Masih Edisi Pamrih : Kisah Seorang Sahabat yang Membuat Mataku Terbuka Lebih Lebar Memaknai Kehidupan

in #story6 years ago (edited)

flickr.jpg
sumber: flickr

Hallo, Sahabat Steemian. Semoga nggak bosan ya main ke blogku. Kali ini aku masih akan bercerita tentang “pamrih”. Seperti yang kubilang pada kalian, bahwa aku juga pernah mengharapkan pamrih. Seiring berjalannya waktu, keinginan untuk melakukannya terkadang muncul kembali. Namun jika perasaan itu muncul tiba-tiba, aku akan lekas introspeksi diri bahwa hidup hanya sebentar.

“Apalagi yang bisa kauberikan ke banyak orang selain berbagi kebaikan. Kau tidak tahu kapan akan mati, bisa jadi esok hari atau nanti malam,” kata orang lain dalam tubuhku. Ya, ya, terkadang orang itu benar juga.

Baiklah, Sahabat Steemian. Kisah ini sebenarnya lebih kufokuskan pada seorang teman, yang kemarin sudah kusebut-sebut namanya. Kukatakan pada kalian bahwa aku sangat beruntung berteman dengannya sebab banyak sifat-sifat baiknya yang bisa kutiru. Pernahkah kalian memiliki seorang teman/sahabat yang tidak pernah berbohong kepada kalian? Aku pernah, makanya kubilang Aku aku sangat beruntung. Keberuntungan itu tak melulu soal uang loh.

Kalian yang kemarin mampir ke blogku pasti masih ingat. Namanya Wirda. Kupikir, ia adalah bidadari surga yang kutemui di dunia ini. By the way, Wirda masih jomlo loh. Bagi kalian yang ingin taaruf dengannya (sebab ia tak mau pacaran), bolehlah menghubungiku. Ups, ini bukan biro jodoh sih. Hanya sekalian saja.


Aku sudah kenal Wirda sejak zaman kuliah. Kami berada di satu fakultas yang sama. Ia kuliah di jurusan MTK dan aku Bahasa dan Sastra Indonesia. Kebetulan saat KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Lubuk Bumbun Kabupaten Merangin dulu, kami berada di posko yang sama. Hingga pada akhirnya kami wisuda dan bekerja, tak kusangka bisa satu kantor lagi dengan Wirda. Bedanya, Wirda mengajar bimbel SD, aku mengajar SMP dan SMA. Dulu, aku pernah mengajar SD, namun aku pindah ke tingkat SMP/SMA karena beberapa alasan. Meski sebagian orang menganggap pengajar bimbel sebelah mata, bagiku ini bukanlah masalah besar. Berbagai hujatan justru akan menjadi kekuatan bagiku.

Simak kisah di bawah ini ya, Sahabat Steemian!


Jarum jam berdentang sampai dua belas kali. Aku dan Wirda menuju dapur kantor. Kami makan siang berdua saja sembari membicarakan banyak hal tentang kehidupan.

“Rin, apa kau besok pergi ke pesta pernikahan teman kuliah kita?” Kita pergi bareng saja bagaimana ?”

“Boleh. Aku sudah menyiapkan kado yang mahal. Semoga mereka suka. Aku juga sudah menuliskan namaku di dalam kado itu. Apa kau juga melakukan hal yang sama?” Aku menatap Wirda.

Wirda terdiam beberapa detik. Ia memasukkan makanan ke dalam mulutnya. “Tidak, aku tidak pernah melakukannya.”

kado.png
sumber: boomee

“Kenapa? Bukankah kita memberi kado pernikahan agar si pengantin tahu bahwa pemberinya adalah kita, Wir?”

“Iya. Tapi aku tidak bisa melakukannya.”

“Tapi kenapa?” Aku bertanya penasaran.

“Sebab aku menakutkan beberapa hal.”

“Apa itu?” Aku mengunyah makanan dengan hati-hati.

“Maaf, Rin. Jika kukatakan, aku takut menyinggung perasaanmu. Aku tak pernah ingin melukai siapa pun.”

“Wirda, kamu sahabat baikku. Aku janji aku tidak akan tersinggung.”

“Kamu yakin?”

