Hakikat Kebenaran SUHRAWARDI
Aspek mistisisme Islam, termasuk didalamnya tasawuf merupakan salah satu aspek yang didukung oleh orang-orang yang merasa tidak puas melakukan hubungan dengan tuhan hanya dalam bentuk ibadah ritual biasa saja. Para sufi merasa ingin lebih dekat dengan Tuhan sehingga memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan dan menyadari bahwa mereka berada di hadirat Tuhan. Seperti yang diungkapkan Harun Nasution :kk
“Intisari dari mistisime , termasuk didalamnya tasawuf, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi. Kesadaran itu selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan dalam arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah arab disebut ittihad dan dalam istilah inggris mystical union.
Untuk mencapai apa yang menjadi tujuan tasawuf tersebut, para sufi melakukan berbagai upaya. Meskipun dengan cara dan jalan yang berbeda-beda, namun upaya-upaya yang dilakukan tersebut berorientasi pada usaha membersihkan jiwa dan al-nafs. Untuk itu, mereka memakai falsafat. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang bersifat immateri dan maha suci. Maka hanya unsur manusia yang yang dapat bertemu dengan Tuhan, adalah unsur immateri, yaitu roh dan ia mestilah suci dari segala noda dan dosa.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum sufi tersebut tidak selalu disetujui atau diakui oleh Ulama Islam, terutama dari kalangan fuqaha dan teolog. Hal I I terjadi karena dimensi pemahaman yang berbeda antara kaum sufi dan kaum fuqaha tersebut dalam memandang aspek esoteric Islam. Penolakan tersebut tidak hanya dalam bentuk perang wacana, namun sampai pada pembunuhan kaum sufi, seperti yang terjadi pada Abu Mansur Al-Hallaj, Suhrawardi al-Maqtul, “Ayn Qudad dan lain-lain.
Namun demikian, bukan betarti pemahaman esoteric Islam tersebut ikut mati dengan matinya para sufi tersebut, , sebaliknya konsepsi tasawuf malah makin berkembang dan sempurna dengan munculnya konsep-konsep yang semakin jelas dan filosofis tentang hakikat kebenarannya.
Nah, dalam perkembangan tasawuf dalam rangkaian filosofis ini, kemudian muncul sufi-sufi besar yang menemukan dan memakai terminology filsafat sebagai usaha pembenaran tasawuf, sehingga tasawuf menjadi sebuah kebenaran yang akan diterima secara universal. Salah seorang yang mengemukakan teori tentang hakikat kebenaran tasawuf adalah Suhrawardi al Maqtul.
Suhrawardi al Maqtul dikenal dengan konsepnya tentang Hikmah al Isyraqi ( Falsafat Iluminasi ). Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba membahas pemikiran Suhrawari al Maqtul secara sederhana. Pembahasan akan difokuskan pada pemaparan konsep dasar aliran flsafatnya, lalu kemudian baru membahas konsep kebenaran tasawufnya.
Lahir dan kehidupannya.
Syihab al Din Yahya Ibn Habasi Ibn Amirak Ibn Abu al Futuh Suhrawardi, atau dikenal dengan sebutan Syaikh al Isyraqi, lahir disebuah desa bernama Suhraward, dekat Arbarjian, Persia pada 1154. Riwayat hidupnya tidak ditemukan . satu-satunya catatan tentang kehidupannya ditulis oleh Syahrazuri, pengikutnya sekaligus pencatat biografi ternama asal Persia. Dalam catatan tersebut antaraa lain ia mengatakan tentang perjalanan Suhrawardi mencari ilmu dan berguru keoada banyak sufi dan filosof, serta ia melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu pengetahuan.
Dalam catatan tersebut Syahrazuri juga mengungkapkan tentang kesederhanaan hidup Suhrawardi. Tentang hal ini Syahrazuri mengatakan:
“Ia tidak peduli pada dunia, dan tidak pernah memperhatikannya, ia juga tidak begitu memikirkan tentang makanan dan pakaian dan tidak silau oleh kedudukan yang tinggi. Kadang-kadang ia menggunakan jubah dan kopiah yang yang berwarna merah, kadang-kadang memakai baju bertambal dengan sepotong kain melilit dikepalanya kadang-kadang berpakaian seperi orang sufi.”
