Orang-orang Menjual Jiwanya kepada Iblis
PENGHORMATAN tertinggi untuk seorang musisi adalah virtuoso. Label ini diberikan kepada mereka yang telah melewati batas kemampuan rata-rata. Strata tertinggi virtuoso hanya pantas untuk mereka yang dianugerahi bakat luar biasa. Di antara para virtuoso, tidak mungkin tidak ada Niccoló Paganini, violinis yang dipercaya telah menjual jiwanya kepada Azazil atau Lucifer demi pangkat serta kemampuan menyayat biola yang tidak dimiliki oleh orang rata-rata.
Julukan the Devil's Violinist dipercaya didapatkan oleh Paganini melalui perjanjiannya dengan iblis. Permainan biola Paganini yang hampir mustahil dilakukan violinis lain karena mampu memainkan tiga oktaf di atas empat senar, bikin reputasinya kian misterius dan mahal. Melihatnya bermain adalah sebuah keberuntungan. Seseorang yang menjual jiwanya kepada iblis dengan cara manandatangani kontrak tertentu mengingatkan saya akan film Crossroads (1986), ketika seorang lelaki membuat perjanjian dengan iblis demi menjadi seorang bluesman.
Warita mengenai perjanjian dengan iblis sebenarnya berseliweran di mana-mana. Hanya saja, ia akan semakin spektakuler ketika disangkutpautkan dengan nama tokoh terkenal. Contohnya, Paul Sylvester II, seorang pope asal Prancis yang cakap di bidang matematik, astronomi dan mekanik.
Dia adalah orang yang berhasil menciptakan organ hidrolik, jam pendulum, serta memperkenalkan huruf dan angka Arab ke daratan Eropa, juga menulis banyak sekali buku. Rumor bahwa Paus Sylvester II telah mengikat jiwanya dengan iblis mulai tersebar setelah kematiannya. Pengetahuan yang dimiliki oleh Paus Sylvester diyakini oleh orang-orang berasal dari iblis.
Selanjutnya, ada Gilles de Rais. Kisah tentang Gilles bukan cerita yang baik-baik saja. Gilles adalah penyiksa, pemerkosa, dan pembunuh, yang seluruh korbannya adalah anak-anak. Kesadisan Gilles merupakan ritual yang diyakini berasal dari syarat yang diberikan oleh iblis bernama Baron agar Gilles tetap kaya raya. Pada akhirnya, Gilles harus mati dengan cara digantung lalu dibakar. Sangat setimpal. Beranjak dari Gilles, ada Jonathan Moulton.
Di samping rumor bahwa terdapat campur tangan iblis di balik kekayaan yang dimiliki oleh Moulthon, ada cerita yang menunjukkan bahwa Moulton tidak hanya meneken kontrak dengan iblis tapi juga berhasil menipunya. Diceritakan bahwa kontrak tersebut mewajibkan iblis untuk mengisi sepatu bot Moulton dengan emas sampai penuh setiap bulan. Namun, iblis keheranan karena setiap kali mengisi emas ke dalam sepatu bot Moulton rasanya terasa amat lama sekali penuh.
Iblis tidak tahu bahwa Moulton telah melubangi sol sepatu bot tersebut sehingga kekayaan yang didapatkannya bisa berkali-kali lipat dari jumlah yang telah disepakati dalam perjanjian mereka. Kembali ke gereja. Seorang pastur bernama Urbain Granadier, yang mengabdi di Sainte Croix, Loudon, Perancis, diklaim telah melakukan perjanjian terlarang dengan iblis serta melakukan praktik okultisme bahkan dipercaya telah menyuruh iblis Asmodal untuk merecoki para biarawati. Urbain dilaporkan pula memiliki afair dengan sejumlah perempuan gereja.
Di dalam persidangan, dikemukakan bukti berupa dokumen yang dipercaya berisi kontrak di atas tanda tangan Urbain sendiri. Dokumen tersebut berisi bahasa latin yang ditulis secara terbalik serta memiliki tera milik sang iblis. Urbain pun diseret ke tiang gantungan lalu dibakar. Lagi-lagi setimpal.
Mata jala iblis memang begitu sempit bagi sebagian besar manusia. Saya sendiri termasuk yang terperangkap ke dalamnya. Apakah saya pernah membuat perjanjian dengan iblis? Lebih parah, saya adalah orang yang terpana dengan berbagai hal yang berkaitan dengan perbuatan trah makhluk paling licik itu bahkan tanpa harus meneken kontrak terlebih dahulu dengan mereka. Saya berlumur dosa.
