Teknologi Digital, Harapan Mengikis Pengangguran Indonesia?
Teknologi digital kian lekat dengan kehidupan manusia. Dengan begitu, yang tidak siap menghadapinya pun bisa saja kalah oleh peradaban.
Ambil contoh, guncangan sektor ritel. Sepanjang 2017 silam, sejumlah peritel tumbang.
Negeri adikuasa seperti Amerika Serikat pun tak luput dari fenomena tersebut. Diperkirakan sedikitnya 100.000 pekerjaan ritel telah hilang pada 2017 lalu.
Penjualan di toko-toko ritel mulai kurang bergairah. Mal bukan lagi satu-satunya pilihan masyarakat dalam berbelanja akibat kian populernya bisnis online atau dalam jaringan (daring).
Layaknya Amerika Serikat, Indonesia juga mengalami hal serupa. Berita gugurnya gerai ritel menjadi trending topic dalam sejumlah kesempatan.
Di balik tumbangnya ritel konvensional, ada pula kesempatan baru. Bisnis daring semakin menanjak.
Kementerian Komunikasi dan Informatika memproyeksikan pada 2020, ekonomi digital di Indonesia tumbuh hingga 130 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.700 triliun. Angka proyeksi itu mencapai 20 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Estimasi tersebut sejatinya merupakan peluang bagi Indonesia menjadi negara papan atas di dunia. Teknologi digital juga bisa menjadi jawaban untuk mengurangi tingginya pengangguran di Tanah Air.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran Indonesia per Agustus 2017 sebanyak 7,04 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 10.000 orang dari sebelumnya 7,03 juta orang pada Agustus 2016.
Lebih menyedihkan, jumlah kaum muda berusia 15-24 tahun yang menganggur cukup dominan. Proporsinya menyentuh kisaran 20 persen.
”Saat ini, seluruh dunia sedang dalam era persaingan yang kompetitif. Arus investasi global masuk ke mana-mana. Pada waktu bersamaan, teknologi digital berkembang pesat dan mengubah lanskap industri, termasuk di dalamnya pekerjaan,” ujar ekonom Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta, Owais Parray (Kompas, 15/12/2017).
Menurut dia, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia pada era digital ini adalah cara meningkatkan kualitas keterampilan pekerja.
Sebagaimana analisis Asian Development Bank, salah satu penyebab masih tingginya angka pengangguran Indonesia adalah ketidaksesuaian kompetensi pekerja dengan kebutuhan industri (major skill gap).
Alhasil, tenaga kerja muda sulit terserap oleh pasar dan akhirnya terus memunculkan pengangguran baru.
Kondisi itu telah disadari oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.
Pemerintah terus mendorong sekolah pendidikan tinggi untuk memberikan sistem pendidikan terbaiknya. Itu krusial sehingga lulusan-lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang selaras dengan kebutuhan pasar.
Terlebih lagi, persaingan dunia kerja kian lama kian ketat. Seperti teori Charles Darwin, yang kuatlah yang bisa bertahan dalam persaingan (survival of the fittest).
Menyadari semakin besarnya tantangan industri tenaga kerja di masa depan, perguruan tinggi terus memoles sistem pengajarannya. Sampoerna University, misalnya.
Didukung sistem pendidikan terintegrasi dan kurikulum internasional yang berfokus pada science, technology, engineering, arts, and mathematics (STEAM), peluang dan masa depan para mahasiswa tentu jauh lebih terbuka.
Hasilnya, para mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi, kreativitas, berpikir kritis, dan kolaborasi di dunia kerja.
Mahasiswa juga selalu dipacu untuk berkolaborasi dengan para dosen yang mayoritas bergelar doktor dan andal di bidang masing-masing, baik dalam menjalankan proyek maupun aktivitas akademis lain.
Dengan begitu, sejak awal masa perkuliahan, mahasiswa dapat terbiasa dengan situasi dunia kerja masa depan. Peluang mereka terserap kebutuhan industri "zaman now" pun lebih terbuka.