Gam lahir demi kedaulatan bangsa aceh
Pada 1971, para petinggi perusahaan minyak dan gas alam asal Amerika Serikat, Mobil Oil, bergembira karena menemukan tambang baru di Arun, Aceh Utara. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk membangun pabrik baru dan memulai eksploitasi di lokasi tersebut. Pekerjaan ini bisa lancar sebab mereka menjalin kongsi dengan militer Indonesia yang saat itu menjadi bagian penting dalam rezim Orde Baru.
Enam tahun kemudian terjadi sebuah serangan bersenjata yang menghentikan operasi pabrik untuk sementara. Beritanya tersebar cepat hingga ke ibukota Jakarta akibat ada seorang insinyur asal AS yang meregang nyawa, sementara satu orang lagi luka parah. Dalang peristiwa tersebut kemudian diketahui bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kelompok bersenjata yang bergerilya melawan pemerintah Republik Indonesia di bawah komando Teungku Hasan Muhammad di Tiro alias Hasan Tiro.
Bibit perlawanan di Aceh telah ada sejak 1800-an ketika wilayah tersebut menjadi kerikil dalam upaya pembulatan tanah jajahan oleh Belanda. Orang-orang Aceh terkenal keras kepala dalam mempertahankan tanah leluhur. Mereka adalah salah satu daerah terakhir yang menyerah pada pemerintah kolonial, itu pun setelah terjadi Perang Aceh yang brutal dan berlangsung sepanjang tiga dekade (1873-1903).
Saat Indonesia merdeka, Aceh dimasukkan menjadi salah satu wilayahnya. Rakyat Aceh berjasa besar bagi Republik lewat sumbangan dana untuk pembelian pesawat terbang Seulawah—pesawat pertama yang dimiliki Indonesia. Tapi keputusan Jakarta pada 1950, yang menurunkan status Aceh menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara, menyulut kekecewaan.
Akibatnya, Teungku Daud Beureueh, tokoh terkemuka Aceh dan bekas Gubernur Militer di masa Revolusi, menyatakan perlawanan terhadap Jakarta. Ia lalu menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosuwirjo.
Sebenarnya, sebelum Daud Beureueh mengobarkan perlawanan, ia adalah tokoh pendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada akhir 1945, sempat terjadi pertentangan antara mereka yang mendukung Indonesia dan orang-orang yang berpihak ke Belanda. Para ulama (teungku) yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh berkonflik dengan kalangan bangsawan (teuku) yang pro-Belanda. Konflik ini memicu revolusi sosial yang dikenal dengan nama Perang Cumbok dan dimenangi kalangan teungku.
Faktor-faktor tersebut makin menambah kekecewaan Beureueh dan mempertebal keyakinannya untuk melakukan perlawanan. DI/TII Aceh memang berhasil dijinakkan pemerintah pada 1962, tapi bara konfliknya tidak pernah benar-benar padam.
Presiden Sukarno kemudian memberikan status daerah istimewa kepada Aceh untuk meredam perlawanan. Dengan status ini, Aceh berhak mengatur agama, hukum adat, dan perkara seputar dunia pendidikan.
Hasan Tiro Melanjutkan Perlawanan Daud Beureueh
Daud Beureueh masih bergerilya hingga awal 1962, akan tetapi estafet perlawanan selanjutnya lebih banyak diinisiasi Hasan Tiro. Ia tinggal di New York sejak awal 1950-an untuk bekerja di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di departemen khusus urusan Indonesia. Pada 1953, Tiro, yang sangat menggemari Coca-Cola, kembali ke Aceh untuk mendukung perjuangan Daud Beureueh. Dan jelang pertengahan 1970-an ia kian mantap mengkonsolidasi rekan-rekan seperjuangannya.
Tepat hari ini 41 tahun lalu, pada 4 Desember 1976, GAM secara resmi berdiri. Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan kepada pemerintah Indonesia di Perbukitan Halinon, Pidie, dan mengangkat dirinya sebagai Wali Nanggroe (kepala negara). Visinya adalah romantisme masa lalu ketika Aceh berdiri sebagai negara independen. Ia menyatakan dengan tegas bahwa telah terjadi “penyerahan kedaulatan tanah nenek moyang secara ilegal dari Belanda selaku kolonialis lama kepada Jawa sebagai kolonialis baru.”
Romantisme itu terutama mengacu kepada kejayan masa lalu Kerajaan Aceh pada zaman Iskandar Muda. Dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (2008), sejarawan Denys Lombard menunjukkan betapa sejahteranya Aceh di masa itu. Bahkan, Aceh adalah salah satu kerajaan Asia pertama yang memiliki hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda.
Masa kejayaan itu dikenang dengan perasaan nostalgia. Namun di sisi lain, seperti diungkap Otto Syamsuddin Ishak dalam Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian Nasionalisme (2013), orang Aceh merasakan kegetiran pada saat bersamaan ketika menyaksikan realitas Aceh mutakhir. Romantika kegemilangan masa lalu hadir serempak bersama pengalaman kepahitan menghadapi konflik berkepanjangan yang hanya diselingi jeda relatif singkat.
Hasan Tiro Melanjutkan Perlawanan Daud Beureueh
Daud Beureueh masih bergerilya hingga awal 1962, akan tetapi estafet perlawanan selanjutnya lebih banyak diinisiasi Hasan Tiro. Ia tinggal di New York sejak awal 1950-an untuk bekerja di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di departemen khusus urusan Indonesia. Pada 1953, Tiro, yang sangat menggemari Coca-Cola, kembali ke Aceh untuk mendukung perjuangan Daud Beureueh. Dan jelang pertengahan 1970-an ia kian mantap mengkonsolidasi rekan-rekan seperjuangannya.
Tepat hari ini 41 tahun lalu, pada 4 Desember 1976, GAM secara resmi berdiri. Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan kepada pemerintah Indonesia di Perbukitan Halinon, Pidie, dan mengangkat dirinya sebagai Wali Nanggroe (kepala negara). Visinya adalah romantisme masa lalu ketika Aceh berdiri sebagai negara independen. Ia menyatakan dengan tegas bahwa telah terjadi “penyerahan kedaulatan tanah nenek moyang secara ilegal dari Belanda selaku kolonialis lama kepada Jawa sebagai kolonialis baru.”
Romantisme itu terutama mengacu kepada kejayan masa lalu Kerajaan Aceh pada zaman Iskandar Muda. Dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (2008), sejarawan Denys Lombard menunjukkan betapa sejahteranya Aceh di masa itu. Bahkan, Aceh adalah salah satu kerajaan Asia pertama yang memiliki hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda.
Masa kejayaan itu dikenang dengan perasaan nostalgia. Namun di sisi lain, seperti diungkap Otto Syamsuddin Ishak dalam Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian Nasionalisme (2013), orang Aceh merasakan kegetiran pada saat bersamaan ketika menyaksikan realitas Aceh mutakhir. Romantika kegemilangan masa lalu hadir serempak bersama pengalaman kepahitan menghadapi konflik berkepanjangan yang hanya diselingi jeda relatif singkat.
nyan yg komen robot,leubeh geot neu ganto ceurita laen,meuhan akun droe neuh di blok,
Nya kayak peugah gam...