“Anda Mau Menikah Siri Maka Masalahpun Menanti”
Tanggal 3 Mei 2018, adalah hari dimana saya ditunjuk menjadi Pembicara pada Seminar sehari "Problematika Nikah Siri" yang dilaksakan oleh Dharmayukti Karini yang merupakan sebuah Organisasi Wanita di Lingkungan Mahkamah Agung. Dalam seminar yang diikuti secara antusias tersebut oleh seluruh Organisasi Wanita instansi vertikal dan kabupaten saya menyampaikan materi dengan Judul :
Anda Mau Menikah Siri Maka Masalahpun Menanti”
Secara terminologi, Pernikahan siri adalah suatu pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan, akan tetapi karena alasan tertentu pernikahan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Meskipun dalam sejarah fiqih ada dua kategori nikah siri yaitu menikah diam-diam tanpa diketahui wali dan orang banyak.
Meskipun hukum Islam telah menetapkan ketentuan rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk menikah, namun pernikahan siri masih sering dijadikan sebagai alternatif dengan sejumlah alasan seperti antisipasi pergaulan bebas yang secara psikologis, moril maupun materiil belum mempunyai kesiapan untuk menikah secara formal. Di samping itu masih banyak kalangan yang menganggap pernikahan tersebut sah, sehingga muncul kesan bagi masyarakat bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Akibatnya perjalanan mengarungi bahtera rumah tanggapun dijalani dengan tanpa mempertimbangkan aspek hukum formal yang berlaku dan justru menimbulkan berbagai permasalahan dan konflik rumah tangga yang berimbas kepada persoalan hukum yang sangat merugikan kaum perempuan.
Patut disadari bahwa pernikahan adalah suatu proses hukum, sehingga hal-hal atau tindakan yang muncul akibat pernikahan adalah tindakan hukum yang mendapat perlindungan secara hukum. Bila perkawinan tidak dicatatkan secara hukum, maka hal-hal yang berhubungan dengan akibat pernikahan tidak bisa diselesaikan secara hukum. Sebagai contoh, hak isteri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin, akte kelahiran anak tidak bisa diurus, hak pengasuhan anak, hak pendidikan anak, hak waris isteri, hak perwalian bagi anak perem- puan yang akan menikah dan masih banyak problem-problem lain.
Meski sudah banyak diketahui bahwa pada prinsipnya pernikahan siri merugikan kaum perempuan, namun sampai saat ini fenomena tersebut masih sering dijumpai. Praktik pernikahan siri tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat yang awam hukum, berpendidikan rendah, atau golongan ekonomi menengah ke bawah saja, tetapi juga banyak terjadi di lingkungan masyarakat terpelajar yang memahami hukum, ataupun di lingkungan masyarakat golongan menengah ke atas yang secara ekonomi bisa dikatakan sangat mapan. Tidak jarang ditemui di kalangan masyarakat umum, mahasiswa, artis, ulama bahkan para pejabat.
Kewajiban Pencatatan Perkawinan di #Indonesia
Di dalam al-quran, Allah menetapkan suatu ikatan suci bernama pernikahan dengan tujuan agar hubungan antara dua anak manusia itu dapat menyuburkan ketentraman cinta dan kasih sayang. Kalimat ijab dan qabul yang sederhana tapi terjadi perubahan besar, yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun berubah menjadi cinta dan kasih sayang.
Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun secara hukum. Al Quran, secara normatif banyak menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram. Berkaitan dengan status perkawinan, Al Quran juga menyebut bahwa perkawinan sebagai mitsaqan galidhan, yakni sebuah ikatan yang kokoh.
Melihat betapa pentingnya ikatan pernikahan tersebut maka salah satu kerangka awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan adalah dengan mencatatkannya kepada instansi yang berwenang. Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha. Kewajiban mencatatkan pernikahan ini bisa dilihat dalam beberapa aturan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 j.o. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (penjelasan pasal 1), Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2 dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dan 6.