Tapi, saya memiliki teman, sebut saja namanya Coentoele, yang pernah bercerita bahwa dirinya telah mengikat kontrak dengan iblis. Kontrak di sini bukanlah kontrak dalam arti surat tertulis berisi stempel atau materai. Hubungan si Coentoele dengan iblis diawali dengan ritual pesugihannya di bawah sebuah pohon tua pinggiran kota. Si Coentoele ini dansanak sebapak dengan seorang legislator di Aceh.
Untuk ritual terlarang itu tidak perlu muluk-muluk, kata Coentoele, cuma perlu telanjang dengan biji pelir menggelantung bak buah sawo butek bin burik sambil melakukan gerakan aneh mirip koreografi yang sering dipertontonkan oleh grup vokal lagi penari asal Korea, tepat pada pukul 3:30 dini hari, ketika seisi alam serasa lengang, dan kerinduan mencapai puncaknya. Berselang lima menit setelah menari, waktu terasa berhenti. Angin bertiup ringan. Bulu kuduk si Coentole mulai merinding ketika terdengar suara yang memanggil-manggil namanya dari atas pohon tersebut sebanyak dua kali.
Dia mendongakkan kepala. Si Coentoele sempat berhenti bercerita ketika di bagian ini. Dia menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan ceritanya. Di atas pohon itu tampak sesosok makhluk berambut panjang yang terurai sampai menyentuh dahi si Coentoele.
Makhluk itu melihatnya dengan kepala yang menjuntai ke bawah karena lehernya yang sangat panjang. Ternyata badannya ada di dahan sebelah kanan pohon tersebut. Dahan tersebut menganjur ke seberang jalan tempat si Coentoele melakukan ritual pesugihan. Perkiraan si Coentole, panjang leher makhluk tersebut kira-kira 10 meter.
Singkat cerita si Coentoele akhirnya hidup serba berkecukupan. Punya rumah dan mobil mewah serta istri cantik yang punya betis lancip putih mulus nihil bulu—karena waxing dua mingguan—serta bokong menonjol yang dengan senang hati didaki dan digenjot oleh si Coentoele saban malam jumat dan minggu sampai ia keteteran mati lemas menelentang tak berdaya di atas kasur sementara istrinya tersenyum dengan bulir-bulir air mata kepuasan sambil menatap langit-langit kamar mereka. Dan kipas angin di atas sana pun bergerak slow motion.
Istrinya bekerja sebagai pegawai negeri di salah satu kantor pemerintahan. Si Coentoele suka girang sendiri ketika melihat istrinya mengenakan baju dinas sepan yang dijahit secara khusus agar antipanas. Ketika berjalan dengan sepatu tumit tinggi kesayangannya maka ujung rok panjang nan ketat itu pun akan saling mengibas lalu memecah udar, dan pada saat itu juga si Coentoele akan menjadi sangat bergairah lalu boleh jadi mereka akan bersenggama sesaat sebelum istrinya berangkat dinas.
Sayang, si Coentoele dikabarkan meninggal dunia akibat muntah berak. Sebagian mengatakan bahwa dia terserang virus dari Cina. Tapi, sebenarnya kematian si Coentole masih menjadi misteri bahkan untuk keluarganya sendiri. Lantas, bagaimana dengan kabar istri si Coentoele? Saya berhasil memanfaatkan hari-hari ketika istri si Coentole sedang berkabung.
Dia serta-merta terpana dengan kebaikan dan berikut pula bujuk beserta perangkat-perangkatnya yang selama ini saya gencarkan. Kami pun menikah dan bahagia. Segala harta kekayaan si Coentoele kini sah jadi milik saya, tanpa harus mengikat kontrak dengan iblis terlebih dahulu, kecuali istri si Coentoele yang sangat denok yang bahkan lebih menggoda dari bujuk rayu iblis, itu suka bikin saya betah di rumah hanya bermodal telor bebek yang telah dihaluskan bersama pinang serta daun kedondong muda atau sesekali minum jamu kuat di bawah jembatan seberang Kodam IM sambil menatap pemandangan air 'tepi kali' yang membentang di depan sana. Saat-saat seperti itu, serasa ada pengayuh gondola berbaju loreng.
Foto: Lukisan The Devil Offering Poison to a Knight, from Hymmelwagen auff dem, wer wol lebt... karya Hans Schäufelein (German, Nuremberg ca. 1480–ca. 1540 Nördlingen) https://www.metmuseum.org/art/collection/search/669850