Unconditional Love. Does it exist?. Cinta kasih suci bunda, apakah cuma ilusi?.
Terus terang , tulisan ini saya buat sebagai pengalokasian energi saya.
Sebenarnya ada 2 vlog yang saya sedang ada dalam tahap editing.
Jadi, sembari saya melawan simptom dari keadaan mental saya yang membuat susah untuk fokus (ADHD),
saya ber-prokrastinasi dengan mencoba untuk 'berkarya'.
Sebelum tahu kalau dia juga mempunyai website sendiri, saya melihat username amrazing itu dulu dari jaman awal twitter muncul.
Sebagai seorang astrology enthusiast, sebenarnya saya senang melihat ada orang yang mem-promote Astrology meski isinya, jatohnya adalah generalisasi satu dari sekian BUANYAK komponen di pembelajaran Astrology yang sesungguhnya.
Dan pembahasan zodiaknya, menurut saya, walau cuma satu komponen saja (sun sign), tidak nyeleneh dan ngasal.
Tapi tulisan ini bukan untuk membahas itu.
Tapi, untuk membahas postingan di website -nya ko Alex :
Postingannya berjudul 'Unconditional Love'.
Link :
http://amrazing.com/unconditional-love/
Ya, selain repost ttg zodiak, feed instastory saya juga dihiasi oleh screen shots postingan dari website dia.
Seperti postingan tentang zodiaknya, tulisan ini pun rentan untuk membuat orang.....
terenyuh....
Dari awal saja lebih baik saya bilang kalau disini saya akan mencoba untuk membahas apa itu unconditional love sebenarnya secara apa yang saya tau. dengan mungkin menyematkan unsur psikologi, biologi dan penghayatan saya.
Had it been 10 years ago, I would've felt the same way for reading that post.
Saya mengerti maksud dari penulis yang intinya ingin menyampaikan bahwa akhirnya dia percaya akan adanya cinta yang tak bersyarat.
Alasan (tadinya) dia tidak percaya tidak adanya unconditional love , secara kasar, saya simpulkan didasari oleh hubungan dia dengan ibunya.
Singkatnya, saya rangkum, bahkan seorang ibu pun mempunyai demand ke anaknya.
Tapi pendapat dia berubah setelah dia melihat hubungan ibunya dengan suami barunya; ayah tirinya.
Dengan bekal paparan film - film yang hendak menyematkan unsur psikologis, dan juga pelatihan pada cara berpikir saya selama di bangku kuliah Psikologi,
Walau pun 10 tahun lalu saya terenyuh setelah membaca tulisan seperti itu, tapi saya akan tetap percaya bahwa tidak adanya unconditional love.
Mungkin memang ada, tapi mungkin pengertiannya tidak sama seperti versi kebanyakan orang.
Versi yang diagung- agungkan sedemikian rupa. Mungkin karena awamnya akan pandangan ilmiah pd konsep cinta tak bersyarat.
Bukan karena orang tua yang menuntut anaknya macam - macam,
tapi karena adanya faktor yang lebih psikologis dan biologis;
lebih primitive.
Bukan niat saya untuk menggelapkan rasa renyuh atau terlena siapa pun,
tapi menurut saya, seindah apa pun ilham, pencerahan dan pandangan seseorang, baiknya agar kita untuk tahu dasar ilmiah dari segala hal.
Atau setidaknya mempuyai kerangka berpikir yang senantiasa berusaha untuk melihat sesuatu dari segi objektif dan ilmiah.
Tapi manusia pun, secara ilmiah tergolong sebagai mahluk yang tindakannya, bahakan proses yang terjadi di ranah mentalnya pun terpengaruh dari dorongan tidak sadar (subconscious).
Dan alam bawah sadarnya pun tergerak dari dorongan biologis primitif kita.
Love/cinta itu juga sebenarnya perwujudan dorongan biologis primitif kita.
Semua bentuk 'cinta'.
Okelah, kalau antara orang tua - anak dan pasangan itu, umumnya , sudah jelas dan umumnya ada secara alami.
Tapi, bagaimana dengan 'cinta' dengan pasangan atau bahkan teman dan hubungan lain yang kesannya secara awam tidak terkait dengan dorongan biologis?.
