenarnya hampir seluruh jarum kehidupan saya diisi pendidikan keislaman, sejak ibtidaiyah,tsanawiyah, dan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) – program yang didesain oleh Menteri Agama Munawwir Sjadzali saat itu.
Sejak saat itulah saya mulai mengasah kepekaan pada kajian seni-humaniora – terutama seni rupa (fine arts and sculpture) – dan menuliskannya. Di rumah Lian Sahar di Jalan Baciro Lor, Yogyakarta, ada begitu banyak buku seni rupa yang bisa dibaca. Rumah itu menjadi padepokan bagi para seniman dan sastrawan beragam genre seperti Amrus Natalsya, Misbach Thamrin, Joko Pekik, Isa Hasanda, Mahdi Abdullah, Sitor Situmorang, Martin Aleida, Ajib Rosidi, D. Zawawi Imran, dll. Rumah itu sebenarnya rumah sewa yang ditinggali oleh Lian Sahar puluhan tahun hingga menjelang ia meninggal pada 18 Agustus 2010.
Saya ikut menuliskan obituarinya. Saya sempat hadir di menit-menit akhir menjelang ia mengembuskan nafas di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Saat itu saya berpacu dengan waktu ketika tahu Pak Lian sakit keras. Saya mengambil tiket Banda Aceh – Yogyakarta dan setiba di Yogyakarta memilih Salat Subuh dulu di Mesjid UGM. Lian Sahar meninggal setelah Salat Subuh. Seorang teman di Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Limantina Sihaloho, memiliki kesan yang dalam juga terhadap Lian Sahar. Ia menuliskan catatan obituari di Kompasiana yang cukup mendenyutkan hati ketika saya baca lagi hari ini (http://www.kompasiana.com/limantina_sihaloho/lian-sahar-pelukis-asal-aceh-selamat-jalan_550017ff813311091bfa7159).
Kata-kata Lian Sahar tentang Kenzo Tange itulah yang terus membekas di diri saya. Saya menganggap menulis jelek itu dosa. Saya memilih menahan diri untuk tidak memublikasi tulisan sebelum meyakini tulisan itu telah bernyawa dan menjadi kloning saya. Ya, setiap tulisan seharusnya bisa mengambil ruh penulisnya. Ia bisa berjalan-jalan dan ketawa-ketiwi sendiri ketika ditinggalkan sendirian.
Talenta itu cenderung dimiliki juga oleh seniman. Para seniman sebagian besar adalah seorang idealis sekaligus perfeksionis. Suatu waktu saya pernah bekerja dengan Lian Sahar dalam mengeditori sebuah buku biografi. Lian Sahar, meskipun seorang ekspresionis – yang harusnya energi ekspresi menjadi jalan karya sekali jadi – dalam hal mengedit tulisan malah seperti pelukis dekoratif dan naturalis - yang suka berlama-lama mengedit kembali lukisannya sehingga memenuhi unsur estetika kemiripan. Pernah saya harus mengeprint hingga sepuluh kali (mungkin hiperbola juga, tapi yang jelas lebih lima kali). Itu terjadi karena Lian Sahar mengedit tulisan dari naskah tercetak dengan pulpen, bukan langsung di laptop.
Sebenarnya saya bukan orang yang sabaran. Namun kesabaran terjadi karena pribadi Lian Sahar yang berjasa besar dalam hidup saya. Ia adalah teman diskusi, sekaligus suka menarik saya dalam pergaulannya dengan orang-orang besar seperti WS Rendra, Sitor Situmorang, Sawung Jabo, Wisran Hadi, dll. Perkenalan saya dengan Prof. Teuku Jacob dan Prof. Teuku Ibrahim Alfian juga karena inisiasi dari beliau. Semua itu dimulai dengan ajakan makan di restoran yang lezat atau hantaran makanan.
Sebagai penulis saya menganggap mengedit lima kali sudah cukup, tapi bagi Lian Sahar itu masih kurang. Ia menyuruh mencetak ulang naskah kadang hanya demi urusan mengganti satu kata dengan diksi lain. Namun dari proses belajar itu saya mengerti, menulis bukan semata menggurat data atau informasi, serta memperdalam dengan analisis, tapi menjaganya dalam bahasa yang prima.
Jadi, orang yang menuliskan buku profil kabupaten atau menyusun laporan kegiatan belum tentu seorang penulis. Lebih tepat mereka itu penyusun atau penulis laporan.
Demikian pula dosen. Meskipun mereka mempersiapkan bahan ajar dan menulis jurnal karena bagian dari tugas Tri Darma Perguruan Tinggi, mereka belum menjadi penulis. Masalahnya bukan pada ketidaktersedian data atau referensi. Kekosongan mereka ada pada ketidakberdayaan dalam “berbahasa”, termasuk aktualisasi kesusastraan dan estetika tulisan. Belum lagi ketika data dan referensi itu curian alias plagiarisme. Saat sekarang kita mudah temukan dosen dengan pelbagai alasan memperkosa naskah orang lain dan menjadi plagiator.
