Ringkas Saja
Saya kadang menulis agak panjang. Saya sadar bahwa kegairahan orang kita dalam membaca masih biasa saja. Bahkan, saya sendiri tidak rajin-rajin amat membaca. Tapi, tetap saja saya menulis kepanjangan.
Saat Koran Tempo mengubah formatnya menjadi ringkas (compact) pada Mei 2005, saya sangat tertarik. Memang, gaya ringkas ini sedang tren saat itu di Eropa. Surat kabar seperti The Independent, The Times, dan The Scotsman terbitan Inggris, sudah beralih ke format tabloid itu.
Di pengantar redaksinya, Koran Tempo menjelaskan bahwa penulisan gaya ringkas dimaksudkan agar pembaca cepat dan mudah mengakses berita. Disebut cepat karena berita ditulis pendek dengan tetap memuat prinsip dasar 5W1H. Dibilang mudah karena ukuran kertasnya setengah dari koran biasa sehingga pembaca nyaman memegangnya sambil duduk di warkop atau angkutan kota. Tambahan lagi, penulisan suatu berita tidak bersambung ke halaman lain, semua tuntas pada satu halaman. Mulai Juli 2017 ini, mengikuti tren masa kini, Koran Tempo akan memperkuat lini koran digitalnya dengan tetap berpegang pada filosofi cepat dan mudah tadi.
Sebenarnya, semangat menulis ringkas saya dapatkan jauh sebelum 2005, yakni saat saya di Jogja. Di kota pelajar ini, saya berkenalan dengan Teuku Jacob, mantan Rektor UGM. Beliau gemar menulis. Alat yang dipakai untuk menulis adalah mesin ketik biasa. Nah, tiap-tiap kata yang diketik benar-benar dipilihnya. Tak hayal, takkan ada kata yang mubazir dalam tulisannya. Menurut seorang teman, kebiasaan memakai mesin ketik tetap beliau lakoni walau komputer sudah memasyarakat. Mungkin, ada sensasi tersendiri mengetik dan mendengarkan tombol-tombol analog itu. Boleh jadi, nada-nadanya memberi inspirasi bagi ahli ragawi ini.
Saat saya mencoba mempraktekkan filosofi Teuku Jacob dalam mengetik, tak terasa tulisan saya menciut panjangnya. Maka, siapa saja yang menemukan skripsi saya di relung-relung Perpustakaan Geografi UGM, mungkin itulah skripsi tertipis yang ia lihat dalam hidupnya.
Di era digital ini, publikasi tulisan semakin mudah. Untuk mengetik pun cukup dengan ponsel di tangan. Saya khawatir, dengan kemudahan itu tulisan yang beredar juga akan semakin panjang. Lihat saja di Twitter. Kemunculan 'kultwit' adalah semangat menulis panjang yang justru melawan semangat cuitan 140 huruf yang diperkenalkan Twitter. Lelah hayati kita membacanya.
Biarpun demikian, teruslah menulis (status, komentar, opini, jurnal ilmiah, buku, dsb.) walau mungkin hanya kita sendiri yang membacanya.
Karena sudah kepanjangan, saya padai saja, ya.
:-)