Tentang Sejarah, Tentang Dirinya yang Tak Lagi Muda – Bagian 2

in #steempress6 years ago


Kau jangan sedih aku mengatakan hal ini, aku mengatakannya agar kau jangan terus terlena. Di belahan nusantara masih banyak yang membutuhkan sesuap nasi. Negerimu sudah kaya semenjak zaman penjajah dulu. Apalagi sekarang negerimu menjadi Pusat Pemerintahan. Hal ini berbeda dengan negeriku yang mungkin masih kacau. Pembagian beras semangkuk saja bisa jadi tempat perkelahian. Belum lagi cercaan untuk negerimu yang terus membangun gedung-gedung megah. Perumahan mewah. Pusat-pusat perbelanjaan besar. Fisik negerimu sudah membuat iri negeriku. Bukankah kau selalu memandang fisikku sebelum menjadikan temanmu?

Suatu saat, jika kau melepas pangkat kebanggaanmu. Sempatkan tengok ke kolong jembatan samping rumahmu. Dulu kau sempat bermain layang-layang di sana. Tempat kau jatuhkan layanganmu, sekarang di huni pemulung dan pengemis. Kau tidak perlu jauh ke tempat di mana aku memijakkan kaki saat ini. Cukup kau membuka mata, di Batavia kebanggaanmu banyak derita. Sedih. Duka. Tidak ada tawa di sana. Mungkin tawa hanya milik para konglomerat. Sepertimu. Keluargamu. Temanmu. Pacarmu. Relasimu. Yang menyangkut denganmu.

Jakarta bukan lagi Batavia. Kau pernah menyebut Jakarta metropolitan. Kemegahan dan kemewahan bisa dengan mudah kita dapatkan. Untukmu begitu. Tidak akan berlaku untukku. Aku tinggal di perkampungan yang dulu pernah memerdekakan Batavia, dan negara kita.

Kau berkata, lapangan pekerjaan banyak di sana. Aku malah heran. Kemarin aku melihat sebuah tayangan perampokan di dekat kantormu. Minggu lalu, katamu, rumah temanmu kemalingan. Dan sebulan lalu, telepon selulermu dijarah orang tidak dikenal sepulang kerja.


Ilustrasi

Lalu, pekerjaan apa yang kau janjikan padaku? Mereka malah memilih merampok dan mencuri. Hati nuraniku belum mampu melakukan hal itu. Kau mengajakku bekerja di tempatmu berdiri. Sedangkan kau masih membutuhkan pekerjaan dari orang lain. Kau bekerja pada orang lain. Digaji orang lain. Setiap hari kau memakai mobil milik orang lain. Bajumu masih dicuci orang lain. Makanmu masih dimasak orang lain.

Pernah terlintas untuk mengikuti pesanmu. Menjejakkan kaki di kotamu. Melihat kemewahan. Monas. Gedung bertingkat. Jalan raya. Orang-orang kaya. Pejabat pemerintah. Istana negara. Kampus-kampus berprestasi. Pemulung. Pengemis. Perampok. Penjambret. Busway. Kemacetan. Polusi. Artis-artis cantik. Aktor-aktor hebat. Nonton film di bioskop. Main goft. Main Billiar. Ke Bar atau club malam. Belanja di mall. Tapi untuk apa jika di negeriku masih bisa menghirup udara pagi dari sela pohon-pohon? Untuk apa jika tempatku masih bisa mandi di riak sungai deras? Untuk apa jika sawahku masih meluas? Kau malah meminta beras putih dari hasil panen sawahku.

Kau dan aku berteman erat. Seperti Batavia dengan Jayakarta. Seperti Jayakarta dengan Sunda Kelapa. Seperti Jayakarta dengan Jakarta. Sejarah mereka tidak luput dari hal yang sama. Sama-sama pusat perdagangan. Sama-sama tempat yang sama letaknya. Kau dan aku juga sama-sama memiliki bentuk tubuh yang sama. Kau adalah aku dan aku adalah kau. Kau makan nasi, aku juga. Kau minum air putih, aku juga demikian.

Jika aku bertanya padamu, apakah Jakarta masih sama dengan Batavia? Kau tidak pernah menjawab tanyaku.

Mungkin sama-sama pusat perdagangan. Hanya saja dulu banyak penjajah dari bangsa lain. Mereka mengeruk hasil bumi negeri kita lalu memboyong ke negeri asal mereka. Mereka menjadikan kita budak di negeri kita sendiri. Mereka membuat peperangan. Mereka membunuh dengan senjata tajam. Meriam. Pistol. Senapan laras panjang. Terang-terangan. Siang atau malam. Tidak kenal usia. Tua muda. Laki-laki perempuan. Anak-anak.

Kita adalah santapan empuk mereka. Sesuka hati mereka memperlakukan kita sebagai pekerja. Tidak dibayar. Tidak diberi apa pun. Hanya memaksa. Menjajah.

Mataku belum terpejam. Aku masih bisa melihat. Masih bisa merasakan. Masih bisa mengerti. Masih tahu apa yang terjadi.

Jakarta tidak jauh berbeda dari Batavia. Dulu kita dijajah bangsa lain. Sekarang, di usia negara kita yang tidak muda lagi. Kita di jajah oleh bangsa kita sendiri. Pejabat makin kaya. Perubahan pembangunan tidak ada. Pemulung di samping rumah mewah pegawai pemerintah. Rumah kardus di bersebelahan dengan pusat perbelanjaan. Semua kau saksikan setiap menit melalui kotamu. Kau hanya melirik dari kaca mobilmu. Tidak mengubris tangan kecil meminta-minta. Tidak peka tubuh ringkih kedinginan tidur di depan kantormu malam-malam dingin. Mereka semua di depan mataku. Di sekelilingmu.

Ujarmu, Ini Jakarta, bukan lagi Batavia.

***


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/09/tentang-sejarah-tentang-dirinya-yang-tak-lagi-muda-bagian-2

Coin Marketplace

STEEM 0.21
TRX 0.26
JST 0.038
BTC 95931.40
ETH 3358.80
USDT 1.00
SBD 3.04