Dunia www.steemit.com membuka ruang besar seseorang menjadi penulis. Di dunia Steemit jelas ada sanksi untuk plagiator, yaitu didatangi Cheetah; makhluk pemburu plagiarisme. Kalau sudah didatangi Cheetah, para Steemians biasanya menjadi panas dingin, salah tingkah, dan malu sendiri.
Ada komentar seorang penulis di Steemit bahwa tidak perlu menulis bagus, toh tulisan bagus belum tentu mendapatkan “penghasilan yang bagus”. Ia memberikan contoh beberapa rekan-rekan yang menuliskan naskah biasa saja, bahkan kurang baik, tapi mendapatkan upvote yang besar.
Well, saya tentu tidak berada pada membenarkan hal itu. Ketika saya menulis, dimana pun saya mulai dengan perasaan dan energi yang tidak setengah-setengah, walaupun di www.steemit.com. Saya akhirnya memperhatikan tulisan-tulisan yang mendapatkan reward yang tinggi. Mereka menjadi penulis dengan penghargaan tinggi di Steemit karena kualitas tulisannya, bukan karena ia punya saudara di perusahaan blog ini.
Salah satunya @larkenrose. Dalam tulisannya, “This Is Your Brain on Statism”, ia mengajak setiap orang memperjuangkan pemikiran bebas dan progresif, tidak terkungkung logika pemerintah yang kadang cenderung meremukkan rasionalitas publik. Untuk tulisan itu ia mendapatkan 327 upvotes dengan reward 306 SBD (Steem-Based Dollars). Saya langsung berpikir Larken Rose memang penulis handal. Dalam tulisan itu ia tunjukkan ada pembaca tulisannya di facebook yang marah dengan idenya dan meminta pemerintah menggantungnya. Jelas ia bukan model penulis PSK yang sekedar memuaskan syahwat si pembayar.
Di tulisan lain Larken bahkan lebih sadis. Dalam “What's Wrong With Free Money?”, ia memperlihatkan kontradiksi banyak negara-bangsa modern seperti Amerika Serikat, yang semakin liberal tapi tidak kunjung bisa menjadi negara yang berbahagia bagi segenap rakyatnya. Ia meminta publik merevisi cara pandang atas problem-problem kesejahteraan masyarakat secara lebih konkret, dan bukan memperdebatkan terma ideologis apakah harus menjadi “Kiri” atau “Kanan”. Kaum yang memperdebatkan kemiskinan dengan “retorika palsu” adalah para politikus yang kantong mereka telah penuh dengan uang. Bagi Larken memuja sosialisme secara membabi buta sama buruknya dengan meyakini liberalisme bisa menjadi jalan tol bagi kesejahteraan masyarakat.
“Again, if the actual stuff that people want and need doesn’t exist (because no one is producing it), then the people are poor, regardless of how many pieces of paper they have in their pockets. And having the state giving everyone “free money” would literally amount to paying people to not be productive, thus pushing society as a whole towards poverty. We could all sit around counting our dollars as we starve to death. Hooray for socialism! (https://steemit.com/socialism/@larkenrose/what-s-wrong-with-free-money).
Bahasanya juga puitis. “Seseorang tetap bisa dikatakan miskin jika barang-barang yang diperlukan tidak tersedia, meskipun di kantongnya memiliki segumpal “potongan kertas” – tentu saja itu metafora untuk uang sebagai simbol keberpunyaan dan kaya. Untuk tulisan itu dia diganjar 219 SBD dengan 309 upvotes ketika tulisan ini dibuat.
Gambaran ringkas itu menunjukkan, kesungguhan pasti akan dibayar lunas dengan hasil dan prestasi, termasuk dalam menulis. Jadi mulailah menulis dengan hati dan pikiran maksimal. Harus sangkurkan di dalam diri untuk menuliskan sesuatu yang bermanfaat dan menyehatkan publik termasuk diri sendiri. Harus ada perasaan bersalah ketika membiarkan tulisan jelek muncul di depan publik sebagai dosa.
Bagi saya, menulis adalah kenang-kenangan hidup di dunia yang fana ini. Semoga tulisan-tulisan itu menjadi pahala dan ibadah yang meringankan setiap lembar dosa dan kesalahan yang belum sempat terhapus ketika ajal terlepas dari badan.
Setiap apapun yang kita tulis jika itu mengandung pelajaran yang baik, dan mengundang orang untuk senantiasa berbuat baik, itu merupakan ibadah.
Tapi jika apa yang kita paparkan merupakan nasehat buruk , itu jadi laknat bagi kita sendiri.