Meskipun secara hukum Islam pencatatan tidak termasuk dalam syarat dan rukun nikah, namun pencatatan pernikahan merupakan bagian yang wajib guna menghindari kesulitan di masa yang akan datang. Oleh sebab itulah Ulama dan Umara di Indonesia kemudian mencantumkan ketentuan tentang pencatatan pernikahan ini dalam sejumlah regulasi hukum perkawinan di Indonesia. Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut tentang pencatatan perkawinan dengan berbagai tatacaranya. Hal tersebut diperjelas dan diperkuat kembali dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 (1) yang menyebutkan, ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Begitu juga dalam pasal 6 (2) ditegaskan bahwa ”Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.
Kredibilitas keislaman karena Tidak Patuh kepada Umara
Sebenarnya perlu dipertanyakan juga bagaimana seseorang patuh terhadap ajaran Islam, namun dalam waktu yang bersamaan dia melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan yang tercantum dalam Undang-undang ?. Bagaimana dengan konsep Islam sebagai agama yang sempurna, dimana pemenuhan janji kepada Allah mestinya juga sejajar dengan pemenuhan janji terhadap sesama manusia/ulul amri. Segala hal yang dilakukan secara illegal sebenarnya hanya bisa dijadikan sandaran hanya ketika menghadapi kondisi khusus dan dalam situasi tertentu. Adapun penyelesaian hukum yang berhubungan dengan hal tersebut tidak selalu dapat dilakukan melalui prosedur yang tepat dan benar. Imbas dari pernikahan illegal tersebut adalah kaum perempuan yang berdiri tanpa status hukum dan tidak ada perlindungan hukum terhadapnya.
Konsep Maqasid Syar'iyah dalam Pencatatan Pernikahan
Mari sejenak kita kembali meninjau keabsahan pernikahan siri secara syari, apakah akan berbenturan dengan maqashid asy-syariah atau tujuan diberlakukan hukum syariah yang meliputi:
- Menjaga jiwa (Hifdz an-nafs),
- Menjaga agama (Hifdz ad-din),
- Menjaga keturunan (Hifdz an- nasl),
- Menjaga akal (Hifdz al-aql) dan
- Menjaga harta (Hifdz al-mal).
Ketika pernikahan dilakukan secara siri tanpa dicatatkan kepada pihak yang berwenang, secara agama, bila telah memenuhi rukun syarat pernikahan adalah sah. Dengan latar belakang khawatir terjadinya zina atau perbuatan lain yang melanggar syariat, maka pernikahan tersebut dikategorikan ke dalam tujuan hifdz ad-din dan hifdzu an-nasl. Yang perlu dikaji lagi adalah bahwa tujuan tersebut hanya bisa terwujud sesaat setelah pernikahan berlangsung. Namun dampak hukum dari perkawinan dan akibat-akibat lain yang sering muncul dalam perkawinan akan muncul dalam rentang waktu panjang. Sementara maqashid al- syariah tidak ditujukan untuk ketenangan sesaat, tetapi antisipasi jangka panjang lebih diperhitungkan.
Selama ini nikah siri relatif masih dianggap sebagai alternatif terbaik dalam penyelesaian problem prosedur pernikahan. Dengan memilih pernikahan siri, tanpa disadari, atau justru dengan penuh kesadaran pula perempuan mengikhlaskan diri untuk menghadapi permasalahan hukum yang lebih rumit lagi di kemudian hari.
Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan Siri
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri antara lain adalah :
a. Pernikahan siri terpaksa dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak, atau
b. Pernikahan siri itu terjadi karena tekanan dan paksaan dari orang tua agar menikah dengan pilihan orang tuanya.
c. Pernikahan siri dilakukan karena adanya hubungan terlarang atau perselingkuhan.
d. Pernikahan siri dilakukan dengan alasan tidak memiliki keturunan dari isteri pertamanya.
e. Pernikahan siri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.
f. Pernikahan siri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial.
g. Pernikahan siri dilakukan hendak berpoligami seperti contoh-contoh kasus Moerdiono dan Machica Moekhtar, Syekh Puji menikahi Ulfa yang masih 12 tahun dijadikan sebagai isteri kedua, Rhoma Irama dengan Angel Lelga dan Pernikahan Bambang Triatmojo dan Mayangsari.
h. Pernikahan siri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada wilayah adat tertentu, yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Atau komunitas jamaah tertentu, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaahnya adalah rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan tanpa perlu tidak perlu dicatatkan.
i. Pernikahan siri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit di persidangan.
j. Pernikahan siri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang berbelit-belit.
Pernikahan siri dilakukan karena alasan pernikahan beda agama.
k. Pernikahan siri terkadang dilakukan karena salah satu pasangan bersedia menjadi muallaf untuk memperoleh keabsahan pernikahannya.
Dan masih banyak faktor-faktor lain lagi, semua alasan tersebut mengarah kepada posisi perkawinan siri dipandang sebagai jalan yang lebih mudah untuk menghalalkan hubungan suami isteri.
Problem—problem yang menyertai Pernikahan Siri
Harus diakui bahwa pernikahan siri rawan sekali terhadap konflik, baik konflik internal dalam rumah tangga maupun konflik eksternal yang berhubungan dengan hukum dan masyarakat. Problem-problem tersebut di antaranya adalah:
- Problem keluarga. Konflik dalam keluarga ini bisa muncul bila: a) Pernikahan siri yang dilakukan tidak atas persetujuan orang tua atau sebaliknya, paksaan dari orang tua. b) Perselingkuhan. c) Poligami. d) Beda agama.
- Problem Ekonomi dan Studi. Problem ekonomi ini biasanya menyertai para mahasiswa yang tanpa sepengetahuan atau tan- pa persetujuan orang tua melakukan pernikahan siri. Mereka harus mencari biaya sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidup se- hari-hari. Hal ini tentu akan mengganggu kelancaran studinya.
- Problem Hukum. Problem hukum dalam pernikahan siri terjadi pada pihak perempuan dan anak. Sebagai isteri yang sah secara agama, istri tidak bisa menuntut hak nafkah lahir batin, hak wa- ris bila terjadi perceraian, hak pengaduan bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, atau hak perlindungan hukum bila di- tinggal pergi tanpa pesan. Posisi suami yang tidak tersentuh hu- kum, memunculkan ruang yang lebar bagi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri. Kekerasan tersebut banyak dijumpai entah dalam bentuk ke- kerasan fisik, psikhis, ekonomi maupun kekarasan seksual.
- Problem Sosial dan Psikologis. Hidup serumah tanpa memiliki surat nikah merupakan hal yang tidak semua orang bisa memaklumi. Berbagai prasangka dari masyarakat akan memicu instabilitas sosial. Para perangkat desa juga kesulitan untuk mendata status keluarga karena bukti tertulis tidak bisa ditunjukkan. Kondisi ini bisa menyebabkan sulit beradaptasi dengan lingkungan yang akan berdampak pada kondisi psikhis terutama perempuan.
- Problem Agama. Kasus pernikahan siri dalam poligami seperti yang dilakukan oleh Rhoma Irama maupun Syekh Puji adalah gambaran nyata, bahwa para ulama maupun publik figur justru menguatkan anggapan masyarakat bahwa pernikahan siri adalah alternatif yang dilakukan bila seseorang ingin melakukan hubungan suami isteri secara halal atau untuk berpoligami.
Mengingat banyak sekali dampak negatifnya, seharusnya membuat kita mengerti dan memberi pengertian kepada yang lain bahwa pernikahan siri bukan solusi yang positif terutama bagi kaum perempuan. Menikah Siri saat ini terjadi cenderung hanya ingin mencari solusi atas hasrat seksualnya yang sudah tidak terbendung. Kalau opini negatif masyarakat tentang pernikahan siri sudah terbentuk seperti ini, bukankah ini sama saja dengan opini negatif terhadap Islam. Disinilah pernikahan siri yang keabsahannya secara agama justru mendatangkan madlarat yang lebih besar.
