sekilas Rohingya
Rohingnya adalah kelompok minoritas yang banyak tinggal di wilayah utara Arakan. Kelompok Muslim lain yang tinggal di Arakan adalah Muslim Kaman, yang merupakan pribumi Myanmar dan Muslim Rakhine, yang merupakan keturunan dari pernikahan dengan umat Budha Rakhine. Selain itu, terdapat juga etnis minoritas lain yang tinggal di Arakan, seperti Chin, Mro, Chakma, Khami, Dainet, dan Maramagri, yang banyak tinggal di daerah perbukitan. Pemukiman di Arakan tidak padat, dan sangat jarang kota besar di sana. Kota terbesar di Arakan adalah Sittwe, yang juga merupakan pusat perdagangan. Kota lain yang terkenal adalah Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Mrauk-U, Kyaukpru, Thandwe, dan Tounggok. Secara umum, penduduk Arakan banyak tinggal di pedesaan, tinggal di lembah, bukit, dan hutan, atau di sekitar pantai Bengal. Arakan adalah wilayah paling kaya akan tabungan minyak dan gas alam di Myanmar.
Awalnya, Arakan bukanlah bagian dari Myanmar maupun Bangladesh, ia adalah wilayah yang terpisah sampai terjadinya invasi yang dilakukan oleh raja Burma yang bernama Bowdawpaya pada tahun 1784. Dinasti terakhir di Arakan berkuasa dari abad ke 15 hingga 18, dan sangat dipengaruhi oleh kultur Islami. Dasar keyakinan Islam, yaitu Kalima, tertulis di seluruh mata uang mereka. Muslim Rohingya adalah penduduk asli wilayah Myanmar yang disebutkan dalam Asiatic Researches volume ke-5 tahun 1799. Sensus yang dilakukan oleh kolonial Inggris pada tahun 1825 M menunjukkan adanya satu orang Muslim untuk setiap dua orang Budha di Arakan. Seluruh konstitusi dan undangundang kewarganegaraan Myanmar memberikan status pribumi pada seluruh orang yang secara permanen tinggal di Arakan atau di Myanmar sebelum tahun 1825. Muslim Rohingya sebelum tahun 1825 dianggap sebagai ras pribumi yang sah di Myanmar. Namun, hari ini rezim militer Myanmar menuduh etnis Rohingya sebagai imigran gelap asal Bangladesh dan menyangkal status mereka sebagai warga negara Myanmar.
Sejarah Arakan mengklaim bahwa Kerajaan ini didirikan pada tahun 2666 SM.1 Selama berabadabad Arakan pernah menjadi kerajaan yang independen. Ia diperintah oleh berbagai dinasti India dan mereka membuat ibu kota mereka di Dinnawadi (Dhanyavati), Wesali, Pinsa, Parin, Hkril, Launggyet dan Mrohaung di sepanjang sungai Lemro.2
Berdasarkan studi, M.S Collins menyimpulkan bahwa, “Wilayah Arakan Utara sebelum abad ke-8 Masehi dikuasai oleh dinasti Hindu; pada tahun 788 M, dinasti baru yang bernama Chandra, mendirikan kota yang disebut sebagai Wesali; kota ini menjadi pelabuhan dagang yang cukup populer dengan ribuan kapal berlabuh setiap tahun; Raja Chandra adalah seorang penganut Budha, … wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Chittagong. Baik penguasa maupun rakyatnya adalah keturunan India.”3
Selain fakta di atas D.D.E. Hall juga menyebutkan bahwa “etnis Burma tampaknya belum ada di Arakan sampai sekitar akhir abad ke-10 M. Oleh karena dinasti yang berkuasa sebelumnya diperkirakan adalah India, yang memerintah rakyat yang mirip dengan Bengali. Semua ibukota mereka yang dikenal dalam sejarah berada di dekat Akyab saat ini."
Umat Islam Arab pertama kali datang ke Arakan melalui perdagangan selama abad ke-8, dan sejak itu Islam mulai menyebar di wilayah tersebut. Saat itu, orang-orang Arab sangat aktif dalam melakukan perdagangan di laut. Sejak saat itu, populasi umat Islam di Arakan semakin meningkat. Secara bertahap mereka membangun hubungan yang sangat baik dengan penduduk lokal dan menikah dengan wanita-wanita lokal. Sudah menjadi tradisi bahwa penduduk asing dan orang-orang yang berkunjung ke Burma dan Arakan tertarik untuk menikah dengan wanita setempat, dengan pemahaman bersama bahwa saat mereka meninggalkan Arakan, anak dan istri mereka tidak dibawa bersama mereka.6 Mereka hanya sedikit berbeda dengan orang-orang Arakan asli, yaitu dalam hal agama dan pakaian saja— sebagai pengaruh dari ajaran agama mereka.