Tarian-tarian Cinta Pemuas Birahi – Bagian 2
Daman memanggilku di sore bermendung. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Padahal dari pagi sampai siang hari sangat panas sekali. Aku begitu bahagia mendengar suara Daman. Aku pun langsung berpakaian dan tertatih ke perkarangan. Daman sudah menunggu dengan sepeda. Tepat sekali. Kami akan berkeliling kampung yang sedang dihiasi sawah menguning. Di sepanjang jalan kami akan bertemu dengan orang-orang yang sedang memotong padi. Ayah dan Mak juga ke sawah. Aku dilarang karena masih kecil.
Aku berpegangan pada pinggang Daman. Kami tertawa-tawa. Ini masa kecil yang sangat menyenangkan bagiku. Sepeda Daman menuju lapangan bola. Di sana beberapa teman sudah menunggu. Daman berkata, akan mengajariku main bola. Aku tidak begitu antusias. Aku tahu kekuranganku. Daman tetap mengompori aku bisa memainkan olahraga favorit semua orang itu.
Bagiku tidak. Daman sangat mengerti aku. Teman-teman lain juga melihat kekuranganku. Aku memang lahir dengan nama yang sangat bagus. Cahaya untuk setiap kegelapan. Karunia untuk segenap kehampaan. Dalam keluarga yang menyayangiku. Dengan teman-teman yang selalu menghadirkan ceria bersamaku.
Aku tidak merasakan apa-apa. Di usia tujuh tahun, aku sudah mengetahui bahwa aku berbeda dengan orang lain. Aku dilahirkan tidak sempurna. Badanku tegap seperti Daman. Tanganku kuat menarik tali. Tapi kakiku tidak kuat menendang bola. Kakiku tidak sekokoh Daman. Tidak sama dengan teman-teman yang sedang meloncat-loncat di lapangan bola. Kakiku kecil sebelah kanan, sehingga jalanku terpincang dan butuh penopang. Walau belum separah itu, aku tidak memakai kaki palsu atau tongkat. Umurku masih kuat menopang tubuh membawa pergi. Untuk bermain bersama yang lain, hanya permainan tertentu yang bisa kuikuti, bukan sepakbola sore ini.
Daman merangkulku. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Daman terlalu bangga mempunyai teman aku. Terseok-seok kuikuti langkah Daman menjumpai teman-teman di tengah lapangan. Sorot mata mereka sudah kuketahui maksudnya. Tak perlu bertanya aku akan tahu.
Sikap cuek Daman membuatku nyaman. Seperti yang sudah-sudah, Daman menempatkanku di tepi gawang. Menanti bola yang ditendang lalu kuteriakan gol. Tidak ada yang melarangku ikut bermain, hanya aku yang tidak mau merepotkan. Dari nada bicara dan tatapan mereka bisa kutafsirkan arti keengganan aku terlibat dalam permainan. Daman berulang kali memaksa, aku tetap menolak. Tak ada guna aku bermain jika lari saja aku tak sanggup.
Matahari akan merapat ke Barat. Sebentar lagi akan malam. Kuberi isyarat pada Daman untuk segera pulang. Dari celoteh mereka dapat kudengar nada yang tidak enak. Bisa membuatku pesimis akan hidup. Mereka masih seusiaku, teman-teman yang menemani sekolah dan mengaji. Kukenal baik satu persatu.
Tak bisa dikata. Dalam dunia ini terdapat banyak kekurangan dan kelebihan.
“Aku tidak pernah malu memiliki teman tidak sempurna sepertimu. Percaya padaku, aku akan menjagamu sampai nanti!”
Malam ini kami juga akan mengaji.
Seperti sudah kukatakan, di kampungku tak banyak anak mengaji ke meunasah. Pun bersekolah. Kulihat, orang tua mereka membiarkan anak-anak tak berbuat apa-apa. Sesekali akan diajak ke sawah saat menanam atau memanen padi. Terkadang hidup yang keras menjadikan mereka kehilangan semangat menimba ilmu. Hidup ini untuk memikirkan makan besok. Begitulah kira-kira. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi jika hanya menghabiskan uang banyak karena belum pasti akan kembali dengan segera. Pendapat yang salah, menurutku yang kini akan menyelesaikan sekolah menengah.
Bisa kuhitung berapa orang temanku yang bersekolah sampai tingkat menengah. Mengingat jarak sekolah yang jauh banyak anak memilih tidak sekolah. Banyak orang tua juga tidak menyekolahkan anak-anak mereka, tidak bisa membeli sepeda agar sampai ke sekolah tiap pagi.
Aku bersekolah di Madrasah Aliyah, setingkat SMA. Madrasahku di pusat kecamatan. Di sini beberapa kantor penting berdiri, seperti kantor camat, puskesmas, kantor polisi, kantor tentara, kantor pos, serta bank. Di pusat kota kecil ini, di simpang tiga, terdapat tugu bertahta Reuncong[1] yang sedang membelah kelapa. Dari tempatku diajarkan banyak bidang ilmu ini, dapat kudengar deru ombak di pantai. Begitu dekat kami bisa sampai ke bibir pasir putih itu.
Dari kampungku, hanya Daman, Annisa dan aku yang bersekolah. Awalnya Daman tak mau sekolah karena tak ada biaya. Datang Ayah meminta pada Mak Daman agar lanjut sekolah. Karena tak ada Daman aku pun tidak bisa bersekolah, Ayah tak mungkin mengantarku tiap hari dengan sepeda tuanya. Dengan hadirnya Daman aku bisa pergi bersama dengannya, Ayah bahkan membeli sepeda untuk kami. Sepeda yang tidak akan pernah bisa aku naiki sendiri sampai kapan pun.
Berbeda dengan Annisa, gadis cantik ini satu-satunya anak kepala kampung. Semua orang juga akan memaklumi, ayahnya seorang berpengaruh dan sudah kaya sebelum jadi keuchik.[2] Biar orang-orang mengatai tak baik anak gadis bersekolah tinggi, keluar kampung pula, Annisa tetap pada pendiriannya. Orang tuanya juga memaksa Annisa bersekolah. Aku jadi heran, orang kampung selalu merasa terganggu dengan urusan orang lain. Sedikit saja orang punya kelebihan akan dimusuhi, mungkin hanya perasaanku saja. Namun aku benar-benar merasakannya. Mereka selalu memandang sebelah mata usahaku, kelihatan dari luar aku sangat lemah, tapi tidak dalam jiwaku.
Aku ada, sebab Ayah dan Mak menginginkanku!
[1]Senjata Tradisional, hampir mirip dengan keris.
[2]Kepala kampung/desa
Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/tarian-tarian-cinta-pemuas-birahi-bagian-2