Analisa SWOT dalam Menikah Siri
Sejenak mari kita menggunakan analisa kita dengan menggunakan teknik analisa SWOT untuk membuktikan bahwa pernikahan siri tersebut tidak baik. SWOT adalah singkatan dari Strenght (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Oppurtunity (Kesempatan) dan Threat (ancaman).
Strenght (Kekuatan) menikah siri secara umum dapat kita simpulkan bahwa pernikahan siri tersebut sah secara agama, dapat membebaskan dari perbuatan dosa, ketenangan batin pada pelakunya.
Weakness (Kelemahan) menikah siri antara lain pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan, tidak ada perlindungan hukum bagi istri, dipandang negatif oleh orang, susah untuk bersilaturrahmi atau bersosialisasi karena anggapan orang, anak dirugikan karena tidak punya akte kelahiran, bisa jadi sumbu konflik keluarga.
Opportunity (Peluang), agar semua kelemahan yang terjadi dapat dihilangkan maka seseorang yang menikah siri harus melakukan penetapan pernikahan (itsbat nikah) dan resepsi pernikahan (walimatul ursy).
Threat (Ancaman), melihat kepada konteks menikah siri banyak menimbulkan ancaman saat menjalaninya antara lain kalau terjadi perceraian istri tidak bisa mendapatkan nafkah, hak harta bersama dan harta warisan, kalau terjadi KDRT maka tidak punya kekuatan jika berhadapan dengan hukum, sedangkan jika ditinjau dari sisi anak maka jelas tidak bisa dituntut hak-hak anak, biaya sekolah, kesehatan dll, begitu juga si Ayah juga belum tentu bisa menjadi wali nikah karena status anak dan ayah tidak bisa dibuktikan.
Mencermati analisa SWOT diatas, maka kita akan mendapatkan kondisi yang sangat tidak seimbang antara kekuatan (Strength) dengan ancaman (Threat) yang akan muncul. Pada prinsipnya kekuatan hanya satu yaitu sah secara agama. Keabsahan itu secara internal akan membawa ketenangan batin bagi diri pasangan. Akan tetapi bila melihat sisi kelemahan (Weakness), ketenangan tersebut hanya bersifat sementara, karena selanjutnya akan terkubur oleh permasalahan-permasalahan dan benturan-benturan dari berbagai pihak. Kelemahan yang paling nyata adalah benturan dengan hukum positif. Kelemahan-kelemahan tersebut akan banyak menimbulkan ancaman di kemudian hari.
Perkawinan adalah perbuatan hukum, karena akan memunculkan akibat-akibat hukum yang lain. Bila perkawinan tersebut tidak sah secara hukum, maka segala hal yang berhubungan dengan akibat hukum dari perkawinan tidak akan berlaku. Bila pelanggaran hukum dilakukan oleh suami, isteri dan anak tidak bisa mendapat perlindungan hukum. Begitu pula bila terjadi perceraian, isteri tidak bisa menuntut hak-haknya seperti hak nafkah atau hak waris. Sementara anak tidak bisa mengurus akta kelahiran, hak pendidikan, hak waris dan sebagainya. Tidak menutup kemungkinan pihak pasangan akan memalsukan identitas demi memperoleh hak-haknya secara hukum.
Pernikahan siri juga memungkinkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan. Karena merasa sudah sah, seorang suami bebas melakukan apa saja terhadap isterinya, dan bila terjadi kekerasan atau pelanggaran-pelanggaran yang merugikan isteri, si isteri tidak bisa menuntut, sementara suami mempunyai kebebasan secara hukum. Bahkan bila suami kemudian menikah lagi secara resmi dengan perempuan lain, isteri tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu tentu sangat merugikan pihak perempuan. Ketika perempuan merelakan dirinya dinikahi secara siri, otomatis dia menyerahkan dirinya hidup tanpa perlindungan hukum, sedangkan pihak suami hampir tidak mempunyai kerugian apapun.