Tulisan yang bermanfaat @teukukemalfasha
Salam dari tuyet
Tulisan sangat menginspirasi dari Pak @teukukemalfasya,, terima kasih sangat bermanfaat
Jika ada yang menulis membawa permusuhan dan kejahatan, pasti ada yang rusak di jiwa orang seperti itu. Tulisan2 hoax
Terima kasih sudah singgah dan bisa mengapresiasi... Salam damai dan toleran selalu @bangmur
Menjadi penulis handal perlu proses. Banyak membaca salah satu cara saya melatih menulis. Belajar dari pengalaman itulah kita bisa menjadi lebih baik. Memang benar, kesabaran dan ketelitian sangat dibutuhkan dalam menyusun tata tulisan sehingga enak dibaca orang.
Semakin dewasa kita, semakin kesabaran menjadi asupan kita.
Setuju ni bg @teukukemalfasya
Tulisan abg melebihi kata benar, perlu peka terhadap apa yang akan kita tulis. Seperti pendapat abg tentang Menulis adalah kenang-kenangan hidup yang ada didunia yang fana ini, setidaknya kita bisa memiliki itu dengan apa yang kita tulis dengan baik dan mudahan akan menjadi ibadah.
👍🏾
Terima kasih @agusdiansyah.... meskipun saat ini saya juga mulai berpikir dengan kata-kata @moersal , bagaimana orang yang sudah dengan pikiran jahat menulis....Bagi saya itulah dosa sebenarnya, seperti yang berkembang saat ini dengan model pasukan Saracen menyerang pribadi dan menyebar fitnah.
Ada saja memang bg @teukukemalfasya cara orang mencari uang Biarpun caranya haram, apalagi yang abg maksud lagi barusan "dengan pikiran jahat menulis" oleh kelompok itu, cukup disayangkan. Saya rasa kalau memang niat baik mereka (siapapun itu) ada, dengan membaca apa yg sudah abg tulis diatas bisa mengubah cara dan juga apa yang mereka tulis agar menjadi ibadah bukan malah dosa.
Postingan yg agak berat tp penuh makna, khas tulisan seorang jurnalis.
O,ternyata abg kuliah di jogja ya...hahaha sama dong, sy di sanata dharma.
Oh ya, @horazwiwik ambil apa? saya S2 di Magister Ilmu Religi dan Budaya dengan dosen seperti St Sunardi, Romo Haryatmoko, Romo G Subanar, Mas Budiawan, Prof. Teuku Ibrahim Alfian, George Junus Aditjondro, dll. S1 dekat situ juga di Sapen, hahahaha.
Sy ambil pendidikan bhs inggris bg @teukukemalfasya. Hmmm..S2 abg di sunan kalijaga ya? Dosennya ad yg romo juga ya...sebutan romo dan suster sangat familiar buat sy. Di sanata dharma banyak hehe
Gak. Itu sebutan untuk dosen di Magister Ilmu Religi dan Budaya. Saya masuk 2000 dan selesai tahun 2004. Maklum saya kuliah dalam kekurangan uang, jadi sambil berusaha juga. Untung kampus baik hati, tunggak 3 semester saya tidak diusir. Hehehe.
Penting mengembangkan kampus2 yang manusiawi di dunia yang semakin materialistis seperti saat ini.
O, mungkin maksudnya romo dlm bhs jawa, artinya ayah. Bukan romo sebutan utk org katolik itu ya? O, berarti sy yg salah paham. Sebab sanata dharma kan univ katolik.
Beruntung ya kuliah di kampus yg masih memakai hati, ngga melulu kaku dlm hal administrasi
suka sekali membaca tulisan-tulisan Pak Kemal, mencerahkan dan berisi
Terima kasih.... Semoga bisa berdampak pada karya-karya ke depannya
Tulisan yang enak dibaca dan menyusupkan semangat untuk menulis. dan harus bagus.
Menulis adalah ibadah dalam bentuk catatan yang terlihat dengan pahala yang juga tercatat tetapi tidak terlihat.
Good statement.... Perlu keterampilan kata-kata hingga sampai pada komposisi seperti ini.
Terima kasih gure @teukukemalfasya... Sentuhan yang mengentak.
BIla tulisan ini ingin menjelaskan tentang jumlah reward yang diterima Para Steemian di SteemIt, saya akan berpendapat seperti ini;
Terpenting di Steemit adalah mampu memadukan kemampuan menulis yang menarik ditambah dengan seberapa besar seorang Steemian terlibat dalam proses interaksi satu sama lain. Juga, hal yang sangat penting adalah menemukan rekan2 baru yang jumlah *Steem Power mereka di atas 5000 SP.
Salam hangat dari Bireuen.
NB: I deny my political chance for some reasons. ;)
Oh... But your option to chage your turn is also a politic.... Heheh....
Enjoy the another dimension of politic here, in Steemit