Batas Toleransi # 30
Sepuluh tahun dia mengenal Dania Dia tahu orang seperti apa kekasih anaknya. Dari kaca mata seorang dokter senior, Dania seperti buku terbuka baginya. Ada hal-hal sakral yang jadi harga mati, bagi calom menantunya ini. Di luar nilai-nilai itu, Dania adalah gadis yang memiliki hati paling toleran, yang pernah dikenalnya.
Tangannya memijit kepala yang terasa berat. Berat sekali kalau harus kehilangan Dania.
Source
Mama Bram tahu, Dania seorang dokter yang sangat kompeten. Ketertarikan dan pengetahuan Dania tentang bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kesehatan, membuat calon menantunya, bisa diajak bicara tentang apa pun. Kecuali politik. Dania, adik angkatan luar biasa. Dia tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya, memiliki Dania sebagai calon menantu.
Empati gadis itu sangat besar pada para pasiennya. Kepedulian Dania yang besar dan tulus pada para pasien, membuatnya mudah menemukan, apa yang sesungguhnya, menjadi penyebab penyakit yang diderita pasiennya.
Pada kebanyakan kasus, masalah emosi, memang jadi sebagian besar penyebab sakit yang mereka derita. Pengobatan yang kemudian dipilih untuk dilakukan Dania, pengobatan secara holistik. Secara pribadi, dia sangat menyetujui pilihan cara kerja Dania.
Source
Dania memiliki kecerdasan inter dan intra personal luar biasa. Secara alami, pasien dengan mudah merasa akrab, dan mau terbuka. Keterangan yang diperolehnya, saat memeriksa pasien, dieksekusi cepat di otak Dania yang memang sangat encer.
Sambil memberi obat yang bisa mengurangi penderitaan pasien, Dania memberi gambaran sederhana dan logis pada pasien, mengapa mereka sakit. Kemudian menawarkan pola pikir baru. Pendekatan ini membuatnya selalu kebanjiran pasien. Banyak diantara mereka, yang begitu melihatnya saja, sudah merasa kembali sehat.
Teman-temannya yang sangat kritis pun, tak mampu menemukan celah Dania. Walaupun awalnya mereka hanya ingin tahu, seperti apa calon menantu yang sangat dibangga-banggakannya, dengan pura-pura menjadi pasien. Ternyata, mereka sendiri malah jatuh hati, pada Dania.
‘Calon menantu kamu hebat! Senang sekali punya dokter seperti dia. Kayaknya, aku engga perlu psikolog lagi’ demikian komentar teman-temannya. Profiling mereka pada Dania, tidak jauh berbeda, satu sama lain. Mereka menganggapnya sangat beruntung, memiliki calon menantu seperti Dania. Dia benar-benar ketiban bulan.
“Aku sekarang lagi di Puncak, Tante.” suara Dania membuyarkan lamunannya.
“Sendirian ke sana?” tanya Mama Bram tambah panik. Dia melihat arloji. sebentar lagi waktu Ashar.
“Iya Tante-“
“Ya ampun, Dania! Ya sudah, sekarang Tante kesana yah. Jangan pulang dulu, ya sayang!”
Sudah berkali-kali dia mendesak Bram, untuk melamar Dania. Namun nampaknya Bram sama sekali tidak berminat. Bahkan belakangan ini, sebelum foto-foto itu beredar, nampaknya Bram seperti sengaja menjauhkan diri dari Dania. Entah apa yang dipikirkan anak itu! Tidak bisakah mengenali permata berkilauan di depan matanya?
Mama Bram menarik nafas panjang. Dia tahu, tidak boleh terlalu campur tangan dalam hubungan ini. Namun andaikata tidak melakukan apa pun, dia pasti akan menyesal seumur hidupnya. Apalagi Bram keliatan begitu terpukul, saat ini. Seandainya saja, ada yang bisa dilakukannya, untuk bisa mengubah situasi ini.
Dania menutup gawai, sambil menghela nafas.
Apakah aku berlebihan? Sebuah kesalahan kecil yang tidak di sengaja. Apakah harus menyakiti hati banyak orang baik, selain kami berdua.
Dia berdiri ke pagar. Tangannya memandang jauh ke pepohonan, yang mulai tertutup kabut. Udara menjadi semakin dingin. Entah sudah berapa lama, dia berdiri di sana. Dania membalikkan tubuh. Matanya mengarah ke pintu masuk.
Seorang pelayan menghampiri penjaga yang sejak tadi berdiri di dekat pintu. Keduanya berbicara sebentar. Penjaga yang pertama mengangguk. Dia berjalan ke pintu penghubung, membuka pintu lebar-lebar.
Gawai Dania berdering. Mama Bram menelponnya. Dania melambai-lambaikan tangan, dari tempat duduk. Dia berdiri menyongsong Mama Bram, yang dengan segera berjalan menghampirinya.
“Dania sayang!” seru Mama Bram, begitu mulai mendekat dengan Dania. Dia segera mencium kedua pipi Dania. “Kamu keliatan kurusan,” ujarnya dengan pandangan sedih.
“Iya, gitu Tante...?” sahut Dania. Kangen sekali dia pada Mama Bram. Dokter setengah tua yang masih terlihat cantik ini, sangat baik padanya. Bahkan adik Bram, sambil bercanda sering meledek mamanya, “Ma, yang jadi anak mama itu aku atau Mbak Dania, sih...? ... kok aku kayak anak tiri aja!”
Mama Bram akan mengusap-usap rambut adik Bram, sambil tersenyum. Adik Bram akan segera menyusup di antara dirinya dan Mama Bram sambil tertawa lebar. Mereka bertiga lalu akan tertawa-tawa dengan riang. Hati Dania teriris mengingat kenangan itu.
“Tante sama siapa?” tanya Dania. “Sudah selesai prakteknya?”
“Sama Pak Sukri. Ada yang gantiin Tante,” sahut Mama Bram. “Kamu belum makan, dari tadi?” Mama Bram tidak melihat bekas piring makan di meja Dania.
Dania menggelengkan kepala. “Belum kepingin. Nunggu Tante. Tante mau pesan apa?”
Sebenarnya, Mama Bram pun sama seperti Dania, sedang tidak ingin makan sesuatu. Tapi melihat wajah Dania yang pucat dan terlihat lelah, Dania pasti juga tidak akan makan, seandainya dia tidak memesan apa-apa.
Pelayan yang melihat Mama Bram melambaikan tangan, segera menghampiri. Dia segera memesan sayur asem, gurame goreng, tahu dan tempe goreng, dan mie goreng, serta roti bakar.
Tenggorokan Dania rasanya tercekat. Semua makanan yang dipesan Mama Bram, adalah makanan favoritnya. Di tempat ini. Sambil tersenyum lemah, dia mengalihkan pandangannya ke arah perkebunan teh, yang disinari matahari sore.
“Gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Mama Bram perlahan sambil memegang tangan Dania, setelah pelayan meninggalkan mereka berdua.
Bandung Barat, Selasa 4 Desember 2018
Salam
Cici SW
Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/12/04/batas-toleransi-30/
Rasa toleransi itu perlu banget ya..
mampir yuk di tag #arkindonesia dijamin seru..!!!