Selain cacat dimata hukum, pernikahan siri juga cacat secara sosial. Tidak semua masyarakat bisa memaklumi, karena latar belakang dilangsungkannya pernikahan siri memunculkan pandangan negatif misal anggapan hidup serumah tanpa ikatan yang resmi karena perselingkuhan, poligami, tidak disetujui orang tua, terlanjur hamil dan sebagainya. Meskipun secara riil yang melakukan pernikahan siri adalah sepasang laki-laki dan perempuan, namun tak urung juga opini-opini tersebut ditujukan kepada kaum perempuan. Anggapan masyarakat tentang isteri kedua, perempuan simpanan, kehamilan tak diinginkan dan sebagainya adalah stereotip yang seakan-akan hanya perempuanlah yang bersalah. Oleh karenanya, selama masih ada jaminan hukum yang bisa memberi perlindungan kepada kaum perempuan, kenapa tidak dimanfaatkan.
Di samping Stength (kekuatan) , Weakness (kelemahan) dan Threat (ancaman) yang peneliti paparkan di atas, ada suatu peluang (Opportunity ) yang bisa jadikan solusi untuk mengantisipasi terjadinya ancaman- ancaman yang muncul. Peluang yang paling tepat adalah Itsbat nikah atau pengesahan pernikahan. Itsbat nikah tersebut diajukan ke Pengadilan Agama kabupaten setempat.
Dengan itsbat nikah maka status perkawinan menjadi jelas, baik dimata agama maupun di mata hukum. Kelemahan- kelemahan dan ancaman- ancaman akan terhapus karena perkawinan sudah mendapat perlindungan hukum. Peluang berikutnya adalah mengadakan walimah al-ursy, sekedar pemberitahuan kepada masyarakat sekitar tentang adanya pernikahan yang sah. Dengan ini anggapan negatif masyarakat bisa diminimalisir, sehingga pasangan tidak akan mengalami kesulitan lagi dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
Perlu dicermati kembali, bahwa Rasul menganjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu. Dalam konteks pernikahan siri tersebut, benarkah kriteria “mampu” bisa diterapkan. Bukankah para pelaku pernikahan siri hanya ”mampu” memenuhi syarat rukun pernikahan dalam Islam, tetapi ”belum mampu” untuk memenuhi persyaratan dalam Undang-undang? Apakah ketidakmampuan memenuhi persyaratan Undang-undang yang justru akan memunculkan serentetan permasalahan bisa ditolerir begitu saja, sementara keabsahan pernikahan siri dalam Islam lebih banyak dijadikan sebagai alternatif untuk melegalkan hubungan seksual yang praktis dan murah. Dalam hal ini kaum perempuanlah yang paling dirugikan. Kriteria ”mampu” disini juga berarti bahwa mampu melaksanakan pernikahan sesuai rukun dan syarat Islam, juga mampu memenuhi persyaratan dalam Undang-undang Perkawinan.
Tinjauan dari segi hukum Islam juga perlu dipertanyakan kembali. Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, harus dikaitkan dengan perhatian Islam yang besar pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Bila untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan, apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan persemendaan, pengasuhan anak, dan hak waris. Kalau pada zaman Rasul perkawinan tidak dicatatkan adalah karena alasan belum membudayanya budaya tulis. Namun pada prinsipnya konsep diterapkan hukum Islam adalah kemaslahatan untuk umatnya. Jika akibat dari pernikahan siri justru merugikan pihak perempuan, bahkan merugikan masyarakat dan agama, apakah hal itu bisa disebut bagian dari hukum Islam yang mengandung kemaslahatan untuk umatnya.