Sementara Najmuddin Razi dalam Theosophy Libarary Online juga
Mengungkapkan riwayat hidup Suhrawardi. Namun apa yang diungkapkan Najmuddin tersebut sepintas hampir sama dengan apa yang diungkapkan Syahrazuri tersebut. Diantaranya Najmuddin mengungkapkan :
“Shihab al-Din Yahya ibn Habash ibn Amirak al-Suhrawardi was born in A.D. 1153 in the village of Suhraward near modern Zamjan in Parsia. In time he would be called al-Maqatu, ‘he who was killed’, and al –Shahid, ‘the martyr’, described him and pronounced its judgement – Shaikh al-Ishraq, Master of Illumination’.As young boy, he went to Maraghah, the city where later the Mongol emperor Hulagu built his great observatory, and there studied with Majid al-Din al-Jili. As he grew older he journeyed to Ispahan,where he became a student of Zahir al-Din al-Qari. One of his co-disciples was Fakhr al-Din al-Razi, whose name is synonymous with rejection of philosophy. Though little is known of Suhrawardi’s character, al-Razi, who stood against much that Suhrawardi affirmed, offered an unuttered summation. Years after they had parted and after Suhrawardi was dead, al-Razi was given a copy of one of his treatises. Opon receiving the volume, he kissed it and wept.”
Mengenai penyebab ia di bunuh, Syahrazuri mengatakan : “Alasan mengapa ia dihukum mati, sebagaimana yang kami dengar adalah ketika meninggalkan Anatolia menuju Syria, ia berkunjung ke Aleppo, yang pada masa itu diperintah oleh Al Malik Al Zahir, putra Shalahuddin Yusuf, penguasa Mesir, Yaman dan Syria. Al Malik menyukai sang guru (Suhrawardi) dan percaya padanya. Ketika itu terdapat sekelompok ulama di Aleppo yang sering datang untuk mendengarkan pengajiannya. Dengan bersikap terus terang dalam ceramahnya untuk mempertahankan keyakinan para filosof, Suhrawardi menunjukkan betapa tololnya pendapat-pendapat para penentangnya bertengkar mulut dengan mereka dan menghina mereka didepan umum. Selain itu ada kekuatan-kekuatan ajaib yang diperlihatkan melalui kekuatan ruh suci. Oleh karena itu, didorong rasa iri hati, mereka bersatu suara untuk menyatakan bahwa Suhrawardi adalah kafir dan patut dihukum mati, mereka juga mengatakan bahwa Suhrawardi adalah pelaku kejahatan-kejahatan besar dan bahwa ia menyebut dirinya nabi, meskipun jelas ia tidak melakukan semua itu. Mereka mendesak Sultan untuk menjatuhkan hukuman mati kepadanya , tetepi Sultan menolak, lalu mereka menulis surat kepada ayahnya , Salahuddin , dan diantara lain mengatakan kalau dia dibiarkan hidup, maka Suhrawardi akan merusak iman. Maka Salahuddin kemudian menyurati anaknya berkali-kali dan mengancam akan mencopot kekuasaannya jika ia tidak patuh terhadap apa yang diperintahkan ayahnya”.
Ia wafat pada 1191. secara pasti tentang penyebab kematiannya tidak ditemukan. Ada yang mengatakan kalau ia mati karena dipenjara, sementara yang lain mengatakan ia mati dicekik dengan tali, tidak diberi makan, dipancung dan lain sebagainya. Namun yang pasti ia mati karena hukuman dari penguasa.
Karya-karyanya
Secara umum karya-karya Suhrawardi dapat dikelompokkan kedalam empat bagian. Yang paling utama adalah karya-karya filosofisnya, sekaligus mewakili perkembangan doktrin isyraqiyyahnya: al-Talwihat (kedekatan), al-Muqawamat (tambahan), al-Masyari’ wal Mutharahat (jalan dan tempat berlabuh), Dan karya monumental yang menjadi magnuopusnya, Hikmah al Isyraqy. Kedua ialah sembilan hikayat yang penuh nuansa filosofis. Ketiga sepuluh hikayat simbolis pendek yang bersifat mistis dan sekaligus filiosofis. Dan keempat adalah sekumpulan do’a dan permohonnan yang dikenal dengan al waridat wat taqsidat.
