MANUSIA REJANG BEREKOR (THE REJANGS)
Dalam catatannya, J.L.M. Swaab (Kontrolir Onderafdeling Lais 1916), menceritakan, bahwa di Rejang Musi-Tengah (Kabupaten Kepahiang-Provinsi Bengkulu sekarang) ditemui manusia berekor, yang oleh penduduk mereka disebut Orang Sawah atau Orang Sabah. Mereka selalu menghindari pertemuan dengan manusia lainnya dan kadang-kadang melakukan pencurian bahan makanan ke dusun-dusun. Beberapa dari mereka yang dapat ditangkap, dipekerjakan di ladang-ladang. Mereka bertubuh besar dan tinggi, mengaku dulunya mereka adalah penduduk Rejang Sungai Serut pada masa pemerintahan Ratu Agung.
Pasirah Bermani Ilir dalam laporannya kepada Kontrolir D.G. Hooyeh (1911-1913), sebagaimana yang tertuang dalam jurnal J.L.M. Swaab (1916) mengatakan, bahwa ada seorang Orang Sawah itu pernah hidup di antara masyarakat Embong Ijuk, dia bernama Moeksin. Pada diri Moeksin ini tulang ekornya sangat panjang, sehingga dia seperti memiliki ekor.
Kepala Dusun Embong Ijuk juga mengatakan, bahwa orang-orang berekor itu tinggal di wilayah di tengah hutan antara Rejang Musi-Tengah, Seluma dan Bengkulu, yang bernama Tebo Remas. Pemukiman mereka dikelilingi hutan-hutan bambu yang lebat. Namun, pemukiman-pemukiman itu kemudian hilang, menyusul semakin sedikitnya populasi mereka.
J.L.M. Swaab sendiri menceritakan, bahwa dia sendiri secara kebetulan pernah menemui orang berekor ini. Dalam perjalanan pada pal 29 antara Kepahiang-Taba Penanjung menuju Bencoolen (Bengkulu) ia melihat seorang perempuan yang sangat jelas memiliki ekor vestigial. Wanita itu bersama seorang anak kecil tengah mandi di salah satu pancuran yang memang banyak terdapat di sepanjang jalan.
Sebuah makam tua di Padang Lekat dipercaya sebagai makam seorang manusia Rejang berekor
Selama ini kisah manusia berekor nusantara hanya terdengar ada di Kalimantan dan Aceh. Namun, di wilayah masyarakat Rejang (lebih spesifik di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Kepahiang) juga menyimpan kisah tentang manusia berekor, yang disebut dalam bahasa Rejang sebagai sebagai Jang Bikoa.
Informasi paling awal tentang manusia berekor ini disebutkan dalam Tambo Asal Usul Bangkahulu. Penguasa Sungai Serut (nama tua untuk Bengkulu hari ini), Ratu Agung (yang diperkirakan hidup pada pertengahan atau akhir 1400-an) memiliki satuan pengawal istimewa, laki-laki bertubuh besar tinggi dan memiliki ekor.
Banyak orang menolak secara terang-terangan kisah tentang orang Rejang yang memiliki ekor ini. Atau yang menolaknya dengan halus dengan memberikan interpretasi tersendiri tentang “ekor” itu.
Bagaimana eksistensi manusia Rejang berekor ini?
Hazairin, salah seorang peneliti awal tentang masyarakat Rejang, juga termasuk yang menolaknya, dengan mengatakan bahwa yang terlihat sebagai ekor itu sebenarnya adalah gagang keris panjang yang diselipkan di pinggang orang Rejang, yang jika dilihat dari jauh menyerupai ekor (dalam Hazairin. De Redjang. 1936. Bandung: A. C. Nix & Co. Hal. 35) Hazairin pada masa-masa itu menerima informasi tentang Kepahiang sebagai bahan disertasinya melalui sumber ketiga, tidak bisa dipastikan jika dia sendiri pernah ke Kepahiang. Namun, dari beberapa pengakuan penguasa-penguasa dan orang-orang di Rejang Musi-Tengah dan Seluma, sebagaimana yang dicatat oleh W.A. van Rees, J.L.M Swaab dan Adolf Bastion, mengatakan bahwa mereka bertemu dengan orang berekor ini.
Rejang berekor (Jang bikoa) yang hidup pada masa Ratu Agung di Sungai Serut bukan artinya ‘orang Rejang berbiku’, bukan proses salah lihat (gagang keris dikira ekor), dan bukan pula sebuah teori untuk mengatakan bahwa Rejang Berekor merupakan simbol masa peralihan dari peradaban lama ke peradaban baru (harus diakui cara pandang seperti ini tidak dibenarkan dalam penulisan sejarah, karena bersifat ahistoris, pandangan tidak sesuai dengan masanya, yang melihat masa lalu dengan cara pandang hari ini). Sebaliknya, Rejang berekor adalah entitas manusia (mungkin kelompok atau orang seorang) sejati yang memang memiliki ekor vestigial. Harus adalah argumentasi yang kuat dan kokoh untuk membantah pernyataan bahwa orang-orang di Rejang Musi-Tengah dan sedikit orang di Seluma telah sering menyaksikan sendiri, berkomunikasi bahkan pernah memperkerjakan orang yang memiliki ekor ini di ladang mereka. Orang Rejang Musi-Tengah sendiri memiliki banyak “bukti” untuk menunjukkan keberadaan entitas manusia berekor ini.
Lepas dari perspektif dan perdebatan evolusi atau biologis, orang berekor dari Rejang Saba dipastikan benar, sebuah fenomena dinyatakan ada dan yang pernah hidup di Bumi Bengkulu, sehingga diakui dengan jujur pula keberadaannya oleh penulis Tambo Bangkahulu (yang dipastikan sangat Sungai-Serutsentris dan Ratu Agungsentris).
Masih memerlukan penelitian lebih dalam, namun Jang bikoa adalah pernik unik dalam sejarah Rejang dan Bengkulu!
Kepustakaan:
Bastion, Adolf. Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel. Berlin: Ferd. Dümmlers Verlagsbuchhandlung Harrwitz und Gossmann. 1886.
Beschrijving Der Onderafdeeling Redjang Dalam Jurnal Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsch-Indië, 01/1916, Volume 72, Issue 1.
Hazairin. De Redjang. 1936. Bandung: A. C. Nix & Co
Tambo Asal-Usul Bangkahulu