Cakra dan Wala
C
“Kau juga penggemar nira espreso?”
Pertanyaan itu tertangkap telingaku hanya beberapa detik setelah waiter mengantar minuman pesananku. Ya, seperti yang barusan disebut, aku memesan espreso nira.
Menyadari kalau pertanyaan itu ditujukan untukku, aku menoleh. Lalu tersenyum ala kadarnya. “Iya,” jawabku singkat.
Kemudian aku kembali fokus pada minuman yang baru disajikan. Segelas nira espreso dingin yang segar. Pahitnya kopi bercampur dengan rasa nira yang asam ternyata mampu memberikan sensasi meneguk kopi yang lebih dari biasanya.
Bagi seorang pecinta kopi sepertiku, menjadi wajib mencicipi kreasi-kreasi baru dari racikan kopi. Khususnya nira espreso aku belum menemukan di tempat lain.
Aku bukan penikmat keramaian. Mengunjungi kafe ini menjadi pengecualian. Karena itu kupilih area belakang, agar aku bisa menikmati waktu, kopi, dan musik sekaligus. Hm, sebenarnya aku ke sini untuk menenangkan diri dari lesakan rindu yang begitu parah. Hff...
Namun aku harus kembali terusik dengan keberadaan seseorang yang duduk persis di sebelah mejaku.
“Suka buku juga?” ia kembali bertanya saat melihatku mengeluarkan buku dari tas dan mulai membuka lembarannya.
“Eh, tidak terlalu.”
“Tidak terlalu tapi sampai dibawa ke kedai kopi? Malam-malam seperti ini lagi.” Pertanyaan dan pernyataannya seperti menyelidik, tapi dikemas dengan jenaka.
Aku menyeruput minumanku. Untuk menghilangkan haus dan rasa kikuk sekaligus.
“Atau kau sedang menunggu kekasih?” Belum sempat kujawab pertanyaan sebelumnya sudah kembali diberondong pertanyaan lain. Cukup menohok.
Sekelebat wajah muncul di otakku?
“Kekasih?” aku malah mengulang pertanyaanya.
“Iya. Banyak orang tak sabaran menunggu kekasihnya, mereka pura-pura membaca buku supaya terlihat cerdas.”
Keningku berkerut. Apa maksud ucapannya?
“Kamu sendiri, menunggu kekasihmu yang tak kunjung tiba juga?” agak ketus aku menjawab. Tak terima pada ucapannya barusan yang seolah-olah menyindir kalau aku ini pura-pura baca buku supaya terlihat intelek.
Dia terkekeh. Aku merasa aneh. Pria itu sudah ada sejak aku tiba di kedai kopi ini. Dia sepertinya sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Bukan pemandangan yang asing menyaksikan orang bekerja di kedai-kedai kopi seperti ini. Di tengah keramaian. Seorang diri. Lalu-lalang manusia memberikan inspirasi sekaligus distraksi tersendiri.
“Aku Cakra.”
“Aku Wala.”
“Cakrawala.”
“Cakrawala.”
Kompak kami menyebut gabungan nama masing-masing. Ganjil. Lalu tertawa bersama.
“Aku pindah ke tempatmu ya, kekasihku sepertinya sudah datang.”
Aku mengangguk.
Aku percaya, Tuhan akan mengirimkan banyak keajaiban selama kita percaya pada keajaiban itu sendiri. Malam ini keajaiban itu dikirimkan Tuhan melalui Cakra.
Seandainya aku tidak ke kedai ini, barangkali aku sudah mati karena bosan. Ah, bukan, tapi karena menahan rindu. Entah kepada siapa. Sekarang aku tahu, menyembuhkan rindu adalah dengan melepasnya. Karena mengurung rindu di dalam jiwa sama dengan membebat perasaan.
Dari cerita demi cerita yang kami pertukarkan, aku sependapat dengan Cakra, yang dekat bahkan paling rapat sekalipun dengan kita, belum tentu menjadi orang yang tepat untuk kita bercerita tentang apa saja. Ya, tentang apa saja.
“Aku senang bertemu denganmu di sini, bisa bercerita apa saja, kita juga tak perlu merasa sungkan karena besok belum tentu kita bertemu lagi,” ujar Cakra saat aku undur diri. Kami sepakat tidak saling bertukar nomor telepon.[]
Posted from my blog with SteemPress : https://senaraicinta.com/2019/01/05/cakra-dan-wala/
Hello @ihansunrise, thank you for sharing this creative work! We just stopped by to say that you've been upvoted by the @creativecrypto magazine. The Creative Crypto is all about art on the blockchain and learning from creatives like you. Looking forward to crossing paths again soon. Steem on!