Dalam karya-karya paripatetik ini, Suhrawardi juga menjelaskan tentang berbagai tema filosofis tradisional. Hal ini dilakukan sebagai upaya membangun jembatan pemikiran antara apa yang ada (yang telah berkembang ) dengan apa yang kemudian dikemukakannya. Salah satu hal yang menjadi perhatiannya adalah tentang pengetahuan dan bagaiman pengetahuan diperoleh.
Namun klasifikasi yang dikemukakan oleh Sayyid Hussein Nasr tentang karya-karya Suhrawardi nampaknya lebih jelas. Nasir mengklasifikannya dalam lima bagin, yaitu karya-karya filsafatnya, karya-karya yang bersifat doctrinal, karya-karya murni esoteris, karya-karya yang bersifat filosofis dan insiatis, serta tulisan-tulisan liturgis, yakni shalat , permohonan dan do’a.
Konsep dasar Filsafat Isyraqy ( Suhrawardi )
Sebelum membahas konsep dasar Isyraqy , perlu diketahui dulu konsep epistimologi Suhrawardi. Secara singkat ada tiga unsure epistemology Suhrawardi, pertama definisi, kedua persepsi indra dan ketiga gagasan asli. Dalam definisi bersifat problematic, karena ia harus mencakup bukan saja esensi sesuatu yang bersangkutan sebagaimana diindikasikan oleh Aristoteles, tetapi semua sifat dan aksidenya untuk sagala kepraktisannya adalah mustahil. Ia mengatakan ; “Semua definisi tak terelakkan menuntun kepada konsep-konsep a priori yang dengan sendirinya tidak perlu didefinisikan; jika bukan ini yang terjadi, ia akan memunculkan pergantian tanpa batas.”
Suhrawardi menambahkan bahwa banyak unsur-unsur yang ada diluar defenisi (tidak bisa didefenisikan ), seperi suara, bau an lain-lain. Ia mengatakan ; “ Suara tidak biasa didefenisikan oleh sesuatu yang lain dan umumnya sensasi-sensasi sederhana tidak bias didefinisikan”. Maka karenanya ia menganjurkan untuk tidak menekankan arti defenisi. Ia menjelaskan ; “Oleh sebab itu menjadi jelaslah bahwa batasan dan defenisi dalam cara yang disajikan oleh kaum paripatetik tidak pernah bisa diperoleh.
Maka karena ada hal-hal yang tidak bias terdefenisikan, mungkin bias diketahui melalui indera, maka untuk ini ia mengatakan; “Jadi pengetahuan dan pengakuan beberapa hal menjadi tugas indera. Sebab menurutnya indera akan mampu membedakan antara entitas sederhana dan entitas capuran. Entitas campuran didefinisikan dalam konteks entitas sederhana, namun tidak sebaliknya.
Namun masalahnya adalah indera tidak bias menghindari masalah yang sama yang dihadapi defenisi. Ketika dihadapkan pada makhluk hidup entitas campuran bias diketahui dengan entitas sederhana, namun bagaimana mengetahui entitas sederhana itu sendiri?. Maka dalam konteks inilah dibutuhkan prinsip aksiomatik. Ia mengatakan ; “Tidak ada yang tampak nyata dari apa yang dirasakan, karena semua pengetahuan kita bersal dari indera, oleh sebab itu semua yang berasal dari indera adalah bawaan dan tidak bisa didefinisikan.
Karenanya, ia menganggap persepsi indera pada akhirnya membawa pada kegagalan seperti terjadi pada defenisi. Namun ia menganggap ini tetap diperlukan selama digunakan untuk mengetahui hal-hal yang tidak bias didefenisikan.
Maka kemudian ia menawarkan teori pengetahuan yang koheren dan konsisten. Hakikat gagasan dan strukturnya masih berada disuatu tempat yang tidak jelas dalam tulisan-tulisan filosofisnya, tetapi masalah ini bias memperjelas setelah orang memperhatikan prinsip isyraqi-nya.
