Semalam Di Ranu Kumbolo
Aku berdiri lelah diatas tanjakan cinta, sebuah nama jalur menuju Mahameru, puncak tertinggi di pulau Jawa.
Aku berdiri tegap sambil mengatur nafasku yang sedang tak teratur, karena perjalanan dari Kalimati dua jam yang lalu, kulihat kedua temanku Jurem dan Orong, menuruni tanjakan ini sambil berlari dan berhenti tepat didepan sebuah genangan air yang begitu luas. Ranu Kumbolo namanya, sebuah danau nan indah yang hanya dapat kita jumpai di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ini, di Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur, Indonesia.
Lama aku berdiri diatas tanjakan ini, sebenarnya aku sangat kesakitan saat itu, jangankan untuk menuruni tanjakan ini, untuk berjalan saja aku sangat susah, kedua kakiku sudah cidera, pergelangan lutut kananku serasa berpindah tempatnya, sedangkan seluruh jari kakiku ikut sakit semua, karena turunan yang kulewati dari Kalimati hingga kebukit tanjakan cinta ini, sepatu yang ngepas penyebab utamanya. Tapi, semuanya sudah berlalu, ya sudahlah, tak ada yang perlu disesali, hanya kepuasan batin yang telah memenangi jiwa raga ini.
“Hei kera, enak sekali ya mereka turun dari sini ya, aku ngak kuat lagi, kedua kaki dan jari-jari kakiku sakit semua, apalagi saat turunan makin sakit tertahan sepatu,” Ucapku pada temanku yang berada disamping, sambil melihat kedua temanku lagi menuruni tanjakan cinta dengan lancar seakan-akan tanpa beban.
“Aku juga ngak sanggup, kakiku dua-duanya sakit sejak jalan tadi,” Balasnya, sembari melepaskan cariel bercorak merah hitam yang ada di punggungnya. Nama Kera, itu berasal dari panggilan daerah asalnya, yaitu Sulawesi. Aku juga tak mempertanyakan, mengapa dia dipanggil dengan nama itu, karena sudah terbiasa dengan nama yang aneh, jika sudah berada dalam hutan.
Sambil istirahat mataku tak pernah henti melihat kesisi kiri dan kanan, sebelah kananku kupadang hamparan taman bunga lavender yang begitu luas, namun sayang sekali saat itu, pendakian tahun 2013, bunga itu belum berkembang dan tertutup debu vulkanik gunung Semeru, sehingga warna khasnya yang ungu tidak kelihatan. Setelah puas memandang pemandangan indah itu dan memberi salam hormat kepada Mahameru, yang terlihat perkasa menjulang ke angkasa, akhirnya kami berdua menuruni tanjakan cinta itu, dua temanku sudah menunggu kami disana, sambil mengabadikan suasana di Ranu Kumbolo, begitu indah, begitu mempesona.
Jam tanganku menunjukkan pukul 16.00 Wib, suasana langit Lumajang saat itu sudah mulai gelap, terang namun ke biru-biruan. Tamu yang datang dari berbagai daerahpun mulai memenuhi lapak pinggiran danau, tenda dengan corak norakpun terlihat tersusun rapi dan indah seperti warnanya pelangi. Beberapa orang juga tampak sibuk mendirikan tenda dan mencari kayu bakar, sementara kami tidak perlu mencari kayu, setidaknya untuk mala mini. Mengapa, karena kebetulan tanpa sengaja, tenda kami tidak jauh dari tenda pasangan turis asal Perancis, yang memilih Porter (pengangkat barang), tidak bisa sedikitpun Bahasa Inggris, sehingga aku yang merupakan mantan mahasiswa Fakultas Guru Bahasa Inggris, Unigha Sigli, membantunya menerjemahkan kepada sang Porter. Alhasil, aku diberikan hadiah, ya itu dia, kayu bakar mereka.
Kabut tipispun turun pelan-pelan di Lembah Kumbolo, serasa kita berada didalam awan tebal, senjapun berganti meninggalkan waktunya yang telah usai, langit gelap siap-siap menunjukkan cahaya bintang, yang telah antri sejak tadi siang, dengan bantuan kayu bakar turis asal negara Perancis, waktu bermain api malam itupun kian lama. Pukul 18.00 Wib, gelappun datang, api yang berasal dari sejumlah kelompok inap malam itu mulai bermunculan, membuat suasana malam semakin meriah, bak perkampungan tenda yang sering kita liat didalam film-film remaja versi Holywood.
Suasana dingin menyilimuti malam, aku tak tahu berapa suhunya saat itu. Belaian kabut terus bermain-main dipermukaan danau, membuat Kumbolo, selayaknya pemandian air panas yang begitu luas dan besar. Tanganku masih berada dekat api unggung, yang cukup menghangatkan kami.
