Sekali Mamam Menantang, Surut Kita Berpantang
Aku cemburu pada teman-temanku yang punya selera makan baik. Bahkan kepada mereka yang rakus. Yang kelewat rakus pun juga. Sebab entah sebab lambungku terus menerus terisi angin sebab tekun mengonsumsi cafein dan nikotin, selera makanku sangat buruk. Walhasil, berat badanku enggan bertambah angka. Kalaupun sekali dua gemukan, palingan hanya bertambah setengah sampai satu kilogram saja. Aku tak pernah benar-benar gemuk, buncit dan tembem. Kalaupun sesekali hampir, tak lama kemudian kembali melorot. Kacau ini!
Sementara di sudut lain negeri ini sebagian orang mengeluh dan ketakutan melihat angka di timbangannya bertambah, aku resah sebab tak kunjung menanjak. Pada masa kepalaku baik, muncul pikiran baik. Bahwa faktanya, terkadang kita lupa bersyukur dengan segala yang Tuhan beri. Kerap protes dengan keadaan diri. Padahal mestinya semua harus disyukuri, dinikmati. Kurus oke, tambun juga oke.
Namun begitulah kita. Selalu tidak puas dan punya hasrat menambah atau mengurangi yang telah ada. Hujan minta panas, panas minta dingin, dingin cari selimut sambil mengutuk keadaan itu. Punya sedikit minta banyak, dikasih banyak kewalahan. Kita memang kerap lupa bahwa manusia memiliki keterbatasan.
Namun itu, perkara makan tentu saja berbicara tentang kemestian. Paling tidak sehari dua kali sajalah. Biar normal. Namun ruang untuk nasi (sebab makan yang sesungguhnya bagi kita adalah makan nasi) di perutku tidak mampu menampung beban berlebih. Berlebih? Bahkan tidak dalam jumlah normal. Dua tiga sendok makan belaka. Tidak tambah lagi sampai cuci tangan selesai perkara.
Sesekali aku bertanya, seberapa besar ruang di lambung teman-temanku? Bagaimana mereka setelah makan masih mampu nyicip ini itu? Mereka bisa makan nasi sampai lima kali sehari. Ngemil berkali-kali. Oh, Tuhan, aku ingin sekali. Ketika melihat mereka makan dan mencicipi makanan ringan, puas mataku. Mau. Tapi seperti itulah, penerimaan lambungku payah.
Para temanku yang suka makan itu seolah-olah punya semboyan, "sekali piring terisi, dua tiga piring lain termakani". Atau "sekali mamam menantang, surut kita berpantang!"
Ketika pikiranku dirasuki curiga, kepada teman-temanku penguasa piring di meja makan tersebut muncul buruk pikiran. Sungguh mereka telah diperbudak oleh kenikmatan. Bagaimana andai satu hari saja Tuhan menghendaki mereka paceklik? Tidak ada nasi dan lauk pauk, tidak ada cemilan. Di sanalah menang orang-orang sepertiku. Menang lahir batin sebab tidak diserang lapar berlebihan sekelindan bisa menertawakan mereka yang kepucat-pucatan seperti cicak-cicak di dinding yang diam-diam merayap namun tak ada seekor pun nyamuk untuk ditangkap. Makan Angiiiin...!!!
Posted from my blog with SteemPress : https://pengkoisme.com/2018/12/31/sekali-mamam-menantang-surut-kita-berpantang/