Apa yang diungkapkan diatas sebagi konsep dasar epistimologi Suhrawardi bias dipahami sebagai pengantar untuk pemahaman filsafat isyrai, sebab langkah pertama dalam epistimologi isyraqy Suhrawardi adalah untuk menyatakan bahwa disana ada sebuah diri yang merupakan substansi immaterial dan kekal.
Jawaban dari pertanyaan ini bias diformulasikan dalam sebuah kognisi khusus yang memperoleh pengetahuan secara langsung dan tanpa mediasi dan karenanya berada dilur destinasi subjek / objek tradisional. Suhrawardi mempersaksikan bahwa jika diri tidak mengenal diri sendiri maka ini menyiratkan bahwa diri tidak mampu mengenal diri. Bagi diri mengenal diri secara jelas membutuhkan keberadaan model kognisi khusus yang kerap kali dirujuk sebagai pengetahuan dengan keberhadiran ( al-ilmu al huduri ).
Dari memiliki banyak sifat yang melekat padanya, sifat ini terlalu nyata untuk diperdeatkan, yang mencakup hasrat duniawi yang dia singgung dalam karya-karya sufi parsiannya. Oleh karena itu dalam doktrin Isyraqy sifat-sifat berguna sepanjang dia bisa memisahkan diri aku. Selanjutnya dalam usaha menyingkapkan diri, maka sifat-sifat diri ‘yang menyelubungi’ hendaknya dibuang. Untuk melakukannya Suhrawardi memberikan konsep esketisme yang dimaksudkan untuk menghancurkan ego individual sehingga sikap-sikap diri mulai lenyap satu persatu.
“Ketika kamu telah melakukan pengamatan seksama dalam dirimu, kamu akan menemukan bahwa kamu terbuat dari ‘dirimu’ yang tidak lain adalah apa yang mengenal realitas sendiri. Inilah ‘aku-anmu’ sendiri (an’iyyatuka). Inilah cara setiap orang mengenal dirinya dan ‘aku-an’ setiap orang sama dengan kamu.”
Secara keseluruhan, metode untuk membawa diri kepada kepunahannya dan untuk mengawetkan martabat diri pada keadaan aslinya dapat diformulasikan dalam empat langkah, yaitu; kesadaran, perpisahan, kehancuran dan kebinasaan.
Kebenaran dalam Tasawuf Suhrawardi
Satu hal yang sangat kentara terlihat dalam karya-karya Suhrawardi adalah keterpengaruhannya terhadap karya-karya filosof paripateik Islam, khususnya Ibn Sina dan Al Farabi. Misalnya pandangan tentang jiwa. Seperti kita ketahui Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa berasal dari alam malakut (‘alam al amr). Kemudian jiwa tersebut dipaksakan turun kedalam tubuh manusia. Dengan demikian, dalam kehidupan dunia, jiwa selalu berusaha melepaskaan diri dari siksaan yang menimpanya, padahal sebelumnya tidak ada kesepakatan untuk itu. Jiwa senantiasa memiliki kecenderungan untuk menuju tataran tertiggi dari tempat ia berasal.
Selain itu Suhrawardi juga mengembangkan teori emanasi (faidh) yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan Al Farabi, dan menjadi sebagai dasar epistimologi mereka, juga dikembangkan oleh Suhrawardi. Namun apa yang dikembangkan oleh Suhrawardi berbeda dengan konsep Ibnu Sina dal Al Farabi dalam akal terakhir. Namun kalau kita melihat argument-argumen yang diajukan oleh Suhrawardi, maka sangat sulit membedakan apa yang ia berikan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina dan Al Farabi. Sebab seperti halnya Ibnu Sina dan Al Farabi, Suhrawardi menganggap seluruh akal yang beremanasi itu merupakan perantara proses penciptaan dan pengadaan makhluk oleh Allah yang membuktikan bahwasanya Yang Maha Esa tidak akan mengeluarkan kecuali yang esa juga, dan hal ini juga diakui oleh kaum Paripatetik. Selain itu hal ini juga bisa kita lihat dalam konsepnya tentang proses keluarnya sesuatu yang banyak dari yang satu. Ia menggunakan teori Ibnu Sina dan Al Farabi tentang kepastian dan kemungkinan.
