Nyaris Gagal Terbang, Lalu Berujung Bahagia Bersama AirAsia
Rencana traveling saya ke Kamboja dan Vietnam pada Januari 2018 hampir saja berantakan dan gagal. Penyebabnya cuma karena masalah sepele: nama pada paspor berbeda dengan di bookingan tiket.
Saya ingat, di awal tahun 2018 atau tepatnya seminggu sebelum terbang ke KL dalam agenda perjalanan panjang ke Kamboja dan Vietnam, tiba-tiba terjadilah sebuah obrolan serius (tapi dalam suasana santai). Obrolan ini muncul setelah saya memeriksa bookingan ticket Air Asia, dan mendapati nama saya tertulis: Taufik Al Mubarak.
+ Nama di paspor cuma Taufik saja, apakah bermasalah?
Selama ini, nama inilah yang lebih familiar di telinga kawan-kawan. Dia sama sekali tidak tahu bahwa pada paspor lama saya yang sudah kadaluarsa, nama saya tertulis Taufik. Ketika saya memperpanjang paspor, nama itu masih juga digunakan pada paspor baru. Nama ini merujuk pada akte kelahiran maupun pada ijazah saya. Memang, tiap kali berurusan dengan hal-ihwal administrasi, masalah selalu saja muncul. Ini berkaitan dengan 'Al Mubarak' di depan nama saya.
Diskusi itu pun jadi panjang. Tapi, ceritanya sudah dimulai sejak jauh-jauh hari. Pada Juli 2017, saya dan seorang teman, Riadi Husaini, tiba-tiba tertarik melakukan traveling ke Kamboja dan Vietnam. Dan, mulailah teman saya itu mencari promo tiket Air Asia dengan harga murah. Entah lagi mujur atau apa, kami bisa mendapatkan harga tiket yang cukup murah. Saat mulai melakukan pemesanan tiket secara online, dia menuliskan nama Taufik Al Mubarak pada kolom penumpang.
Akhirnya, kami sepakat untuk menghubungi pihak Air Asia. Tapi, rencana itu segera saya urungkan. Soalnya, paspor baru saya belum siap. "Nanti setelah saya ambil paspor baru kita urus masalah nama pada tiket," kata saya. Dan, pada Selasa (9/1), paspor baru saya pun siap. Nama yang tercantum di situ persis sama dengan paspor lama.
Sebelum menghubungi call center Air Asia Indonesia, saya mencoba browsing di internet untuk mencari tahu apakah pernah ada kasus seperti yang kini saya alami: yaitu soal nama yang tertera pada tiket beda dengan di paspor. Rupanya, saya tidak sendiri, karena sebelumnya banyak yang mengalami kasus seperti ini. Saya sedikit lega karena sangat yakin saya bisa mengoreksi nama pada tiket agar sesuai dengan yang tertulis pada paspor.
Saya menghubungi call center Air Asia Indonesia. Setelah menunggu lama, suara wanita terdengar dari seberang. Kalian pasti sudah tahu bagaimana sapaan basa-basi orang yang bekerja di bagian custumer service. Saya ceritakan masalah yang saya alami. Dia hanya mengatakan bahwa jika nama yang harus diganti lebih dari tiga huruf, bagian call center tidak punya wewenang. Wanita itu menyarankan saya agar datang langsung ke kantor penjualan Air Asia. Kalau di Aceh, katanya, Anda bisa datang langsung ke loket Air Asia di Bandara Sultan Iskandar Muda.
Namun, sebelum saya memutuskan pergi ke Bandara, malam harinya saya lebih dulu menanyakan soal pergantian nama di tiket ini melalui akun Twitter resmi Air Asia untuk dukungan pelanggan, @AirAsiaSupport.
"Hi, how do I change the name on the ticket to match the name on the passport? Thanks @AirAsiaSupport". Jangan kalian pikir saya menulis langsung kata-kata itu di timeline-nya AirAsiaSupport, karena untuk urusan ini saya dibantu secara penuh oleh Google Translate.
Beberapa menit berselang (saya tidak menghitung pasti), pihak Air Asia pun merespon kicauan saya di timeline mereka. "Hi There, may we have the booking number and screenshot of the passport copy for correction. -Prabu".
Saya tidak langsung menuruti permintaan mereka. Soal beginian saya pasti tidak akan gegabah menulis nomor booking ticket dan screenshot paspor saya. Saya paham risikonya. "Is it safe to let me know the booking code and post a passport screenshot through this timeline?"
Lalu, dibalas lagi, "Kindly share the booking number and passport copy through DM. Thanks-Sha." Karena balasan ini saya terima sudah larut malam, saya pun tidak meresponnya lagi. Lagi pula saya sudah ngantuk sekali, dan ingin cepat-cepat tidur.
Kamis (11/1/2018) siang, saya dan seorang teman berangkat ke bandara seperti saran custumer service Air Asia. Saya bawa semua berkas untuk berjaga-jaga seperti akte kelahiran, ijazah, paspor dan KTP. Di bandara, saya langsung menuju loket Air Asia, dan saya sempat melihat gantungan tulisan "Close".
Di depan loket sedikit sepi. Lalu, saya mengintip dari kaca. Ada dua petugas di sana, satu cewek dan satu cowok. Kami pun masuk ke dalam. Saya ceritakan masalah yang saya hadapi, dan petugas cowok pun mengambil selembar kertas dan mulai menggandakannya di mesin printer yang juga berfungsi untuk fotocopy.
