5 Pejuang Perempuan Aceh yang Tak Mirip Kartini
Bulan April sepertinya sudah menjadi hak paten untuk pemilik nama Kartini. Ya, setiap tanggal 21 April, orang Indonesia memperingati hari kelahiran salah seorang pejuang emansipasi wanita itu: Hari Kartini. Para wanita akan merasa tidak menjiwai Kartini jika tak memakai kebaya. Mulai dari karyawan SPBU sampai presenter televisi kompak memakai kebaya, untuk meniru Kartini. Ibu-ibu pejabat pun setali tiga uang, menggelar acara ataupun arisan dengan memakai kebaya. Mereka semuanya ingin terlihat menyerupai Kartini atau memirip-miripkan diri dengan Kartini. Alhasil, tiap 21 April kebaya pun mendunia.
Di luar perempuan-perempuan yang ingin tampil seperti Kartini, rupanya sejumlah pejuang Aceh yang sama sekali tidak mirip dengan Kartini. Berikut ini 5 Pejuang Perempuan Aceh yang Tak Mirip Kartini:
1. Pocut di Biheu
Pocut di Biheu atau lebih dikenal dengan Pocut Meurah Intan adalah salah seorang pejuang perempuan Aceh yang ditakuti oleh kaphe Belanda. Pocut Di Biheue merupakan keturunan bangsawan Kesultanan Aceh. Ayahnya Keujreuen Biheue yang berasal dari keturunan Pocut Bantan. Nama Biheue yang disemat di belakang namanya adalah nama gampông di Kecamatan Muara Tiga, Pidie. Pada masa Kerajaan Aceh, Biheue berada di bawah naungan Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik akhir abad 19, Biheue menjadi wilayah XII Mukim yang mencakup Pidie, Batee, Padang Tiji, Kalee, dan Laweueng. Untuk menghormati sejarah kepahlawanannya dalam melawan Belanda, namanya ditabalkan pada sebuah Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan.
2. Cut Meutia
Cut Meutia atau Tjoet Nyak Meutia lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 dan syahid di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910. Beliau adalah salah seorang pejuang perempuan yang ditakuti Belanda, dan memimpin perang bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik di Tunong. Pada Maret 1905, suaminya ditangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman mati di tepi Pantai di Lhokseumawe. Menurut banyak sumber sejarah, sebelum suaminya meninggal, sempat berwasiat kepada sahabatnya, Pang Nanggroe agar bersedia menikahi istrinya dan merawat anaknya, Teuku Raja Sabi. Teuku Tjik di Tunong juga berpesan agar mereka terus melanjutkan perjuangan melawan kaphe-kaphe Belanda. Untuk menghormati jasanya, Cut Meutia ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
3. Laksamana Malahayati
Perempuan pejuang Aceh yang juga harum namanya adalah Keumalahayati. Dia adalah singa di lautan dan pelopor angkatan laut. Bakatnya sebagai seorang ahli strategi perang di laut mengalir dari Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah. Kakek dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M.
Keumalahayati atau lebih dikenal dengan Laksamana Malahayati memiliki karir cemerlang di dalam Kerajaan Aceh. Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Nama Malahayati makin tenar setelah memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599. Dalam salah satu duel, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman.
4. Pocut Baren
Pocut Baren lahir di Tungkop, Sungai Mas, Aceh Barat. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama Teuku Cut Amat. Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla. Ia sudah menjadi pejuang dan berjuang sejak masih muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910.
Ia memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika masih aktif dalam perjuangan. Seperti perempuan Aceh lainnya yang harus siap memikul tanggung jawab perang ketika suaminya syahid, Pocut Baren pun mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Ketika suaminya tertembak Belanda, Pocut Baren masih bergerilya dan berperang dengan Belanda.
5. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien adalah seorang perempuan pejuang Aceh yang sangat terkenal. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Saat Ibrahim Lamnga syahid di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878, Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Saat menyandang status janda, Teuku Umar, salah seorang pejuang Aceh, datang melamarnya. Awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tapi karena Teuku Umar membolehkan dirinya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Ketika Teuku Umar gugur saat Belanda menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Cut Nyak Dhien terpaksa memimpin sendiri perang melawan Belanda di pedalaman Meulaboh.
Lima perempuan pejuang Aceh ini tentu saja tidak secerdas dan berpendidikan tinggi seperti Kartini. Dan setelah kami perhatikan baik-baik potret mereka, kelima pejuang perempuan Aceh itu pun tidak mirip dengan Kartini. Saat hendak memposting tulisan ini, seorang teman tiba-tiba melihat ke layar monitor.
"Yang bilang wajah lima perempuan Aceh itu mirip Kartini siapa?" Saya pun menjadi tergagap sendiri. []
<img src="" <="" p="">
Posted from my blog with SteemPress : https://acehpungo.com/5-pejuang-perempuan-aceh-tak-mirip-kartini/