Ratapan Anak Pinggir Sungai || Episode IV
SETELAH shalat subuh berjamaah, aku, Anwar dan Geusyik duduk di pinggirian Meunasah. Mata kami menatap ke arah sungai, luapan airnya sudah sampai ke teras Meunasah. Alhamdulillah, petaka kiriman Kulam Cet Tambi kali ini tidak membawa rumah warga. Kami hanya khawatir kondisi padi yang baru selesai tanam di sawah.
Aku dan Anwar memang sudah merencanakan untuk menjumpai Geusyik subuh ini. Kami ingin menceritakan kepadanya rencana untuk menjumpai Bupati hari ini. Sudah menjadi tradisi di kampungku. Bila warga ingin menjumpai Geusyik, tinggal ikuti jamaah di Meunasah. Sudah pasti Ia menjumpainya, kecuali untuk hal-hal tertentu, yang tidak mungkin disampaikan di muka umum.
Sebenarnya aku sangat berkeinginan untuk menjumpai Geusyik di rumahnya. Bukan agar di anggap sopan. Tetapi ada sesuau yang ingin aku lihat di rumahnya.
Namun sudah menjadi kebiasaan bagi kami untuk berjumpa dengan Geusyik memang sering di Meunasah. Aku dan Anwar lumayan dekat dengan Geusyik. Bahkan kami teman diskusi Geusyik dalam setiap persoalan.
Istri Geusyik kami lumayan cantik. Jadi tidak heran. Kalau Vera, anak pertamanya menjadi lirikan pemuda gampong Cet Tambi. Keluarga Geusyik semua berpendidikan, si Vera anak pertama itu sedang kuliah, sekarang sudah semester III. Dua lagi; yang satu masih SMP dan yang satu lagi kelas dua SMA.
Anak terakhir yang masih kelas 1 SMP itu juga sangat cantik. Tapi kalau untuk seumuranku, terlalu jauh selisaih umurnya. Tidak kurang dari 15 tahunan aku selisih umur dengan anak Geusyik yang masih SMP itu. Namanya saja aku tidak ingat. Anak Geuyik yang betul-betul ku ingat namanya, cuma Vera.
Vera memang tidak tinggal di rumah. Dia sedang kuliah di Ibu Kota Propinsi. Dia pulang dua hari yang lalu, karena kuliahnya lagi libur. Kalau tidak salah saya, Vera sekarang kuliah di jurusan Akuntansi. Mungkin dia berkeinginan untuk menjadi seorang akuntan ke depan, apalagi di kampungku, tidak ada satupun orang yang paham betul tentang konsep pelaporan keuangan.
Ah, kenapa juga aku mencertikan keluarga Geusyik di kampungku, apalagi secara khusus aku mencerikan tentang Vera. Bukankah Aku sama Anwar ingin menceritakan sama Geusyik mengenai rencana kami untuk menjumpai Bupati. Ya sudalah, aku pun sudah terlanjur menceritaknnya. Yang pasti, Vera itu cantik orangnya.
“Siapa kamu, mesti diceritakan semua hasil pertemua saya dengan Pak Amir” jawab Pak Geusyik dengan itonasi yang tinggi, sambil menepuk bahuku.
Geusyik kami memang suka bercanda. Jadi jangan heran kalau lagi serius-seriusnya diskusi, tiba-tiba dia mengalihkan pembicaraan dengan cerita-cerita lucu, malahan ada yang koyol.
“Kalau bukan sama saya Anwar ceritkan semua persoalan kampungku ini, sama siapa lagi Pak?. Sama Bapak memang tidak ada solusi” aku mencandai balik candaan Pak Geusyik tadi.
“Ya sudah, mulai besok Geusyik kampung ini kamu saja, biar semua masalahnya dapat kamu atasi” Pak Geusyik membalas balik candaanku.
Itulah yang membuatku nyaman berdiskusi dengan Geusyik. Orangnya sangat ramah, dan bisa mencairkan suasana dalam kondisi apapun. Rasa-rasanya, dia satu-satunya orang yang tidak pernah marah di dunia ini. Tapi jangan coba-coba membuat keonaran di kampungku. Geusyik Daud itu sangat tegas orangnya. Beberapa minggu yang lalu, ada tiga pencuri kerbau yang di bawaknya ke kantor polisi.
“Jadi apa rencananya?, kok tiba-tiba kalian mengahadangku pagi ini, jabatan Geusyik telah saya serahkan padamu, apalagi yang kamu inginkan?” Tanyanya dengan serius, namun tetap dalam bentuk canda.
“Gini Pak, setelah saya mendengar cerita dari Anwar pertemuan Bapak dengan camat kemarin, saya dan Anwar ada rencana untuk menjumpai Bupati hari ini, untuk menyampaikan masalah Pabrik Galian C itu”
“Kalian pikir Bupati itu seperti saya, tinggal datang ke rumahnya, ngopi-ngopi, kemudian kalian ceritkan ini, itu. Masalahnya selesai. Coba kalian pastikan dulu dimana posisi dia, mungkin dia sedang di luar negeri. Lagi ada study banding untuk mendirikan pebrik-pabrik baru lagi”
“Bukan begitu Pak, kita coba jumpai saja dulu, siapa tahu mungkin nanti ada hasil yang berpihak kepda kampung kita” aku berusaha untuk menyakinkan Geusyik tujuan pertemuan kami dengan Bupati.
Sebenarnya aku juga punya pandangan, masalah itu tidak akan selesai di jalan. Pun terjadi aksi lapangan, itu hanya sebatas untuk memperkuat basis di tingkat bawah agat tersedia meja perundingan.
“Ya sudah, sebelum kalian pergi, kalian hubungi dulu nanti Pak Boy, dia sekarang ajudan Bupati. Kalian minta jadwalnya sama Pak Boy, kapan bisa kalian jumpai Buapti. Ini nomornya, kamu simpan” sambil mengeluarkan handphone dari saku celana pendak yang ada di dalam sarungnya.
Aku menyimpan nomornya, dan percakapn kami berakhir di subuh itu, Pak Geusyik telah mengizinkan kami untuk berjumpa dengan bupati. Aku dan Anwar juga pulang ke rumah masing-masing. Sambil jalan pulang, aku bilang sama Anwar “War, nanti aku pukul 07 pagi ke rumahmu ya. Kita harus membuat persiapan untuk berjumpa dengan Bupati, biar tidak koyol nanti di sana”. Anwar pun mengangguk sambil berlalu.
Posted from my blog with SteemPress : http://adillestari.com/ratapan-anak-pinggir-sungai-episode-iiii/
wow.., ini adalah satu cerita yang sangat menarik untuk dibaca
Hehehe . . .
Makasih Bang . . .
Memang ahlinya.
Ahli family Bang ya . . .