Perasaan Berat
Perasaan berat ini mirip ketika kita hendak meninggalkan kampung halaman. Rasa-rasanya kita tak ingin pergi. Pada kondisi seperti itu, kita tak bisa menipu diri sendiri bahwa ada gejolak dalam diri kita. Meskipun akhirnya kita sadar, bahwa kita tetap harus pergi.
Perasaan berat seperti itulah, yang sering kali membuat saya galau jika sudah tiba saatnya turun gunung. Biasanya, saya hanya menghabiskan sekitar satu jam di puncak gunung. Itu pun sudah terlalu lama. Karena hanya sekadar menikmati matahari terbit ataupun terbenam. Atau sekadar menatap gumpalan awan hingga matahari mulai tinggi.
Setelahnya, saya harus bersegera turun gunung. Jika tidak, maka perjalanan pulang bisa semakin sulit. Karena ada tempat-tempat yang harus saya lewati sebelum matahari terbenam. Sebagai pendaki, kita memang dituntut untuk efisien menggunakan waktu.
Begitulah, menikmati puncak gunung itu tak terlalu lama. Padahal jalan untuk menuju puncak ini membutuhkan waktu yang panjang. Bahkan bisa sampai sehari penuh. Banyak tenaga yang terkuras. Hanya demi sampai ke puncak gunung. Namun semuanya harus usai, ketika saat turun gunung itu tiba.
Perasaan berat pun hadir. Menjebak saya untuk enggan turun gunung. Di sinilah, seorang pendaki belajar kerelaan. Ia harus berlapang dada terhadap kenyataan yang dihadapinya, bahwa ia harus ikhlas melepas semua kenangan di puncak gunung ini. Ia harus kembali pulang, menjalani kembali rutinitasnya.
Maka biasanya, sebelum turun gunung saya terdiam sejenak, menatap sekali lagi puncak yang telah saya jejaki. Setelah menghela nafas, saya berpaling dengan membuang jauh-jauh perasaan berat lalu melangkahkan kaki untuk kembali ke kaki gunung.
Perasaan rela inilah yang membuat langkah saya ketika turun terasa ringan. Tanyalah kepada setiap pendaki gunung, bahwa perjalanan pulang itu terasa lebih mudah daripada saat mendaki gunung.
Bisa jadi, karena seorang pendaki telah melepaskan semua perasaan berat dalam hatinya. Maka setiap langkahnya adalah langkah yang mantap. Ia tidak lagi terjebak dengan masa lalunya. Kenangan di puncak gunung telah memberikan perasaan bahagia tak terkira dalam dirinya, yang mengubah perasaan berat menjadi semangat.
Kini, yang ada di benak seorang pendaki adalah segera kembali ke rumah. Dengan perasaan yang baru, perasaan yang lebih ringan. Sebab ia sadar, bagaimanapun indahnya sebuah cerita tetap ada masa usainya juga.
Mantap... Asyiknya mendaki
Verava kilo veratnya?
Tanyakan pada karungman ahhaha
kukira saat menulis ini Ibnu sedang pitam hahhaha
Sedang butuh kupi itam tepatnya Han :D
Selalu ingin merasakan pergi ke puncak, tapi karena aku tahu berat untuk pulang, jadi aku mengurungkan niat untuk mendaki ke puncak. Hehehe
Naik dulu Yel, nanti rasakan sendiri sensasinya. :D