Teungku Chik Di Pante Kulu 'Hidup Lagi' di Taman Budaya
Pasha mengajak saya menonton teater di Taman Budaya. Walau padahal mau menonton film di Aceh Menonton, di malam minggu yang berbahagia ini. Tapi setelah memesan ojol sebesar 21 ribu habis uangku pas pulangnya, aku menikmati menonton teater yang berjumlah dua jam ini.
Salman Yoga, salah satu pemainnya aku temui paginya di acara menulis Lintasgayo.co. katanya nanti malam aku akan main teater di taman budaya Banda Aceh, memerankan peran sebagai penyair. Baru pertama aku melihatnya danaku tertarik dengan pribadinya yang luas wawasan dan tak pernah salah katadalam berbicara.
WhatsApp Image 2018-12-09 at 17.47.49 (1).jpeg
Maka ada lagi kawan beliau, lupa namanya, di acara pagi itujuga, dia bilang sama saya, kau simpanlah sejarah Pidie itu, jangan kauhilangkan. Penemuan-penemuan benda sejarah simpan dengan baik. Tuliskan! Lalu cetuskanlah kapan berdirinya Pidie. Maka aku bilang ada masykur Leungputu Manuskrip, yang mengumpulkan benda-benda sejarah.
Salman Yoga bicara lagi masalah seni, dia bilang Didong
tidak hanya menyanyi tapi mereka juga merekam sejarah peristiwa di masa lalu,
gempa sampai tenggelamnya kapal di laut di masa lalu terekam dalam syair
Didong, tidak seperti seni tradisi sekarang, malah lagu-lagu modern tak satupun
menceritakan peristiwa, malah liriknya merusak bahasa, budaya dan tatakrama
bangsa.
Maka malamnya aku menonton teater, dikasih brosur saat aku masuk dari gerbang utama, pertunjukan teater The Spirit of Aceh. Judul lakon malamini adanya Hikayat Prang Sabi. Tidak terdengar lirik “keu kamoe neubri beusuciAceh merdeka tapi” Syair yang dikarang oleh Teungku Chik di Pante Kulu inisudah dibacakan bait-bait yang lainnya, dari yang saya dengar, tak pernah syairini saya dengar sebelumnya.
Yang menarik dari pementasan ini ada Cut Aja Riska, penyanyi
Do Da Idi, Aceh timur.. eh! Jadi dia selain bermain peran sebagai pelatih
Pasukan Inong Bale, juga konser menyanyikan dua lagu andalannya di album
nyawong. Selain beliau ada juga aktor lain yang kece, seperti Mirza Irwansyah,
Muna, Aan Risnanda Fahlevi, Ampon Nazar, Sanggar Keumala Intan dan diiringi
oleh musik Rapaai Pasee, dan rapai biasa.
Para penonton memenuhi pertunjukan yang memenuhi bangku diindoor taman budaya, tak hanya penonton dari Aceh, ada juga dua orang darieropa. Saya tak berani tanya dari eropa sebelah mana, mungkin dari Jerman,seputaran Beureunuen.
Teater ini luar biasa dengan adanya set yang luar biasa hampir mirip aslinya. Setnya misalnya di bawah rumah Aceh, di dalam rumah Aceh,diatas balai pengajian bersama Teungku Chik di Pante Kulu, mirip sekali dengan aslinya. Saya menjadi tersepona dengan pertunjukan ini.
Teater yang disutradarai oleh Apa Kaoy ini, menceritakan
tentang perlawanan rakyat Aceh, di masa Teungku Chik di Tiro dalam melawan
agresi Belanda. Kekuatan sebuah Syair Prang Sabi yang disebarkan oleh Teungku
Chik di Pante Kulu, ke pelosok-pelosok Aceh oleh murid-muridnya membakar
semangat orang Aceh untuk mengusir Belanda.