Untuk mengubah nama, dia menunjuk pada kertas yang dipegangnya dan disodorkan ke hadapan kami, kami harus mengisi form tersebut. "Form ini bisa kalian isi melalui Hp dengan mengakses link e-form," kata dia. "Jadi, nama di tiket tidak bisa diubah di sini?" tanya teman saya yang duduk di sebelah kanan saya. "Sekarang tidak bisa lagi, karena dulu ada masalah," sambungnya. Saya mulai ragu. Harapan untuk mengubah nama di loket bandara sedikit memudar.
Saya sampaikan ke mereka, bahwa sebelum ke bandara, saya sudah melaporkan masalah ini melalui akun Twitter AirAsiaSupport di mana saya diminta mengisi kode booking dan melampirkan screeshot paspor. "Oh ya, selain mengisi form kalian juga bisa menggganti nama melalui akun Air Asia support di Twitter," timbal petugas cowok itu.
Keluar dari loket itu, saya sempat berbisik pada kawan. "Kalau tahu begini, ngapain juga kita jauh-jauh ke bandara." Sang kawan pun ikut mengiyakan. "Iya, mending kita isi di warung kopi saja," jawabny. Lalu, kami menuju warung kopi Chek Yuke yang berada di samping areal parkir. Saya memesan teh botol, sementara teman saya memesan kopi.
Lalu, saya buka handphone dan melihat kembali balasan dari akun Twitter @AirAsiaSupport. Saya merespon dengan mengirim pesan langsung (Direct Message, DM) ke akun Twitter AirAsia dan melampirkan apa yang mereka minta seperti screenshot e-tiket yang ada kode booking-nya, plus screenshot paspor. Lalu, saya balas kicauan di timeline, "Please check DM."
Tak lama kemudian, mereka meresponnya. "Sure Taufik, we've corrected it now and recent the updated itinerary. Thanks. -Floi." Kami pun menunggu balasan dan pengiriman e-tiket baru melalui email. Benar saja, yang ternyata prosesnya benar-benar cepat. Sebuah email berikut e-tiket baru masuk ke email teman saya selaku pihak yang memesan tiket. Saya melihat di kolom penumpang, nama saya sudah menjadi Taufik (dan diulang dua kali). Ya, untuk nama yang hanya satu suku kata, penulisannya memang diulang dua kali.
Problem solved! Secara sadar saya memberi apresiasi untuk AirAsia yang belum responsif. “Thanks for fast response.”
Seminggu kemudian saya dan Riadi terbang ke Kuala Lumpur melalui Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang, Banda Aceh. Seorang teman traveling kami, Nabil, terbang melalui bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta. Kami sudah janjian untuk bertemu di bandara KLIA2. Setelah semalam di Malaysia, kami pun berangkat ke Siem Reap di Kamboja, destinasi pertama yang kami kunjungi. Saya begitu menikmati terbang Bahagia Bersama AirAsia.
**
Pertama kali saya terbang bersama Air Asia terjadi pada Juli tahun 2009. Saat itu, saya berangkat sendirian ke Kuala Lumpur. Saya tidak ingat persis apakah memesan tiket secara online melalui website Air Asia atau via travel agent di Banda Aceh. Saya juga lupa apakah tiket itu saya beli untuk sekali jalan atau PP. Soalnya, saya tidak menyiapkan rencana perjalanan secara detail seperti yang kami lakukan ketika traveling ke Kamboja dan Vietnam pada 2018 lalu. Kalau tidak salah, waktu saya hanya ingin mengunjungi Singapora, karena teman saya yang kuliah di UKM Malaysia juga mengaku belum pernah menyeberang ke Singapura.
Tapi, saya lebih menikmati penerbangan pada 2018 dibandingkan tahun 2009 itu. Ini, misalnya, terlihat dari koleksi foto yang saya rekam selama penerbangan. Foto-foto di atas pesawat selama penerbangan pada tahun 2009 itu nyaris tidak ada. Sementara pada penerbangan tahun 2018, saya banyak sekali mengambil foto dari dalam pesawat, termasuk ketika terbang ke Siem Reap, Kamboja. Dalam hal check-in pun berbeda. Dulu, proses check-in-nya saya lakukan secara manual, sementara sekarang bisa secara online maupun melalui mesin check-in khusus yang ditempatkan di bandara (self check-in).
Satu lagi yang membuat penerbangan low cost AirAsia dulu dan sekarang berbeda adalah, saya tidak pernah memesan makanan di dalam pesawat, kecuali yang dijatahkan secara gratis. Namun, dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Siem Reap atau dari Ho Chi Minh ke Kuala Lumpur, saya selalu memesan makanan. Sebagai informasi, selama dalam penerbangan tersebut (dari KL ke Siem Reap atau dari Ho Chi Minh ke KL), kita bisa mengakses internet gratis: cuma buat memesan makanan atau membeli barang.
Akses internet gratis itu saya manfaatkan untuk memeriksa menu makanan di Santan, salah satu produk Air Asia. Bagi kalian yang doyan makan, saat pertama kali melihat menu makanan di Santan, pasti segera kepincut. Soalnya, gambar makanannya benar-benar bikin lapar. Menu favorit saya adalah Nasi Lemak Pak Nasser, Nasi Lemak Goreng, dan Ayam Teriaki dengan Nasi.
Jika sudah pernah memesan makanan di dalam pesawat Air Asia, maka kalian akan ‘dikutuk’ untuk memesan kembali makanan dalam penerbangan Air Asia selanjutnya. Setidaknya begitulah cara kalian menikmati penerbangan bahagia bersama AirAsia.[]
Posted from my blog with SteemPress: Baca juga di https://acehpungo.com/nyaris-gagal-terbang-lalu-berujung-bahagia-bersama-airasia/
Yang penting sudah berhasil berangkat.
Lomba lom sang.