Antara cendera mata dan kpk

in #steem7 years ago

Cinderamata dalam Sejarah

Baru-baru ini, Presiden Jokowi menebus piringan hitam Album Mettalica yang akhir tahun lalu dilaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Album yang berjudul 'Master of Puppets' tersebut awalnya diberikan oleh Perdana Menteri Denmark Lars Rasmussen kepada Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Indonesia pada November 2017. Dan Jokowi kemudian menebus album milik band cadas favoritnya itu senilai 11 juta rupiah ke KPK.

Beberapa kalangan memuji tindakan tersebut. KPK sendiri menganggap penyerahan dan kemudian penebusan barang gratifikasi itu sebagai tindakan terpuji dan patut dicontoh oleh aparat negara hingga ke daerah. Tidak tahu maksud PM Dermark itu memberikan hadiah kepada Jokowi, sekedar buah tangan atau ada maksud lain. Yang jelas, saat ini negeri ini sedang giat mencegah penyalahgunaan jabatan untuk mendapatkan keuntungan dan kepemilikan pribadi.

Melihat ke masa lampau, hubungan diplomatik Indonesia dan Denmark dimulai tahun 1950. Bahkan pada Juni 1959, Presiden Sukarno dalam lawatannya ke Eropa, mengusulkan kepada pengatur jadwal untuk mengunjungi bangsa yang dikenal VIKING tersebut. Raja Denmark yang bertahta waktu itu yaitu Raja Frederik IX.

Banyak yang mempertanyakan mengapa Sukarno mau mengunjungi pula negara kecil seperti Denmark. Seperti biasa, pengetahuan Sukarno atas negara-negara di dunia tidak diragukan lagi. Tentu berkat referensi bacaan Sukarno sejak muda. Bagi Sukarno, Denmark adalah contoh baik dalam mengelola keadilan sosial. Di Denmark kala itu, penduduk Denmark tidak ada yang benar-benar kaya raya, begitupun tidak pula ada yang benar-benar miskin.

Sayangnya, pada tahun 1965, hubungan diplomatik kedua negara terhenti. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negeri tersebut ditutup. Saya menduga, hal ini ada hubungannya dengan polemik perang dingin yang berlangsung pada masa-masa itu.

Sebagaimana yang kita ketahui, Denmark adalah salah satu bagian dari NATO (pakta pertahanan atlantik) bersama dengan negara-negara lain Amerika, Belanda, Inggris, dan Belgia. Pada saat itu, NATO sedang berebut pengaruh dengan Paktawarsawa yang didirikan oleh Uni Soviet, Polandia, dan yang lain. KBRI kembali di buka pada tahun 1974 oleh Presiden Suharto.

Hubungan Diplomatik ini justru semakin erat ketika era reformasi di mulai di Indonesia, dan berlangsung hingga sekarang. Setelah sekian lama menjalin persahabatan antara negara, baru pada Oktober 2015 untuk pertama kalinya kunjungan kenegaraan Denmark ke Indonesia dilakukan. Ratu Margrethe II berkunjung meneui Jokowi, serta beranjangsana ke Surabaya dan Yogyakarta. Selanjutnya, Perdana Menteri Lars Rasmussen yang berkunjung ke Indonesia November 2017 dengan membawa cinderamata piringan hitam Metallica yang menjadi pemicu tulisan ini.

Sebagai Kepala Negara, Jokowi beberapa kali mendapatkan hadiah dari tamunya. Tak hanya piringan hitam Metallica, Jokowi juga mendapatkan hadiah Gitar Bass dari personil Metallica saat masih menjabat Gubernur DKI. Jokowi juga pernah mendapatkan Tea Set dan Lukisan Pemandangan dan Plakat dari sebuah perusahaan asing asal Rusia. Saat Jorge Lorenzo pembalap MotorGP ke Jakarta, Jokowi juga diberikan hadiah olehnya sebuah Kacamata. Dua ekor kuda juga diberikan oleh masyarakat NTT untuk Jokowi. Dan terakhir, PM Denmark memberikan piringan hitam album Metallica. Semua barang tersebut telah diserahkan oleh Jokowi ke KPK.

Sebagai sebuah hadiah atau cinderamata, bukanlah hal yang baru diterima oleh Presiden kita. Melihat ke tempo dulu misalnya, tahun 1955, ketika Presiden Sukarno beribadah haji, beliau mendapatkan hadiah mobil Fiat dari Raja Saudi Arabia Saud bin Abdulaziz. Mobil yang awalnya dipinjamkan oleh Raja Arab selama Presiden Sukarno beribadah haji, lalu kemudian dipersilahkan untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Demikian halnya, pada tahun 1960 Presiden Sukarno memberikan hadiah peci dan keris kepada Fidel Castro saat kunjungan ke Kuba. Persahabatan Sukarno dan Castro waktu itu sangat erat sekali. Keduanya dikenal anti kapitalisme dan kolonialisme. Sama-sama negara selatan yang sedang berjuang mengambil kedaulatan bangsanya serta berupaya mensejahterakan rakyatnya.

Namun, era reformasi yang hendak memangkas habis Korupsi Kolusi Nepotisme yang identik dengan Orde Baru menciptakan kesepakatan bersama untuk menghilangkan segala bentuk praktek buruk tersebut yang salah satunya adalah pemanfaatan jabatan untuk memperkaya diri sendiri serta menguntungkan pihak tertentu. Penerimaan hadiah oleh Jokowi sebagai kepala negara dari pihak lain yang kemudian dikategorikan sebagai gratifikasi berada dalam konteks itu.

Semoga, ikhtiar yang dilakukan oleh KPK yang disambut baik oleh Jokowi dapat dicontoh oleh aparat negara lain hingga ke daerah. Negara modern memang mengharuskan pemisahan antara harta pribadi dan harta umum/negara. Negara modern juga mewajibkan pemisahan antara seseorang sebagai pribadi dan pada saat yang sama sebagai pejabat negara.

Hal ini berbeda dengan masa pra kolonial kita. Ketika raja tidak memiliki sistem untuk mengorganisir keuangan, maka para pejabat daerah seperti bupati tidak digaji secara sentral. Sebagai gantinya, pemerintah memberikan para pejabat sebentuk kekuasaan dan kewenangan untuk menarik upeti dan mengorganisir tenaga kerja, serta mengelolanya sendiri, meskipun dalam teori harus memberikan sekian persen dari hasilnya ke pusat. Dengan demikian, sulit membedakan antara kekayaan pribadi dan umum, kepentingan pribadi dan fungsional pada waktu itu.

Namun, kini sudah beda. Indonesia adalah negara modern yang telah memisahkan keduanya. Hal ini telah diingat dan dilaksanakan oleh Jokowi sebagai kepala negara. Apakah pejabat pusat dan pejabat di daerah mengerti akan hal ini? Semoga mereka tidak menganggap saat ini masih jaman prakonolonial. (abp) ***

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 67724.53
ETH 2606.51
USDT 1.00
SBD 2.72