Mari, Nak, Belajar Menunda Keinginan!
Kali ini aku kembali berbagi pengalaman bersama anak-anak, topiknya lebih tepat megenai menunda keinginan. Sebenarnya lelah sekali ya, kalau sedang hamil besar kemudian mengajak tiga anak berkeliling sekadar untuk jalan tanpa keperluan mendesak, tanpa kawalan bodyguard (baca: si ayah) pula. Namun begitulah hari itu kami memutuskan jalan-jalan mumpung masih libur dan menjadi guide salah satu sepupuku yang sedang berlibur ke rumah kami. Jadi, ceritanya ia besok akan balik kampung dan akan membeli oleh-oleh untuk keluarganya. Beliau ingin membelikan buku-buku dan mainan edukatif. Satu-satunya tempat yang terpikir olehku adalah pusat belanja buku terbesar di kota ini. Itu memang tempat favorit keluarga kami. Wah... anak-anakku mana tahan, nih, nggak minta apa-apa. Tapi sepertinya harus dicoba juga, pikirku.
Jadilah kami bersiap dan briefing sejenak sebelum berangkat. “Kita mau mengantarkan Mande ke Gr*media, Bunda cuma menemani Mande, sedang tidak berencana membeli apa pun karena kita minggu lalu juga baru ke sana. Kita jalan-jalan aja tidak belanja apa-apa. Nanti setelah menemani belanja, kalau lapar Bunda ajak makan. Kalau setuju, kita pergi, kalau tidak, ya tidak apa-apa. Di rumah saja dulu lanjut main-main.”
Si tengah Biyya awalnya sumringah akan ke toko buku, demi mendengar kalimat lanjutannya akhirnya dia mewek dan ngedumel juga. Katanya buat apa ke sana kalau sekadar lihat-lihat dan tidak beli apa-apa. Ia pun kemudian memulai lobi-lobi tingkat rendah padaku, beli Playdough saja pun boleh. Aku katakan tidak. Ia mulai merengek. Rasanya kesal juga, belum apa-apa sudah begini, bagaimana mau lanjut latihannya?
Lain lagi yang ketiga, Faza. Ia menawar dengan lebih bijaksana, ia mau tapi harus dibelikan susu cokelat dingin atau susu kotak kemasan kesukaannya. Kalau masih makanan dan minuman oke, jawabku. Si sulung Akib seperti yang kuduga tentu sanggup menerima, sekadar cuci mata apalagi ia merasa bosan tentunya di rumah. Ia bisa menikmati jalan, windows shopping dan nanti juga akan makan siang di luar.
Cerita punya cerita, akhirnya kami tetap berangkat dengan kesepakatan awal. Barangkali karena komplain sudah selesai, tangisan sudah usai, alhamdulillah saat di toko buku besar tersebut, anak-anak tidak ada yang rewel. Aku tahu mereka ingin ini dan itu, tampak dari wajah dan binar matanya. Sebenarnya hampir tak tega, tapi aku kuat-kuatkan hati. Apalagi Faza kan baru 4,5 tahun, ia sangat ekspresif dan meminta izin memegang beberapa miniatur hewan-hewan. Meminta puzzle kesukaannya. “Bunda, Faza mau puzzle ini ya, boleh satu aja?” aku tersenyum sambil menggeleng, “Nggak ya, Nak, kita udah sepakat tadi cuma jalan-jalan, bukan belanja.” Ia pun paham dan mengatakan “lain kali, ya?” sambil menunjuk jajaran puzzle di display toko.
Semua aman terkendali dan lanjut ke lantai berikutnya lebih lama. Anak-anak melihat-lihat buku. Aku juga membaca beberapa sinopsis buku yang sudah lama ingin kubeli juga. Anak-anak sempat membaca buku yang sudah dibuka di salah satu sudut lantai dua. Faza masih bisa legawa dan menerima. Sampai akhirnya prosesi belanja sepupuku selesai dan kami turun ke bawah menuju ke jalan dan akan memesan ojol untuk pergi makan siang.
Faza memilih salah satu buku dan mulai mengamatinya sambil menunggu Mande belanja.
Keluarga sepupuku di kampung menelepon memesan beberapa buku dan juga mainan. Demi mendengar kata mainan robot yang bisa berubah menjadi mobil, mata Faza terbelalak. Faza heran sepupunya yang ia kenal di kampung akan dibelikan mainan serupa itu. di situ ia merasa tidak menerima dan minta dibelikan juga mainan yang sama. Sejak pagi hingga siang ia sudah mau bersabar melihat-lihat saja, akhirnya pecah juga tangis dan mulailah ia tantrum saat sudah keluar dati toko buku. Kubujuk dengan makanan dan coklelat dingin kesukaannya, ia tak mau. Ia tetap tantrum di pinggir jalan dan menolak untuk diajak menuju kafe tempat kami akan makan siang.
Kami masih di gerbang toko buku besar itu, sepupuku, Akib, dan Biyya balik arah lagi ke toko tersebut, tapi aku bersikeras akan duluan ke kafe yang akhirnya kami batal memesan ojol sebab ada kafe yang bisa kami singgahi sekitar 50 meter dari toko buku tersebut. Banyak mata yang akhirnya tertuju pada kami, terutama aku yang tetap berusaha menjawab amukan-amukan amarah Faza dengan datar.
