Di Antara Kebun dan Kenangan Masa Kecil
Jadi begini, mumpung masih liburan, aku dan keluarga memutuskan pergi ke rumah nenek di Subang. Kamu tahu kan, perjalanan ke Subang dari tempatku itu lumayan, sekitar empat jam.
Kami baru bisa berangkat sore, sekitar jam lima lewat, karena seharian sibuk beres-beres rumah dulu. Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya harus banget rumah rapi sebelum pergi.
Untungnya, perjalanan kali ini nyaman banget. Jalan Pantura yang biasanya padat sekarang sepi. Sepertinya sejak ada jalan tol, semuanya jadi lebih lancar.
Mobil kami melaju tanpa drama, dan akhirnya sampai di rumah nenek sekitar jam sembilan malam. Begitu sampai, nenek sudah siap dengan masakan hangatnya. Dan seperti yang bisa kamu tebak, kami langsung makan. Capek hilang, perut kenyang.
Paginya, aku semangat. Ambil sabit, terus menuju kebun kecil di samping rumah nenek. Tapi sebenarnya lebih mirip pekarangan sih, cuma ada beberapa tanaman—cabe rawit, kacang panjang, tomat, dan kacang tanah. Tapi entah kenapa, rasanya tetap istimewa.
Kamu tahu nggak, waktu aku bersih-bersih di kebun itu, tiba-tiba aku keingat masa kecil.
Dulu, habis pulang sekolah, aku selalu ke sini, bantuin nenek merawat tanamannya. Dan pagi itu, rasanya seperti ngobrol lagi sama masa lalu. Kadang aku mikir, ada hal-hal kecil yang sebenarnya nggak berubah, cuma kitanya aja yang sekarang udah beda.
Tapi kali ini agak beda, saudara-saudara dari Jakarta sudah pulang duluan. Jadi rumah nenek nggak seramai biasanya. Padahal, kalau sudah kumpul semua, benar-benar ramai. Kamu tahu, kami ini sembilan bersaudara, jadi kalau bawa anak dan cucu masing-masing, rumah nenek yang luas ini bisa mendadak terasa sempit.
Kalau dihitung-hitung, totalnya bisa sampai 49 orang. Bayangin aja, suara anak-anak, orang dewasa ngobrol, dan nenek yang mondar-mandir sambil nyuruh makan. Biasanya sih, kumpul kayak gini terjadi pas Lebaran. Dan jujur, meskipun riuh, itu yang bikin kangen.
Yang paling aku suka saat kumpul keluarga adalah cerita-cerita masa lalu. Meskipun, ya, ceritanya kadang bikin hati agak perih. Zaman dulu hidup kami memang susah. Tapi lucunya, cerita susah itu sekarang malah jadi bahan ketawa.
Alhamdulillah, pohon rambutan di sebelah rumah nenek sedang berbuah walaupun tidak terlalu lebat.
Dari jauh, aku bisa melihat warna merah, kuning, dan hijau bercampur di antara daun-daunnya. Rasanya seperti sebuah undangan manis dari alam, dan aku tahu pasti, buah-buah itu akan menjadi oleh-oleh istimewa saat kami pulang nanti.
Ada banyak hal yang ingin aku lakukan selama di sini, tapi yang paling utama adalah menikmati damainya suasana. Kadang cukup dengan duduk di bawah pohon itu, mendengar angin berbisik sambil menikmati udara segar. Di tempat seperti ini, waktu seolah melambat, dan hati terasa lebih ringan.