Aku yang Terbaik

Sejak kecil, aku selalu ingin menjadi yang terbaik. Bukan sekadar lebih baik dari orang lain, tapi lebih baik dari diriku yang kemarin.

Aku ingat saat pertama kali belajar bersepeda. Ayah berdiri di belakang, menopang sadel dengan satu tangan. "Kamu pasti bisa," katanya. Aku mengayuh dengan gemetar, lalu terjatuh. Lututku lecet, tapi aku bangkit. Esoknya, aku mencoba lagi, lalu jatuh lagi. Namun, di hari ketiga, aku melaju tanpa bantuan. Aku tersenyum bangga—aku lebih baik dari diriku kemarin.

Semangat itu terus kubawa hingga dewasa. Dalam setiap ujian, aku berusaha belajar lebih keras. Dalam setiap pertandingan, aku berlatih lebih giat. Aku tak peduli jika orang lain lebih hebat—selama aku bisa melampaui diriku sendiri, aku tahu aku menang.

Namun, ada masa di mana aku merasa tidak cukup baik. Saat gagal dalam wawancara kerja, saat ideku ditolak dalam rapat, saat orang lain lebih dihargai sementara usahaku tak terlihat. Aku mulai meragukan diriku sendiri.

Suatu hari, aku duduk termenung di taman, mengingat semua perjuangan yang pernah kulalui. Aku bertanya dalam hati, Apa aku sudah cukup baik?

Lalu, aku tersadar—aku memang tidak sempurna, tapi aku terus berusaha. Aku telah mengalahkan banyak versi diriku yang dulu, jatuh berkali-kali, tapi selalu bangkit.

Hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri: Aku mungkin bukan yang terbaik di dunia, tapi aku adalah aku yang terbaik. Dan itu sudah cukup.