Solusi bagi pelaku pernikahan siri
Sebagaimana dalam teknis analisis SWOT, bahwa dalam pernikahan siri memunculkan banyak sekali kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Kekuatan (Strength ) yang ada tidak bisa menghindarkan diri dari kelemahan dan ancaman-ancaman yang akan muncul. Satu-satunya cara untuk mengatasi problem yang sudah terjadi adalah dengan memanfaatkan peluang (Oppurtunity) yang ada untuk menghilangkan hampir semua kelemahan dan ancaman yang akan timbul. Ada peluang yang ditawarkan sesuai dengan kadar kekuatannya yaitu Mencatatkan Perkawinan dengan Itsbat nikah dan peluang itu sangat terbuka selama tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama (KHI, pasal 7 ayat 2).
Metode diatas sesuai dengan kaidah fiqhiyah ”darul mafasid muqoddamu ala jalbi al-mashalih”, karena menghindari kemafsadatan harus didahulukan daripada menutup kemaslahatan. Hal ini nampak sekali dalam pernikahan siri, yang meski sah secara agama, namun orang sengaja menutup mata atas resiko-resiko dan kemadlaratan yang akan terjadi. Bila sudah seperti ini, haruskan pernikahan siri dibiarkan merebak dengan membiarkan kaum perempuan sebagai korban. Hukum Islam sangat menjunjung tinggi derajat kaum perempuan, jadi kasus pernikahan siri tersebut perlu ditinjau ulang keabsahannya.
Problem yang menyertai pernikahan siri yang paling nyata adalah problematika hukum khususnya bagi perempuan, tapi bisa menjadi problem intern dalam keluarga, problem sosial dan phiskologis yang menyangkut opini publik, problem agama yang perlu mempertanyakan lagi keabsahan pernikahan siri yang marak terjadi di Indonesia.
Dampak pernikahan siri bagi perempuan adalah secara hukum, isteri tidak dianggap sebagai isteri sah, tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal, tidak berhak mendapat harta gono-gini bila terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku bagi anak kandung hasil pernikahan siri. Adapun dampak sosial lebih kepada benturan-benturan dengan pandangan negatif masyarakat tentang status pernikahan siri, yang bisa menimbulkan tekanan batin bagi pelaku terutama perempuan, juga kemungkinan terisolir dari lingkungan masyarakat.
mantap, postingan yang menarik
Terimakasih pak @hamidi103, ini adalah makalah saya saat seminar tersebut. Sebenarnya agak kurang tepat membaginya, awalnya ingin bercerita ttg situasi selama seminar. Tiba-tiba otak buntu karena kurang kopi. Jadilah ini yang saya share. Mohon koreksinya. Klu bkenan bisa direblog pak,, untuk berbagi masalah hukum dan masalah yang sering dihadapi kaum perempuan di negeri ini.
Perkawinan menurut Hukum Positif, ialah ikatan lahir batin, seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Islam adalah, perkawinan Antara seorang yang masih sendirian (pria), dan orang-orang yang layak dari golonganmu dan hamba-hamba sahaya (perempuan).
Perbedaannya disini adalah, dalam hukum positif kawin Itu seorang dengan seorang, sedangkan dalam hukum agama, seorang (pria) dengan satu atau lebih (perempuan)
Hal inilah yang membuat situasi berbeda dalam pemahaman masyarakat kita, yang karna pembatasan oleh hukum positif mereka mencari alternatif dg nikah siri.
Nikah siri halal disatu sisi tetapi memiliki konsekuensi luas disisi yang lain. Seperti dijelaskan oleh @khaimi dalam artikel ini
But the end of all things has drawn near. Therefore be sober-minded and be sober unto prayers.(1 Peter 4:7)
Question from the Bible, Who can lead me to heaven?
Watch the Video below to know the Answer...
(Sorry for sending this comment. We are not looking for our self profit, our intentions is to preach the words of God in any means possible.)
Comment what you understand of our Youtube Video to receive our full votes. We have 30,000 #SteemPower. It's our little way to Thank you, our beloved friend.
Check our Discord Chat
Join our Official Community: https://steemit.com/created/hive-182074