Benang merahnya adalah, kepentingan survival.
Jika ditelusuri, atau dibandingkannya manusia dengan hewan lain atau BAHKAN jika dipikirkan dengan menggunakan common sense (logika awam), keberadaan DAN keselamatan keturunan dan teman kita mempunyai dampak yang relatif positif terhadap diri kita.
Keberadaan kita.
Jika mereka survive, selamat dan bahagia, berarti makin tinggi tingkat keselamatan diri kita pula.
Namun bagaimana wujud 'cinta' hingga rela berkorban, hingga kehilangan nyawa-nya?.
Apa itu termasuk survival?.
Jawaban saya adalah, ya, dengan adanya keturunan, kandung atau pun tidak, kita tetap bisa 'hidup' melalui jejak biologis yang ada pada keturunan kita (kemiripan muka, dll).
Hal serupa, walau tidak sama juga berlaku pada rela berkorban untuk orang - orang yang tidak mempunyai banyak kesamaan DNA dengan kita, namun lewat berupa memori dan cerita tentang tanda keberadaan kita selama kita hidup.
Benang merahnya, lagi - lagi, survival.
Walau tidak secara langsung.
A. ASAL DORONGAN YANG IRRATIONAL
Menurut pengalaman saya, perbincangan yang menyematkan unsur ilmiah di topik yang...........
sakral seperti ini, biasanya memancing tanggapan berupa negasi dan oposisi yang emosional terutama dari kalangan relijius dan konservatif.
Bagi teman - teman dan golongan pembaca lainnya yang tidak rela saya panggil teman, yang tidak meyakini karena ingin being open minded
atau pun yang wajib menolak keras teori evolusi hingga menjadikan itu dasar untuk menolaknya opini saya,
Saya ingin sampaikan bahwa tidak perlu untuk percaya pada teori evolusi untuk mengakui adanya basis primitif dari segala bentuk perilaku dan hasrat manusia.
Termasuk yang dinamakan 'cinta'.
Ditemukan bahwa mahluk hidup di bumi ini mewariskan informasi ke keturunan berikutnya.
Yang menonjol dari studi ini adalah trauma dan/atau fobia terhadap hal serupa yang dipunyai generasi sebelumnya.
Link :
Again, kalau tidak mau dan tidak bisa percaya teori evolusi, akuilah penemuan studi ini.
Saya amat sarankan untuk menonton konten dari link yang saya sematkan.
Tapi kalau tidak sempat, tidak bisa, karena kendala kuota atau pun bahasa,
singkatnya, rasa takut yang diturunkan akan tetap muncul walau si pewaris informasi lewa DNA itu tidak pernah sebelumnya mengalami trauma atau bahkan terpapar sekalipun pada stimulus yang menyebabkan ketakutan pada yang menurunkan rasa takut yang irasional itu.
Sedikit intermezzo, rasa takut adalah cara tubuh kita 'memberi tau' kepada kita akan adanya stimulus yang berpotensi buruk pada,......
keselamatan kita.
Membuat tubuh kita alert.
Seperti insting - insting lainnya, rasa takut akan lebih make sense kalau ditelusuri keadaan jaman dahulu;
Idealnya, segala rasa dan sensasi saat kita takut membuat kita siap untuk mengambil tindakan (melawan atau kabur/_fight or flight).
Tapi jika diterapkan pada jaman sekarang, rasa takut justru bisa berakibat fatal dan debilitating.
Tidak jarang rasa takut digunakan dalam konten puitis motivasi sebagai hal yang harus dilawan.
Setidaknya boleh saya asumsikan bahwa; rasa takut adalah satu dari sekian insting - insting dan dorongan yang diwarisi secara turun temurun lewat DNA untuk tujuan keselamatan.
Cuma saja, beberapa dari insting yang turun, malah berdampak relatif negatif kepada yang mewarisinya.
Hal irasional yang ada dari 'sananya'.
Kalau tadi yang ditelusuri adalah asal usul muncul dan gunanya insting rasa takut, sekarang saya akan coba menjelaskan asal dari insting untuk 'mencintai'.
Dan apakah memang tidak pamrih?.