“Sangat yakin.” Jawabku sambil mengunyah nasi padang.

“Sebenarnya alasan dibalik itu semua adalah keikhlasan. Aku takut bila aku menuliskan namaku di kado tersebut, aku jadi mengharap juga akan memberikan kado yang harganya senilai saat pernikahanku. Aku takut pamrih.” Wirda menjawab dengan hati-hati.

Aku tersentak dan mematung beberapa saat. Aku memang tidak tersinggung akan ucapan Wirda yang lembut. Aku hanya merasa seperti sedang dicubit sengit oleh perkataannya. Benar apa yang ia katakan, aku memang mengharapkan demikian.

“Wirda, apakah maksudmu pemberian kado dengan caraku ini adalah sebuah bentuk pamrih?”

“Rin, jangan salah paham. Aku tidak mengatakan demikian. Setiap orang memiliki cara yang berbeda. Aku melakukan dengan caraku karena begitulah yang aku yakini, aku sungguh tak bermaksud menyinggungmu. Maafkan aku, aku menyesal harus mengutarakannya padamu.” Wirda merasa bersalah. Ia mengambil gelas dan menempelkannya ke tengah bibirnya. Air mineral pun memasuki kerongkongannya.

“Tidak Wirda, kamu tidak salah. Caramu sudah baik dan benar. Terima kasih ya atas jawabanmu. Sekarang aku tahu kenapa banyak orang yang menyayangimu. Karena kau benar-benar tulus. Kau sungguh berbeda dari teman-teman yang lain. Aku beruntung mengenalmu.”

“Ah, Kau bisa saja. Aku hanya perempuan biasa. Oh, iya, Minggu kita berangkat pukul 14.00 WIB saja, ya!” ajak Wirda.

“Baik. Aku setuju. Apa kau juga memberikan kado yang mahal, Wirda?”

“Tidak.” jawabnya.

“Apa karena harganya yang tidak mahal lalu kau takmau menuliskan namamu di sana?” Aku kembali mempertanyakan hal konyol. Hahahahahahha.

“Maaf Rin, jangan tersinggung, ketika aku memberikan kado pernikahan, seberapa pun harganya, aku takpernah menuliskan namaku dengan alasan tadi.”

“Kamu memang seperti malaikat tanpa sayap, yah. Kamu baik hati dan tulus. Aku ingin menjadi sepertimu. Tapi kau tahu, hatersku lumayan banyak.”

“Kamu terlalu sering memuji. Terkadang aku takut pujian akan membuatku sombong. Dan begitulah risiko jadi orang populer, fansmu juga banyak kan? Sebandinglah..” Wirda menjawab setengah bercanda.

“Hahhahahhahahahhahhhahahahaha. Sial. Mana punya aku fans yang banyak, paling juga siswa-siswa,” Aku tertawa lepas.

“Kau selalu tertawa bila kau bicara begini. Padahal, aku sungguh mengatakan ini dari lubuk hatiku.”


kochie frog.jpg
sumber: kochie frog

Kami terdiam sejenak sembari menikmati gorengan. Tiba-tiba aku bertanya kepada Wirda.

“Baiklah, apa kau sedang menabung sehingga membelikan kado yang biasa?” Aku bertanya laiknya wartawan.

“Iya, dari mana kau bisa tahu?”

“Dari matamu yang mengisyaratkan kejujuran dan kesederhanaan.”

“Kau menggombali aku, Rin?” Jawab Wirda sambil tersenyum.

“Bisa jadi demikian.”

“Lantas buat apa?” Tanya Wirda.

“Supaya kau mengatakan sebuah kejujuran kepadaku.” Aku menyeruput jus mangga di gelas plastik.

“Apa selama ini aku pernah membohongimu, Rin?”

“Tidak. Tidak pernah. Barangkali hanya kau satu-satunya teman yang tak pernah membohongiku, dan aku sungguh menganggapmu lebih dari teman atau sahabat. Kita pernah tinggal bersama selama dua bulan saat KKN dulu. Jadi, aku tahu segalanya. Ini jawaban terjujurku, Wir,” ucapku.

“Lalu yang kau maksud itu mengatakan kejujuran yang bagaimana?”