Dasar-dasar inilah yang dijadikan dasar kebenaran tasawufnya. Dengan teori ini pula ia menganggap seorang pengkaji teologi lebih unggul dibandingkan dengan seorang pencita Tuhan an sich. Hal ini bisa kita lhat dari ungkapannya: “Jika dalam waktu yang sama seseorang menjadi pencinta Tuhan dan pengkaji teologi, maka dirinya telah menduduki derajat kepemimpinan, jika ia tidak dapat memadukannya maka derajatnya hanyalah sebagai pengkaji teologi atau seorang pencinta Tuhan tetapi tidak mengkaji-Nya.”
Dalam pemahamn tasawuf, Suhrawrdi berbeda dengan filosof-filosof paripatetik yang tidak mau menerapkan metode makrifat rasional (al ma’arifah al ‘aqliyyah). Ia lebih cenderung memakai metode makrifat intuitif (al ma,arifah al dzauqiyyah). Ia menjadikan tajrid dan amalan yang bisa menyampaikan kepada kasyf berupa latihan spiritual (riyadhah) dan perjuangan spiritual (mujahadah) sebagai media menuju makrifat atau Isytisraq. baik makrifat yang berasal dari akal actual (al aqlu al af’al) atau Jibril atau sumber langsung dari Allah yang disebut dengan nur al anwar.
Suhrawardi sangat berlebihan dalam menerapkan konsep tajrid. Ia menganggap tajrid bukanlah sekedar kesalihan asketis semata, namun tajrid bainya adalah meninggalkan kehidupan dunia secara total. Seseorang yang melkukan tajrid harus meninggalkan ragawinya dan hal-hal yang bersentuhan dengan inderawi. Bahkan dengan mengutip Plotinus, ia mengatakan: “Semua orang yang membenarkan konsep tajrid sepakat bahwa orang yang mampu melepaskan jasad dan menyingkirkan inderawinya akan naik kealam yang lebih tinggi.
Karenanya Suhrawardi mengatakan kalau Mujarrid harus selalu merambah jalan-jalan ahli hikmah dfan sampai pada sumber cahaya sehingga mereka memperoleh hakikat yang hakiki. Dan hal inilah yang telah dilakukan menurut Suhrawardi oleh para sufi, sehingga mereka benar-benar menjadi seorang bijak (hukama’). Ia menganggap orang yang tenggelam dalam nama Tuhan (al muawaghghifi at-taa’ulah) akan lebih unggul dibandingkan seseorang yang meneliti Allah, sebab orang yang pertama akan menemukan makrifat langsung dari Allah, sedangkan yang kedua tidak karena tidak mampu melepaskan dirinya dari ragawi.
Untuk itu carilah ilmu tajarrudi dan berhubungan langsung denga-Nya supaya menjadi orang bijak sejati. Sebab seseorang yang tidak bisa mencapai maqam penyaksian tertinggi dan cahaya-cahaya hakiki tidak dapat dianggap sebagai orang utama dan tidak dijamin akan meraih kebahagiaan yang tinggi.
Tujuan akhir iluminasi adalah menjadikan manusia masuk kealam malaikat(‘uqul) yang diliputi oleh hakikat dan makrifat tentang Allah, menguasai ilmu Allah, menguasai ilmu Allah, dan dapat meraihnya yang sebelum kemunculannyadi ala mini seperti halnya teori filsafat idealisme (al mutsul) Plato. Ia mengatakan :
“Semua orang sepakat bahwa cara untuk meraih akhirat haruslah mengetahui yang Maha Tunggal (al Haqq), malaikat, jiwa-jiwa suci, dan tempat kembali untuk orang orang bahagia. Oleh sebab itu, lakukanlah latihan spiritual (riyadhah) dan konsentrasikan diri untuk meraihnya. dapat menggapai apa yang telah dicapai oleh mereka.”
