Boh Geureumbang dan Sedikit Cerita tentang Masa Kecil Dulu
Satu fase dalam hidup yang kerap dirindukan oleh hampir setiap orang adalah masa kecil. Apa lagi bagi mahasiswa menjelang lulus macam saya. Setelah skripsi selesai beban di kepala bukannya berkurang tapi malah bertambah-tambah. Pikiran-pikiran semacam hendak kemana selepas kuliah malah jadi terasa lebih berat daripada kuliah itu sendiri. Saat-saat seperti inilah kadang-kadang kita seperti ingin saja kembali ke masa kanak-kanak dulu. Masa dimana beban paling berat dalam hidup hanya sebatas tugas cuci piring yang bentrok dengan jadwal meuen pet-pet.
Kembali ke masa kecil dengan artian sebenar-benarnya kembali tentu saja mustahil. Tapi mengulang beberapa hal yang sering kita lakukan saat kecil dulu tentu saja masih bisa selama kawan-kawan sepermainan dulu masih ada dan tempat-tempat kita bermain dulu masih tersedia. Dan itulah yang sempat saya lakukan beberapa waktu lalu, selepas ujian skripsi dan segala macam urusan kampus selesai, saya kemudian pulang kampung. Sambil menunggu wisuda yang baru akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan, saya rasa ada baiknya untuk istirahat sejenak dari hiruk pikuk kota (hahaha apa ini). Setelah empat tahun lebih merantau, saya rasa inilah pertama kalinya saya kembali ke kampung untuk waktu yang cukup lama sebagai... pengangguran (?). Pada waktu-waktu inilah saya punya banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal yang menjadi semacam rutinitas saat masih kecul dulu. Dan yang ingin saya ceritakan di sini adalah jak mita Boh Geureumbang.
Dalam bahasa latin, Boh Beureumbang dinamai sebagai Soneratia Caseolaris. Ini hasil googling tentu saja, dulu mana pernah kami punya ide untuk bertanya pada guru biologi di sekolah soal nama ilmiah boh geureumbang ini. Sebutannya dalam bahasa Indonesianya saja tidak ada di antara kami yang tahu. Yang kami tahu dulu hanya sebatas rhom geulawa sambil tertawa-tawa menunggunya berguguran di bawah pohon atau bergelantungan di dahan-dahannya sambil berlomba mendapat yang paling besar.
Boh Geureumbang biasanya hidup dengan subur sepanjang pesisir. Di kampung kami, dua bak geureumbang yang populer dan sering kami panjati adalah bak geureumbang breuh yang tumbuh lam peurde seukee dekat rumoh Cek Yam dan bak geureumbang cangge di tepi sungai dekat kuala sana. Bentuk keduanya memang persis sama. Hanya ukuran dan isi dalamnya yg beda.
Boh Geureumbang Breuh berukuran kecil dengan teksturnya yang agak keras, sedangkan boh geureumbang cangge berukuran lebih besar dan lembek jika sudah tua. Boh Geureumbang Breuh nikmat dimakan dengan pliek yang di campur garam dan cabai rawit. Sedang Boh Geureumbang Cangge yang rasanya asam perlu tambahan sedikit gula lalu garam dan juga cabai rawit. Semua bahannya diulek bersama dengan Boh Geureumbang yang sudah masak dan bertekstur lembek itu. Mengingat-ingat rasa asam pedas manis dari Boh Geureumbang yang membuat lileh ie babah (hahahaa kop bereh) inilah yang akhirnya membuat saya memaksa teman saya untuk mencari boh geureumbang hari itu. Boh Geureumbang Breuh yang tumbuh dekat rumah Cek Yam sudah tidak lagi ada. Umurnya berakhir setelah tanah tempatnya tumbuh disulap menjadi neuheun (kolam ikan) milik Pak Keuchik. Karena itu butuh sedikit usaha lebih untuk mewujudkan keinginan saya mencicipi lagi Boh Geureumbang hari itu.
Menuju lokasi tempat Bak Geureumbang berada sebenarnya tidak begitu susah juga. Kami hanya perlu jalan kaki melintasi tambak-tambak ikan dengan jarak tempuh tidak sampai satu kilometer. Hanya saja, di sepanjang perjalanan kami dilalaikan dengan banyak hal lain. Semisal menemukan jaring ikan yang di dalamnya ikan buntal terperangkap dengan tubuhnya yang menggelembung. Ikan buntal malang itu berakhir di tangan jahil bocah-bocah yang ikut bersama kami sebagai mainan yang di lempar-lempar seperti bola. Sayangnya, si Bak Geureumbang Cangge yang besarnya mungkin mencapai enam meter itu sudah tidak lagi ada. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya kesana. Setelah beranjak remaja kemudian selesai SMA dan merantau ke kota, rasanya sudah tidak pernah lagi saya mengunjunginya. Pada tahun-tahun itulah mungkin ia menutup usianya. Usia yang menurut cerita orang-orang sudah cukup tua dan memang sudah pantas ia menemui ajalnya. Pada rawa tempat dulu ia hidup dengan subur sekarang tumbuh anak cucunya. Bak geureumbang muda yang akan menjadi penerus tetuanya yang sudah menutup usia. Dari pohon-pohon kecil itulah saya mendapat tiga Boh Geureumbang Cangge yang membuat pencarian saya hari itu tidak sia-sia.
Meureudu, Februari 2018
Congratulations @seulanga! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!