Rabiah Khatu, The Love Story of Rohingya Girl (End) | Rabiah Khatu, Kisah Cinta Gadis Rohingya (Habis)
Hari ini genap sudah dua bulan Ia berada di atas kapal kayu besar. Tak ada yang berubah dari hari hari kemarin. Di sekitarnya hanya terlihat lautan luas dan sedikit sampah bekas makanan yang mengapung di sekitar kapal. Sampah-sampah plastik itu merupakan bekas bungkusan makanan dan air mineral yang dibagikan untuk pengungsi. Dalam sehari, setiap orang hanya dikasih satu gelar air minum. Itu pun kadang sering terlewatkan.
Rabiah merasa tubuhnya sangat lemas. Usia kandungannya sekarang sudah hampir memasuki tujuh bulan. Ia tak tahu jenis kelamin bayi yang dikandungnya. Di kapal tak ada bidan, apa lagi dokter kandungan. Ia juga tak tahu apakah bayi yang dikandungnya cukup sehat atau tidak. Maklum saja, selama dua bulan di kapal, asupan makanan yang dia dapat sangat minim. Jangankan untuk bayi di dalam perutnya, seakan untuk dirinya saja tak terpenuhi.
Ia berharap, saat kapal yang ditumpanginya tiba di Malaysia, ada saudaranya yang bersedia membantunya melahirkan. Beberapa saudara ayahnya sudah ada yang tiba di Malaysia. Karena itu Ia berharap, kapal kayu ini bisa segera merapat dan berlabuh di sebuah pantai di negeri itu. Agar mereka bisa turun dan mencari jalan untuk sampai ke lokasi penampungan Rohingya di sana.
Ketika sedang membayangkan persiapannya melahirkan nanti, tiba tiba kegaduhan muncul. Banyak penumpang yang berdiri dari duduknya. Mereka sibuk menunjuk pada sebuah kapal nelayan. Kapal nelayan tersebut cukup jauh dari kapal yang mereka tumpangi. Tapi mereka terus berusaha melambai untuk menarik perhatian kapal nelayan itu. Rabiah pun ingin melihatnya, tetapi beberapa lelaki di sampingnya sudah memenuhi bibir kapal. Mereka berbaris dan saling berteriak memanggil kapal nelayan berbendera merah putih.
Tak satu pun dari mereka yang paham, bahwa itu kapal nelayan Indonesia, kapal nelayan milik masyarakat Aceh. Mereka berada di perairan Indonesia, bukan seperti yang mereka duga, Malaysia.
Usaha mereka tak sia-sia. Kapal nelayan yang mereka panggil kian mendekat. Satu dua orang bahkan sudah nekat melompat ke air dan berenang menghampiri kapal nelayan tersebut. Percakapan yang saling tak memahami pun berlangsung. Penumpang kapal menggunakan bahasa Rohingya. Sementara para nelayan menjawab dalam bahasa Indonesia. Namun para nelayan ini paham, dari bahasa tubuh yang diperlihatkan penumpang kapal, mereka dalam kesulitan yang tiada terkira.
Para nelayan Aceh juga menyaksikan ada wanita dan bahkan anak-anak yang sudah tak mampu membuka matanya. Kondisi mereka sangat menyedihkan. Semua dalam kondisi lemas dan nyaris tak sanggup bergerak. Hanya satu dua lekaki yang memaksa untuk mampu berdiri tegak dan melompat ke air, untuk kemudian berusaha menaiki ke kapal nelayan itu.
Para nelayan kemudian membagi seluruh perbekalan yang mereka miliki untuk seminggu melaut. Semua air minum dan bahan makanan yang mereka punya, dialihkan ke kapal berpenumpang Rohingya. Para nelayan ini tak peduli, sehari sebelumnya mereka telah baca di koran-koran lokal, bahwa saat ini banyak kapal yang membawa imigran dari etnis Rohingya dan Bangladesh di lautan. Pemerintah telah meminta angkatan lautnya untuk menghalau semua kapal yang mengangkut imigran pencari suaka tersebut.
Rasa kemanusian yang membuncah, menyaksikan kondisi dan penderitaan yang dialami para penumpang kapal itu, membuat para nelayan sepakat bahwa mereka harus menyelamatkan para imigran itu ke daratan Aceh. Mereka tak peduli nanti akan dihadang oleh tentara atau polisi.
Mengetahui para penumpang kapal merupakan kaum muslim, dan orang Rohingya yang terusir dari negerinya, membuat keberanian seluruh nelayan itu berada pada level paling tinggi. Mereka menarik kapal besar itu ke bibir pantai. Nelayan ini juga mengontak rekan-rekannya yang sedang melaut melalui pesawat radio komunikasi, memberitahu ada kapal bermuatan penuh warga Rohingya, terdampar di tengah laut. Mereka meminta rekan-rekannya untuk membantu bila di tengah laut sana, masih ada kapal lain yang membawa penumpang serupa. Sebuah sikap mulia yang ditularkan untuk menyelamatkan manusia yang tertindas. Atas nama kemanusian, mereka bergerak sendiri. Berbuat dengan naluri, tanpa instruksi. Mereka laksana pahlawan sejati.
Kapal nelayan berhasil menarik kapal berpenumpang 660 orang itu ke kawasan Pantai Ulee Rubek, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara. Satu persatu penumpang diturunkan. Warga berdatangan untuk membantu.