Secara sederhana dapaat kita jelaskan, konsep Isytiyraq yang dijelaskan oleh Suhrawardi kepada kita bahwa jika jiwa berasal dari Yang Maha Pencipata dan dari berbagai substansi yang terpisah-pisah, maka sampai pada-Nya atau sampai pada jajaran substansi-substansi itu tidaklah sulit selama manusia mampu berusaha melepaskan diri dari unsur ragawi dengan cara menanggalkan keinginan duniawi (tajarrud) dan melakukan latihan spiritual (riyadhah). Dan melakukan hal ini juga bukan merupakan suatu pekerjaan. Sebab asal mula manusia adalah jiwa sementara tubuh dating kamudian dan membungkusnya agar ia dapat bersentuhan dengan alam nyata.
Dalam tradisi filosof iluminasionis, latihan spiritual berguna untuk menahan kilatan cahaya yang cepat dan lezat (al-thawali’) dan kilauan cahaya yang terang (ial lawa’ih) sehingga akan semakin sering ia dating dan akan menjadi sebuah kekuatan yang konstan. Dan setelah itu mereka akan mendapatkan bisikan (al sakinah). Dalam tahapan ini mereka akan mempunyai kemampuan melakukan kenaikan spiritual (‘uruj) ke tingkatan yang paling tinggi. Namun hal ini hanya dapat dicapai setelah mereka mencapai tingkatan fana. Dan dalam kondisi ini mereka tidak lagi mengetahui siapa Isyraqi itu karena kenikmatan yang diperolehnya. Namun jika hal itu tetap berlangsung, maka mereka berarti belum kepada kefanaan hakiki. Hanya jika merekatidak lagi merasakan kenikmatan tersebut, mereka akan sampai pada derajar fana, dan disitulah jiwa kekal bersama al haq dan tidak ada yang mengganggu. Al Junaid mengatakan sebagai fana ba’da al baqa , namun ia menyebutnya dengan fana fi al khulsah (fana dalam rahasia), yang didefenisikan sebagai detik-detik paling dekat dengan kematian.
Jika seseorang telah melakukan ini semua secara konstan, ia akan menjadi manusia yang sempurna. Suhrawardi mengklasifikasikanmanusia sempurna dalam tiga bagian;. Pertama orang yang mendalami pembahasan analitis tetapi tidak mendalami masalah ketuhanan, misalnya kaum Paripatetis pengikut Aristoteles, Al Farabi, Ibnu Sina. Kedua orang yang mendalami masalah ketuhanan tetapi tidak mendalami masalah analitis, seperti Abu Mansur Al Hallaj dan Abu Yazid al Busthami, dan ketiga golongan yang mendalami pembahasan analitis dan masalah ketuhanan sekaligus. Klasifikasi inilah yang tertinggi. Dialah yang menjadi pemimpin segenap alam atau al hakim al muta’allih. Dan predikat inipula yang telah ia capai.
PENUTUP
Dari pembasan yang dikemukakan diatas, nampak ada sebuah pergeseran makna tasawuf dalam periode awal Islam, khususnya seperti apa yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, Al Farabi dan Al Ghazali. Dalam konsepsi-konsepsi awal tasawuf hanya sebagai sebuah pengalamanspiritual yang kental dengan melakukan berbagai “kontemplasi” spiritual sehingga sampai pada maqam-maqam tertentu yang diyakini para sufi sebagai maqam tertinggi dan penyatuan dengan Tuhan.
Maqam-maqam tertinggi yang dikemukakan oleh para sufi Islam periode awal tersebut pada dasarnya merujuk pada suatutujuan yaitu penyatuan diri dengan Tuhan. Posisi ini akan dicapai dengan thariqat-thariqat tertentu, dangan zikir dan lain sebagainya. Namun dalam konsepsi Suhrawardi, tasawuf tidak lagi sebagai pengetahuan yang amali semata, namun telah dibawa dalam perdebatan filosofis, sehingga mempunyai basis epistimologi yang kokoh.
Suhrawardi telah berupaya memberikan sintesa-sintesa yang sangat lengkap mengenai konsep keterhubungan manusia dengan Tuhan. Ia telah memberikan konstribusi yang sempurna dalam perkembangan tasawuf Islam.
Congratulations @yusfriadi: this post has been upvoted by @minnowhelpme!!
This is a free upvote bot, part of the project called @steemrepo , made for you by the witness @yanosh01.
Thanks for being here!!
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by yusfriadi from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.