Senja di sebuah sore
Senja di sebuah sore. Cahayanya memantulkan bayang-bayang pada tempatku menunggu.
Aku sedang menunggu kehadiranmu..
Senja dan sore masih terlihat sama saat pertama kalinya kau dan aku bertemu. Saat kau duduk di sampingku di antara orang-orang yang sedang menunggu sunset. Kau sedang menunggu. Begitu juga denganku. Kau bingung mau berbuat apa dengan kesendirianmu. Hingga akhirnya, kau mengajakku berkenalan.
Anton, begitu kumemanggilmu. Kau menceritakan tentang dirimu. Kau bercerita tentang rasa bosan yang menguntit. Tentang kejenuhan dan perihal aktifitas yang berputar disitu itu saja.
Seperti biasanya juga di perpindahan waktu menuju senja ini, kau dan aku saling menunggu.
Seiring waktu, kita sering menghabiskan sore di anjungan losari, bercerita tentang problematika umat, hingga hal yang bersifat nihilistik.
Kau tahu?
Aku masih ingat tentang cerita kita yang dulu. Saat kau mengucap isi hatimu padaku, di tempat yanh sama kau memegang tanganku sambil berucap, “Aku mencintaimu.”
Kujawab, “Aku juga mencintaimu.”
Begitulah. Terasa cepat bagiku menerima rasa. Cintamu datang terlalu cepat dari apa yang kubayang. Hingga, hadirmu bagaikan mentari yang memberikan kehangatan saat hujan membawa kedinginan dan pelangi yang melukiskan keindahaan kala hujan telah sirna dari pandangan.
Satu hal yang membuatku luluh tak berdaya adalah perhatianmu. Aku masih ingat saat kau meneleponku pagi itu. Kau bilang, “Jangan lupa sarapan ya.”
Aku selalu menjawab, “Kau juga, sayang.”
Kau selalu tahu, bagaimana membuat momen sederhana menjadi istimewa. Lewat hal-hal sepele, kau membuatku luluh tak berdaya, tak ubahnya seperti sebongkah es yang tersorot surya.
Pada anniversary jadian kita, aku sudah menunggumu. Kau bilang padaku, kau akan memberikan sesuatu untukku. Aku sudah menebak-nebak dalam benak. Bertanya tentang apa yang ingin kau berikan kepadaku. Aku tak sabar menunggu. Namun, kau tak jua datang menemuiku.
Langit sore itu mulai merenik-renik. Seakan ingin memuntahkan air laut, atau sungai, atau danau, aku tak tahu. Sekitar pukul lima sore kau tak kunjung tiba. Padahal, kau janji akan menemuiku jam empat. Tak heran bila hatiku senantiasa bergoncang. Entah kenapa aku tak tahu. Mungkin, karena tak sabar aku menanti kejutan darimu. Atau, ada firasat lain yang menyusup.
Kring. Kring. Kring. Teleponku menyala. Ada namamu di layar. Tanpa berpikir panjang, aku mengangkat, “Halo, sayang. Ke mana aja kau ini?”
“Maaf, ini pacarnya anton ya?” suara itu menjawab. Aneh kurasa. Suaranya tak seperti suaramu. Nadanya juga seperti orang cemas dan kebingungan.
“Iya. Mohon maaf, ini dengan siapa ya?”
“nugie,” jawabnya, seperti dugaanku; suara itu bukan suaramu. “kak, ini darurat. Teramat darurat.”
Jawaban di telpon itu sontak membuat jantungku berdegup kencang. Pikiranku ke mana-mana. Banyak pertanyaan yang singgah di kepala. Tak sudi aku terpuruk dalam keruhnya pikiran, suara itu menyahut.
Aku, nugie, temannya anton,” begitu sahutnya.
“Oh, kau temannya anton ya? Lalu, di mana anton?” tanyaku.
Suara di balik telepon itu tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya berucap, “Aku tahu, ini pasti berat bagimu. Tetapi, kamu harus menerimanya dengan lapang. Kamu juga harus sadar bahwa segala yang ada di dunia ini hanya milik Tuhan.”
Tak kuasa aku mendengar. Sungguh, jantungku berdegup begitu kencang. Lelaki itu belum menjelaskan peristiwa apa yang membuatnya berkata demikian, walau sebenarnya aku sudah menduga. Menduga dengan hati dan perasaan bahwa hal buruk telah terjadi padamu. Dan dugaanku ternyata benar.
“anton telah meninggal ditabrak” jelas Nugie.
Aku mematung. Mulutku terasa dikunci oleh takdir. Hatiku hancur; dilebur oleh kematianmu. Kau tahu? Kau membuatku berpikir. Aku berpikir dalam tatapan kosong. Kenapa kau pergi saat cintaku telah tinggi menjulang, tak ubahnya setinggi pohon beringin? Kenapa kau harus meninggalkanku begitu cepat. Aku tak terima. Aku belum bisa menerimanya. Aku belum bisa menerima kepergianmu.
Kala pikiranku masih sekeruh genangan air, Nugie menjelaskan padaku sebuah peristiwa yang membuatmu harus berpulang. Katanya, waktu itu.
Aku ingat satu hal yang sempat Rio katakan di telepon.
“Anton terburu-buru pasti untuk menemuimu. Kelihatannya, ia seperti akan melamarmu, sebab aku menemukan sepasang cincin berbalut kotak merah di saku jaket miliknya.”
Mengetahui hal itu, hujan sore ini semakin menjadi-jadi.
Airnya sampai tumpah di pipiku.
Kau telah meninggal. Meninggalkanku sendirian di sini di tempat orang-orang sedang menunggu. Teramat banyak orang di sekelilingku sedang menunggu. Orang-orang itu duduk dan sebagian lagi berdiri dengan raut muka yang beragam; cemas, bosan, bingung, dan semacamnya. Aku tahu, mereka sedang menunggu, seperti halnya diriku. Bedanya, mereka menunggu sesuatu yang pasti, sedangkan diriku, hanya menunggu sesuatu yang semu.
Senja di sebuah sore masih bersenandung. Aku masih duduk termenung. Melihat bayanganmu melalui pantulan-pantulan cahaya keemasan berhamburan. Terbekas secercah rindu yang menghantu. Rindu akan hadirmu. Rindu akan belaianmu. Karenanya, aku hanyut.
Aku masih di sini. Dan akan tetap di sini. Sampai senja disebuah sore menjadi gelap. Sampai kau pulang menemuiku. Walau kutahu, itu tak mungkin terjadi.