Eva, dia gadis asal Jakarta, wanita yang berkulit putih dengan mata yang indah itu, bertemu denganku dalam sebuah gerbong kereta api, saat aku menuju ke Malang, tiba-tiba datang mengahampiri. Saat bersama dia dan teman-temannya, pernah dia mengakui bahwa neneknya berasal dari Aceh, tapi aku tak peduli dengan neneknya, aku lebih peduli dengan udara dingin yang menusuk hingga ketulang malam itu. Namun, tak apa, kedatanganya juga membuat suasana jaadi lebih seru malam itu. Eva datang kabutpun hilang, begitulah kira-kira Bahasa yang cocok saat itu, bintang-bintang yang berasal dari galaksi Bima Sakti, tampak berserakan namun tetap beraturan, membentuk sebuah garis susu yang sangat indah, sehingga malam itu semakin terasa semakin sempurna didampingi Eva.
Malampun berjalan tak terasa, pembahasan kamipun masih terus berlanjut, dimulai dari pengalaman masing-masing hingga tes kejujuran, meskipun serasa tak ada yang jujur saat itu. Waktu telah menunjukkan Pukul 23.15 Wib, hawa dingin Rabu Kumbolo, semakin terasa beku. Embun-embun yang jatuh dari ketinggian 2.500 Meter diatas permukaan laut itu, tak lagi berbentuk air, dia telah berubah menjadi butiran-butiran es kecil yang sangat terasa saat jatuh di pipi. Kami masih bercerita malam itu, satu persatu temanku tumbang karena tak sanggup menahan rasa ngantuk dan lelah sepanjang perjalanan menuruni puncak Mahameru, siang tadi.
“Kamu tidak tidur Eva,” Tanyaku pelan, sambil melihat si Kera yang meminta izin untuk bermimpi.
“Aku sih belum mengantuk, tapi kalau kamu mau tidur, tidak masalah, kita tidur saja,” Jawabnya enteng, tapi senyum manisnya, masih jelas terlihat samar diantara bias-bias cahaya api unggun yang mulai redup.
“Aku rasa, kitaa harus istirahat, kami juga lelah tadi aru turun. Kamu lelah juga kan,?” Tanyaku lagi, yang tahu bahwa kelompoknya baru saja sampai dari Ranu Pani, sore tadi.
“Iya, aku juga lelah. Aku tidur sama kalian saja ya, soalnya tenda kami nampaknya sudah penuh,” Pintanya, sambil melihat kapasitas tenda yang sekiranya masih sanggup menampung wanita ramping itu.
Kamipun, akhirnya tidur bersama dalam tenda yang memiliki kapasitas enam ornag tersebut. “Wanita diujung ya, jangan ditengah, manusia Sulawesi ini, saat malam lebih mengerikan daripada siang hari. Lebih baik dekat dengan orang Aceh, penuh Syariah,” Kataku dengan nada candaan, diikuti suara tawa Eva dan senyum manis si Kera, dalam mimpi saat mendengar celotehku itu.
Posisi kami, semuanya sudah siap ‘berlabuh’, Sleeping Bad-pun telah menutupi semua tubuh kami, sehingga rasa dingin yang menusuk tadi berubah menjadi hangat. Diluar tak ada lagi suara orang yang bersuara, heningnya malam seakan membentuk jiwa yang sangat tentram, jauh dari keramaian dan kebisingan kota yang penuh kemunafikan.
“Besok jangan lupa bangunin aku ya, kalau cepat bangun. Aku juga mau lihat indahnyaa danau ini di pagi hari,” Pintanya lagi dengan nada sedikit kecil seperti berbisik. Setelah itu, tak ada lagi suara, semuanya terlelap dalam mimpi dan nuansa malam Kumbulo.
Cantek kali adek di dalam tenda tu
anak gahool dia..hahhahah
Si ixan hana neu tag agoe..haha
Si Ihsan nyan, gunong Rinjani. Kon Mahameru.. @munawar87
ooohh pue roh
Mantap....
semua akan indah pada masanya...hehehhe
terima kasih @blacksweet24 telah nimbrung disini.
pemandangan yang sangat indah
sukses selalu ,salam saya @wahyu23
Terima kasih @wahyu23
sama-sama
Hi,
Thank you for participating in the #travelfeed curated tag. To maintain a level of quality on the project we have certain criteria that must be met for participation. Please review the following: https://steemit.com/travelfeed/@travelfeed/how-to-participate-use-travelfeed-in-your-posts
Thank you very much for your interest and we hope to read some awesome travel articles from you soon!
Regards,
@travelfeed
P.S. We only accept articles where at least 250 words were written in English