Rabiah dengan sabar menunggu giliran diturunkan. Ia kepayahan, karena perutnya semakin membesar. Seluruh sisa tenaganya Ia kerahkan agar bisa menuruni kapal yang telah dinaikinya selama dua bulan menantang maut di tengan lautan luas. Karena kondisinya yang sedang hamil, Rabiah tak lama menunggu. Orang yang membantunya tahu persis, kondisi Rabiah lebih rentan dari yang lain karena sedang hamil besar. Sebenarnya, di dalam kapal yang ditumpanginya terdapat beberapa perempuan hamil lain. Tapi kondisi kehamilan Rabiah lebih lama dari yang lainnya.
Bersama seluruh pengungsi lain, Rabiah ikut dipindahkan beberapa kali hingga ahkhirnya Ia menempati sebuah kamar di Gedung Balai Latihan Kerja (BLK) milik Pemerintah Kabupaten Aceh Utara di Desa Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur. Banyak relawan yang memberi perhatian ekstra untuk Rabiah. Ia dianggap masih sangat muda untuk menjadi calon ibu. Lebih lagi ini merupakan kelahiran anak pertama baginya.
Rabiah sendiri mengaku agak khawatir menanti hari-hari untuknya melahirkan. Namun dukungan dan perhatian yang diberikan para relawan dari banyak lembaga cukup untuk membuatnya optimis. Tak hanya membangunkan semangat bagi Rabiah, namun sejumlah lembaga bahkan sudah menyiapkan kebutuhan dan perlengkapan yang dibutuhkan bayinya kelak.
**
Bayi mungil itu diberinama Muhammad Hasanuddin. Ia terlihat lucu dan sehat. Rabiah, ibunya masih terlihat pucat usai proses persalinan. Ia melirik bayinya yang dibaringkan tak jauh dari ranjangnya. Bayi laki-laki itu sudah dimandikan dan dibalut kain bersih oleh tim medis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Meutia, Aceh Utara. Beberapa saat lagi, keduanya akan dibawa pulang ke rumah baru mereka. Saat dibawa ke rumah sakit, seluurh pengungsi masih menempati Gedung BLK. Namun kini semuanya sudah dipindahkan ke kawasan hunian baru yang sangat lengkap, integrated community shelter (ICS) yang dibangun Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari donasi puluhan lembaga luar dan dalam negeri.
Lokasi ICS ini bersebelahan dengan Gedung BLK yang ditempati Rabiah dan pengungsi lain sebelumnya. Rabiah dan bayinya Muhammad Hasanuddin kini menempati shelter dengan nomor K-7, Kompleks ICS Blang Adoe, Aceh Utara. Rabiah tampak bahagia. Ia sering terlihat termemeluk erat bayinya, duduk di depan shelter. Bahkan tak jarang Ia menggendong Hasanuddin jalan-jalan di depan shelter.
Perempuan muda ini berhasil merawat buah cinta dari suaminya Muhammad Nur dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Saat kisah ini dibukukan pertengahan 2015 lalu, usia Muhammad Hasanuddin sudah lebih dari dua bulan. Perjuangannya untuk menjaga agar calon bayinya sehat dan lahir dengan selamat, tidak hanya menjadi kisah milik Rabiah seorang diri. Ratusan atau mungkin ribuan wanita Rohingya lain, harus berjuang sendiri di negera asalnya Burma dan di lokasi-lokasi penampungan di beberapa negara lain, karena mereka para perempuan yang kehilangan suami, imam dan pelindung hidupnya. Derai air mata, tak mampu melukiskan perihnya perjuangan mereka selama ini.
Cinta mu Rabiah, pada setiap tarikan napas anak mu, Muhammad Hasanuddin, akan menjadi mesin penghitung atas amal baik mu kelak. Amalan yang akan memperberat timbangan bagi mu, untuk mendapatkan surganya Allah.
Note: Hasanuddin bayi Rohingya pertama yang lahir di Blang Adoe, Aceh Utara.
hello friend @zainalbakri great story thanks for sharing , i congratulate you , keep it up
Rabiah dengan sabar menunggu giliran diturunkan. Ia kepayahan, karena perutnya semakin membesar. Seluruh sisa tenaganya Ia kerahkan agar bisa menuruni kapal yang telah dinaikinya selama dua bulan menantang maut di tengan lautan luas. Karena kondisinya yang sedang hamil, Rabiah tak lama menunggu. Orang yang membantunya tahu persis, kondisi Rabiah lebih rentan dari yang lain karena sedang hamil besar. Sebenarnya, di dalam kapal yang ditumpanginya terdapat beberapa perempuan hamil lain. Tapi kondisi kehamilan Rabiah lebih lama dari yang lainnya. kanda @zainalbakri apakah kanda mengetahui suami rabiah dimana? waktu itu. dan yang pasti ini kisah memilukab bagi rabiah dan orok dikandungnya... salam @nauval KOMUNITAS STEEMIT INDONESIA. #SAPEUKHEN SAPEU PAKAT @ACEH
Cinta mu Rabiah, pada setiap tarikan napas anak mu, Muhammad Hasanuddin, akan menjadi mesin penghitung atas amal baik mu kelak. Amalan yang akan memperberat timbangan bagi mu, untuk mendapatkan surganya Allah.
Aamiin ya Allah