Bersyukur
Entah apa yang ada dalam pikiran masyarakat kita sekarang, banyak yang tak mampu bersyukur dengan apa yang telah dimiliki dan didapatkan. Apa yang dimiliki tak sangup mereka syukuri, contohnya saja ketika mereka memiliki sebuah sepeda, mereka ingin memiliki sepeda motor, ketika mereka sudah memiliki sepeda motor mereka ingin memiliki sebuah mobil pribadi yang mewah, bahkan ingin juga memiliki sebuah pesawat pribadi, katanya.
Rasa tak pernah bersyukur ini, sudah banyak tertanam pada diri masyarakat, mulai dari faktor lingkugan, media sosial, dan perkembagan teknologi, mengajarkan masyarakat untuk hidup mewah dan memiliki gengsi sosial yang besar.
Pernahkah kita berpikir tentang orang yang kurang beruntung dan serba kekurangan. Jangankan untuk membeli sebuah sepeda, untuk makan saja mereka harus banting tulang dan penuh kerja keras. Ada juga yang hanya mampu mendapatkan rejeki untuk makan sehari saja. Mata yang tertup oleh bisikan setan ini mengalahkan kita yang tak mampu bersyukur dengan apa yang dimiliki.
Banyak juga dari kalangan anak muda memaksakan diri untuk menampakan kemewahanya dengan memakai produk yang seharusnya dimiliki masyarakat kelas atas. Mereka rela meminta dan memaksa orang tua mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Apakah kita pernah berpikir, panasnya hari yang menembus kulit orang tua kita membuat kulit mereka terlihat hitam dan kusam, hujan yang keras membasahi kepala mereka yang tekadang terkena sakit flu dan sakit kepala, terkadang ulat bulu juga mengenai kulit mereka, seakan tak terasa demi kita anak yang paling cinta. Bahu yang dulu kuat dan kekar kini terlihat membukuk, karena terlalu keras bekerja dan mengangkat beban yang tak seimbang dengan badan mereka.
Anak paling yang dicinta hanya mampu duduk dan makan di cafe yang mewah bersama teman-teman, kadang asik beryayi di tempat karoke yang membuat mereka bahagia, katanya.
Hanphone bermerk yang mereka pamerkan juga seakan membagakan diri mereka ketika dipakai, bahasa yang tinggi dengan pakayan yang selalu baru juga wajib dipakai buat pamer, katanya.
Pernahkah kita berpikir apa yang dimakan orang tua kita tak se'enak makan di cafe yang kita rasakan, lauk yang hanya terkadang garam dan daun singkong sayur rebus sudah membuat mereka bersyukur, bahasa yang hanya terucap Alhamdulillah pada mulut mereka juga penuh rasa syukur, hanphone yang mereka pakai juga terkadang hanya meminjam kepada tetangga, yang hanya ingin menayakan kabar baik dari kita. Baju yang rusak dan penuh noda hasil kerja keras mereka juga sudah menjadi baju dinas yang mewah, walau tak sebagus baju baru yang kita pakai. Ada juga masalah yang paling risih tentang pendidikan sekarang, kenapa tidak anak yang seharusnya pergi kuliah malah asik tidur dan bermain, ketika uang habis tinggal minta pada ibu dan ayah, buat keperluan kuliah, katanya.
Apakah kita pernah berpikir, orang tua kita rela banting tulang dan berutang kepada silentenir bank desa, hanya ingin merubah nasib anakya agar menjadi orang sukses dan besar. Banyak anak-anak di kolong jembatan ingin sekolah setinggi sarjana, tapi niat itu pupus karena hanya mampu bersekolah tamatan sekolah dasar saja.
Cobalah bersyukur apa yang dimiliki dan didapatkan karena tak semua orang seberuntung kita. Cobalah berpikir buat diri sendiri terlebih dahulu, resapi tujuan hidup dengan rasa syukur yang mendalam, maka kita akan tau tujuan hidup yang sebenarnya.