“Begini, Wirda. Kita ini sahabat baik. Bahkan aku sudah menganggapmu sebagai saudara. Kau belum mengatakan
kepadaku tentang tabunganmu itu. Apa untuk biaya pernikahanmu kelak?”

“Bukan.” Jawabnya.

“Lantas buat apa? Maafkan aku yang selalu ingin tahu urusanmu. Aku hanya seorang teman yang terlalu ingin tahu.” (Terkadang aku suka kepo banget tingkat iblis bertanduk lima)

“Rini yang baik, aku takut jika mengatakannya padamu, aku takut menjadi sombong.”

“Kau selalu begitu, selalu diplomatis. Apa kau anggap aku ini presiden?” Kalau kau tidak mau mengatakannya. Aku pasti ngambek,” ancamku.

“Jangan begitu donk.” Wirda berpikir keras sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Ya, memang begitu,” jawabku.

“Baiklah-baiklah. Aku percaya padamu, Rin.”

“Terima kasih, Sahabatku. Kau bisa memulainya sekarang!”

“Sebenarnya aku sedang menabung untuk membeli seekor sapi.”

“Wah, ternyata benar. Kau mau menikah, ya? Sapi itu akan kau gunakan untuk pesta pernikahanmu supaya bisa dimasak rendang atau gulai kesukaanmu.” Potongku.

“Bukan. Bukan begitu. Aku tidak bilang aku punya rencana menikah dalam waktu dekat.” Jawab Wirda.

“Lalu buat apa sapi yang akan kau beli itu?”

Gambar-Animasi-Kartun-Sapi.jpg
sumber: gambarmania.com

“Sebenarnya, sapi itu akan kukurbankan saat Iduladha.” Jawab Wirda dengan suara lirih.

“Kau serius melakukannya? Kau tahu gaji kita di sini tidak seberapa untuk membeli seekor sapi yang mahal, Wirda?”

“Itulah gunanya aku menabung, Rin.”

“Kau sungguh berhati besar. Di zaman seperti sekarang ini, banyak orang berlomba-lomba menabung untuk kebahagiaan dunia, tapi kau sungguh berbeda,” jawabku

“Rin, setiap orang punya cara pandang yang berbeda. Ini cuma masalah cara pandang saja.”

“Sapi itu akan kaukurbankan tahun ini, Wir?”

“Insha Allah jika uangnya sudah cukup. Doakan saja ya!”

“Tentu aku selalu mendoakanmu. Kurbannya akan kauberikan atas nama siapa?”

“Untuk ibuku. Doa yang akan kutitipkan khusus untuk almarhum ayahku,” Jawabnya.

“Semoga doamu tersampaikan ya. Aamiin. “

“Terima kasih, Rin. Kau juga wanita yang baik juga cerdas. Kau selalu punya cara untuk membuatku menceritakan banyak hal. Oh iya, tidak ada tulang hari ini. Kau lihat kan, menuku sayur semua. Kau tentu tak bisa membawa tulang-tulang untuk kucing kampung kesayanganmu,” jawabnya.

“Bukan masalah besar, Wirda. Kelak, aku juga ingin berkurban. Entah bisa kapan. Aku ingin menjadi sepertimu.”

copy-of-idul-adha.jpg
sumber: Mahfud Achyar.wordpress.com (Meski sedang tidak iduladha, aku ingin saja memostingnya, tidak apa kan Sahabat Steemian?)


Muaro Jambi, 06 April 2018
Follow my steemit/instagram @puanswarnabhumi !

Sort:  

indahnya persahabatan seperti itu dan beruntungnya punya sahabat seperti itu.....

Hihihi alhamdulillah, bang.

Dialog dengan diri sendiri penting sering dilakukan, itu namanya dialog kontemplatif. Kita harus sering bertanya, dan tentu harus menjawab sendiri. Rasakan indahya dan tidak sama dengan dialog dengan orang lain, yang semuanya memiliki persepsi sendiri terhadap masalah yang kita hadapi. Orang yang laing kita percaya harusnya adalah diri sendiri...

Makasih pak dokter. 😍

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 53801.93
ETH 2252.31
USDT 1.00
SBD 2.26