Bergerilya di Gunung Halimon
***Bergerilya di Halimon ***
Langkah, rezeki, pertemuan, dan ajal sudah digariskan. Secara sadar tanpa dipaksa, Zaini bersua berulang kali dengan deklator Aceh Merdeka Hasan Tiro,Ph.D. pertemuan yang menambahkan wawasan dan pengalaman baru. Kadangkala berjumpa di Medan, Kuala Simpang atau Pidie. Silaturrahmi yang sangat luar biasa emosional ini mewariskan kenangan mendalam.
Wali Negara mencurahkan pencerahan yang mengiring hidup Zaini berjuang bersama untuk pembebasan Aceh. Setiap ucapan Wali terukur dan jelas. Logika dan rasional didedah secara apik. Satu kalimat untuk Hasan Tiro yakni beliau orator ulung seperti Abu Daud Bereueh. Abu Daud Bereueh adalah guru Hasan Tiro sejak revolusi Indonesia, pergerakan DI/TII 1953 hingga proklamasi Aceh Merdeka 1976.
Doktor Zaini menyimpan takjub kepada Wali yang berkomitmen mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Wali yang bergelar Ph.D meninggalkan kemewahan di New York Amerika Serikat termasuk harta yang tidak ternilai yakini putra semata wayang Karim Tiro yang berusia tujuh tahun dan istrinya Dora. Pengorbanan yang luar biasa untuk membebaskan rakyat dari ketidak adilan dan kezaliman.
Diskusi tahun 1976 menjadi titik balik dari kuliah kesadaran politik dan sejarah yang berulang kali dikupas oleh wali Negara. Zaini tertarik dengan persentasi Wali untuk membangun Tanoh Endatu yang makmur dan sejahtera seperti era Sultan Iskandar Muda Kerajaan Aceh. Ini bukan bermakna kembali kemasa lalu. Hidup kedepan bukan kebelakang. Itu adalah alasan mengapa Zaini rela bergelut di belantara yang jauh dari gemerlap dunia yang ditekuninya yaitu dunia kedokteran.
Zaini memiliki darah keturunan yang tidak menginginkan negeri ini diperlakukan secara tidak beradab. Zaini mewariskan jiwa pemberontak terhadap ketidak adilan. Yang dimaksud Zaini disini orang tuanya adalah Teungku Abdullah Hanafiah.
Perjumpaan Hasan Tiro dengan intelektual muda ini diuraikan di The Price of Freedom yang dicatat pada senin, 20 Desember 1976 (28 Zulhijjah 1396 H) sebagai berikut :
Karena kondisi keamanan sudah kondusif, kami mengambil keputusan pindah ke bawah, ke Asrama Alue Bili, di kaki Gunung Cokkan, di tepi Sungai Tiro. Posisi ini memudahkan membangun hubungan dengan warga gampong dan agar orang-orang tidak terlalu berat memikul bahan makanan seperti di Gunung Cokkan. Di Asrama Alue Bili kami bisa mandi di aliran sungai Tiro yang airnya mengalir jernih sambil menangkap ikan. Sebelumnya, asrama Alue Bili kita jadikan sebagai pos penjagaan untuk Asrama Cokkan.
Di Asrama Alue Bili inilah kembali datang dr.Muchtar Hasbi menjenguk saya di hutan yang sebelumnya bertemu di Panton Weng. Dalam rombongan dr.Muchtar Hasbi ikut dr.Zaini Abdullah, dr.Zubir Mahmud, Ir.Asnawi Ali dan beberapa pemimpin Angkatan Aceh Merdeka lain, semuanya sudah meninggalkan anak dan istrinya demi membela agama dan bangsanya.