Yang dimintanya jelas sekali, “Reshu enaak, dia dibelikan mainan robot. Faza juga mau mainan robot yang bisa jadi mobil. Faza mau transformer!”
“Faza udah beli kemarin, ini dia...” bujukku sambil mengeluarkan tiga buah mobilan Tobot yang bisa berubah menajdi robot dan digabungkan. Mainan itu selama dua minggu ini selalu dibawa ke mana pun ia pergi, sambil tidur juga dibawa dan di minggu kedua ia sempat mematahkan salah satu kap atas mobil tapi masih bagus dan tetap bisa dirangkai. Masalah patah itulah yang diungkitnya dan menjadi alasan ia harus membeli yang baru lagi.
Kami sampai di kafe dan ia masih dengan sisa amukan amarah dan air mata. Lalu ia mengambil telepon pintarku dan sambil marah ia berkata, “Kalau gitu, kasih izin nonton di HP!” aku diam saja karena mulai lelah berjalan sambil membujuk dengan kondisi perut agak berat. Kuberikan juga ponselku dan seperti biasa kumatikan sambungan internetnya. Aku tidak suka kalau nonton atau main gim menjadi kebiasaan untuk menenangkannya saat tantrum.
Faza kesal lagi ternyata tidak ada izin akses buatnya, tapi ia mencoba membuka beberapa aplikasi offline di ponselku. Sepupuku kembali dari membeli keperluannya dan menyusul kami ke kafe. Ia cukup bijaksana menghadapi kondisi tantrum Faza dan tidak mencampuri urusan dan kesepakatan kami, bahwa kami tidak pergi untuk berbelanja melainkan jalan-jalan saja. Namun, sebagai tante anak-anakku tentu ia terenyuh melihat anak-anak bertangisan menunda keinginan-keinganan mereka, tapi syukurlah ia penuh permakluman.
Biyya berbisik saat sekembalinya mereka dari toko buku tadi, “Bunda jangan marah, ya... Mande belikan Biyya sesuatu...”
“Biyya minta? Kita kan udah sepakat?” tanyaku lagi, mungkin wajahku tak bisa lurus dan kelelahan membuatku seperti ingin marah terus.
“Biyya nggak minta...” bisiknya lagi.
Sepupuku juga diam saja sambil mengamati menu. Kusuruh Biyya duduk dan memesan makanan saja dulu. Mungkin nanti aku bisikkan ke sepupuku untuk bisa mengganti uangnya yang sudah dipakai Biyya. Ternyata ia menolak, katanya biarlah itu hadiah darinya. Sementara Akib yang paling besar menjelaskan kalau ia ditawari juga dan sudah menolak dengan sopan. “Biyya tuh, dia bilang dia suka yang ini... begitu.”
Lagi-lagi terjadi perdebatan kecil seperti biasa, tapi aku meminta semua melanjutkan makan. Akib yang sedang masa pertumbuhan makan dengan lahap dan menawarkan sisa makanan Biyya yang salah pesan itu –terlampau pedas-untuk dihabiskan olehnya. Lalu memesan satu porsi nasi dengan ikan bakar lagi. Ah, sepertinya ia benar-benar mendapat momen yang tepat.
Lanjut ke Faza yang kemudian mulai lagi menangisi kesedihannya tidak dibelikan satu mainan pun. Ia menolak makan nasi dan hanya menghabiskan minuman cokelat kesukaannya. Aku paksakan sedikit supaya ia mengisi perutnya siang itu dengan sepotong roti meses.
Faza masih menangis hingga sore. Saat itu aku harus mengkuti wawancara orang tua untuk kelas belajar Akib. Faza menangis tapi tidak mengamuk, ia hanya terlihat sedih dan kecewa sampai akhirnya dijemput si ayah, ia minta ke rumah Uncu, adikku. Di sana ia diam dan mulai bermain. Saat kami kembali berkumpul di rumah dan menanti jemputan mobil yang akan membawa sepupuku kembali ke kampung, semua sudah tenang, termasuk aku yang juga lega akhirnya bisa tega juga.
Karena Biyya sudah dibelikan mainan, ternyata Faza juga dibelikan sebuah mainan helikopter mungil dan ia sangat kegirangan. Berteriak hore dan kami mengingatkannya untuk mengucapkan terima kasih. “Makanya kita harus bersabar dan nggak perlu rewel,” kata keponakanku yang ikut menyaksikan mereka kegirangan mendapat mainan baru, walau awalnya tidak terpikir akan dapat jatah membeli mainan.
“Ini hadiah dari Mande, ya...” pungkas sepupuku setelah aku segan dan mengatakan mengapa harus turut repot membelikan mainan juga, padahal mereka nanti-nanti juga bisa.
Terus terang sebenarnya aku juga tidak tega, ada puzzle, ada komik, dan mainan yang mungkin masih bisa kujangkau dengan kocekku hari itu. Godaan yang cukup besar untuk kemudian melanggar kesepakatan kami bersama, apalagi mereka juga merengek dan kalau tak tahan dan tidak ingin capek, rasanya ingin kubelikan puzzle tadi yang harganya 16 ribuan dan beres, deh, Faza pasti diam dan tenang untuk sementara. Namun ia jadi tak belajar bagaimana menunda keinginan sesaatnya.
Posted from my blog with SteemPress : https://stanzafilantropi.com/mari-nak-belajar-menunda-keinginan/