The Taste is Not Worth the Sin: Mi Instan di Tengah Kebekuan Udara |
On the way home from Aceh Singkil, we stopped at several places for various purposes such as praying or enjoying food and drinks. One of the places we stopped at was a simple cafe on the side of Jalan Brastagi, North Sumatra.
The cold air hit us when we got out of the car. Even so, I didn't wear a jacket and this was already a habit to adjust my body to the cold air. When there were activities in Takengon, I didn't wear a jacket so that my body could get used to the cold air which was actually not too cold compared to the winter weather I had experienced when I was in the United States, in 2012.
When I mentioned instant noodles with chicken eggs, a fat friend immediately exclaimed happily. He agreed with the food even though it was around 2 in the morning, a very inappropriate time to put junk food into the body.
I always remind my friends to enjoy healthy food, so when I break the rule once, all my friends agree. “Throughout 2024, this might be the second or third instant noodle that has entered my stomach,” I said.
“It’s okay, Bang Ayi. Don’t feel guilty. Once in a while is okay,” replied my chubby friend.
Instant noodles are indeed enjoyable at certain times, such as in the midst of a cold air attack. However, I still feel guilty enjoying the food. If it tastes as delicious as instant noodles at home, it’s okay. However, the instant noodles with egg that we ordered tasted bland, not kicking on the tongue.
This fact made me regret and feel guilty for enjoying instant noodles that tasted not worth the sin. The cafe owner did not provide instant noodles with special oil that makes them taste delicious.
Even though the taste did not match my expectations, I still finished the instant noodles with egg without leaving any trace because I am against waste in various things, including food.
On the way home, we discussed the taste of the instant noodles. We also discussed how instant noodles produced in Indonesia have become a favorite food in many countries in Africa. However, eating too much instant noodles is still not healthy in the long term, especially if the taste is not as expected.[]
Medan, December 28, 2024.
Rasa tak Sepadan dengan Dosa: Mi Instan Dalam Kebekuan Udara
Dalam perjalanan pulang dari Aceh Singkil, kami singgah di beberapa tempat untuk berbagai kepentingan seperti beribadah atau menikmati makanan dan minuman. Salah satu tempat yang kami singgahi adalah sebuah kafe sederhana di pinggiran jalan Brastagi, Sumatra Utara.
Udara dingin menyergap ketika kami keluar dari mobil. Meski begitu, aku tidak mengenakan jaket dan ini sudah terbiasa untuk menyesuaikan tubuh dengan udara dingin. Ketika ada kegiatan di Takengon pun, aku tidak mengenakan jaket agar tubuhku terbiasa dengan udara dingin yang sebenarnya tidak terlalu dingin dibandingkan dengan cuaca musim dingin yang pernah kurasakan ketika di Amerika Serikat, tahun 2012 silam.
Ketika aku menyebutkan mi instan dengan telur ayam, seorang kawan yang berbadan tambun langsung berseru gembira. Ia setuju dengan makanan itu meski waktu menunjukkan sekitar pukul 2 dinihari, waktu yang sangat tidak tepat untuk memasukkan makanan sampah ke dalam tubuh.
Aku selalu mengingatkan kawan untuk menikmati makanan sehat, sehingga ketika satu kali melanggar, kawan semuanya setuju. “Sepanjang 2024, mungkin ini mi instan kedua atau ketiga yang masuk ke perutku,” ujarku.
“Tidak apa, Bang Ayi. Jangan merasa bersalah. Sesekali tidak apa,” sahut sahabatku yang berbadan tambun.
Mi instan memang menyenangkan di waktu tertentu, seperti di tengah serbuan udara dingin. Namun, aku tetap merasa bersalah menikmati makanan itu. Kalau rasanya nikmat seperti mie instan di rumah, tidak masalah. Namun, mi instan dengan telur yang kami pesan itu rasanya hambar, tidak nendang di lidah.
Kenyataan ini membuatku menyesal dan merasa bersalah karena menikmati mi instan yang rasanya tidak sepadan dengan dosa. Pemilik kafe tidak menyediakan mi instan dengan minyak khusus yang membuat rasanya sedap.
Meski rasanya tidak sesuai ekspektasi, mi instan dengan telur itu tetap aku habiskan tak bersisa karena aku anti dengan mubazir dalam berbagai hal, termasuk makanan.
Dalam perjalanan pulang, kami membahas tentang rasa mi instan tersebut. Kami juga membahas bagaimanan mi instan produksi Indonesia, menjadi makanan favorit di banyak negara di Afrika. Namun, makan terlalu banyak mi instan, tetap tidak menyehatkan untuk jangka panjang, apalagi kalau rasakan tak sesuai harapan.[]
Medan, 28 Desember 2024.
Waahh.. jadi penasaran kita🤔 gimana ceritanya, mie instant yg cuma diseduh air panas aja udah enak asalkan bumbunya lengkap apalahi tambahvtwlur kok jadi terasa tawar meunan🤔
Tapi, agak masuk akal juga, sebab beda tangan yg masak meskipun cuma mie instant bisa beda nikmatnya. Saya bukan penggemar mie instant (mungkin karena waktu kecil sudah geu talak (dibikin puas sampai tak ingin lagi) lee mamak😅) cuma jadi penikmat mie instant socially. Sebab yang lain makan, awak ambil juga sikit aja. Sama macam bakso/mieso gitu juga.
Waktu masa bertahan hidup sebagai anak kost pun saya lebih memilih ngutang mie goreng daripada makan mie instant😁 makanya kalau pergi2 bawa pisang rebus atawa pisang wak aja bang ayi 😁 biar tak merasa berdosa.
Saya punya ekspektasi tinggi terhadap mi instan karena yang di rumah rasanya lebih enak. Sebenarnya nggak suka dengan junkfood karena tidak sehat. Makanya ketika makan terasa nggak seenak biasanya, jadi merasa bersalah sudah makan mi instan.
Kalau nggak ada perbandingan memang nggak masalah keknya yaa? Gegara ada standard tertinggi di rumah, yg laen tabeu mandum lah!
Jafi ingat kawan baik di Vietnam yg tergila2 pada indomie goreng 😅 tiap kali dia belanja bulanan, pasti cepat2 pamer foto dus mie instant nya ke cicik lewat discord chat 😅🤣 padahal adeknya penggemar K-drama yg banyak iklan mie instant, terus rasa segala Korea ada. Tapi dia tetap keukeuh dgn indomie gorengnya 🤦 awak suka Vietnam pho, kawan awak sukanya malah indomie goreng😅
Di sejumlah negara Afrika, mi instan kan termasuk makanan mewah.