Mari, sekali lagi, menelusuri keadaan dan peradaban manusia yang berbeda pada jaman dahulu, bahkan pada purbakala.
Ada saat pada jaman dahulu dimana ikatan suatu individu dengan individu atau dengan kelompoknya, sangat penting dan mungkin adalah satu - satunya cara untuk menjamin keselamatan manusia pada saat itu.
Dengan berkelompok dan makin banyak anggotanya, manusia akan punya kesempatan untuk selamat.
Selamat dari mahluk yang berbahaya, kelompok manusia lain dan keuntungan lain yang didapat jika berkelompok dan berbagi tugas.
Hingga jaman sekarang pun dapat dilihat keuntung manusia berkelompok.
Contohnya dalam menyelesaikan tugas sehari - hari atau pun pekerjaan.
Informasi itu tetap diturunkan dan setidaknya saat dibuatnya tulisan ini masih ada, meski pun manusia telah menemukan cara untuk menjaga keselamatannya dan tetap hidup tanpa harus adanya ikatan dengan individu atau kelompok,
Keselamatan secara langsung, yakni, dimana dia tetap hidup,
atau pun keselamatan lewat diwariskannya tanda pernah adanya individual tersebut lewat jejak DNA yang muncul sebagai kemiripan karakteristik fisik atau pun lewat memori dan cerita dari orang yang pernah mengenal dia.
Better familial or even platonic bonds means higher chance of survival.
Hubungannya dengan fenomena cinta tanpa pamrih atau tanpa syarat adalah, jika memang seseorang terlihat mencintai dengan tulus dan tidak meminta imbalan apapun, setidaknya dia mendapatkan kepuasan yang diberikan oleh sisi mental individu tersebut yang sangat basis dan primitif.
Kasarnya, sisa dari insting survival.
Sangat alami untuk mempunyai pertanyaan, jika keadaan sudah berbeda, mengapa masih ada dorongan untuk membuat ikatan; mencintai sampai bahkan terkesan tanpa pamrih?.
Ada pun beberapa fenomena yang ingin saya sampaikan disini,
Yang semoga bisa membantu saya untuk menggambarkan dorongan/hasrat untuk mencintai sebagai perwujudan dari insting alami yang punya basis biologis dan muncul sebagai respon ke keadaan di lingkungannya.
a. Child-free Movement
Dimana dilakukannya gerakan untuk tidak berusaha bahkan mencegah untuk membuat keturunan.
Dan diakuinya bahwa, walau sang orangtua mencintai anaknya, mereka menyesali keputusan mereka untuk mempunyai keturunan.
https://rationalwiki.org/wiki/Childfree_movement
https://www.huffingtonpost.com/faith-popcorn/childfree-by-choice_b_5658465.html
b. Baby Blues
Versi ringan dari Postpartum depression
c. Postpartum Depression
"You might experience feelings of anxiety, sadness (crying a lot), depression, irritability, guilt, lack of interest in the baby, changes in eating and sleeping habits, trouble concentrating, thoughts of hopelessness and sometimes even thoughts of harming the baby or yourself, rumination, obsessions, loss of interest in usual activities, feeling worthless, incompetent or inadequate to cope with your baby, fatigue and/or excessive worry about the baby's health."
d. Penelantaran anak
Bisa di Google sendiri.
Fenomena - fenomena nomor a dan d, tentu bisa diargumentasikan bawha terjadi setelah pertimbangan 'sadar' seseorang.
Namun, harus saya sampaikan disini, se-'sadar' apa pun, kesannya, perilaku dan hasil pemikiran seseorang, tidak lepas dari pengaruh alam bawah sadar yang adalah apa - apa yang telah sampaikan.
Asumsi saya adalah fenomena - fenomena tadi adalah perwujudan dari disonansi antara insting primitif yang diwarisi dengan situasi dimana individu itu berada.
Apakah dengan adanya keturunan menjamin survival? atau bahkan membahayakan?.
Saya mengerti betul bahwa informasi seperti ini lebih cenderung membuat orang terguncang daripada terenyuh.
Saya mengerti membayangkan kalau orang tercinta, terutama orangtua dan anak kita adalah mahluk hidup yang mempunyai agenda biologis terhadap kita adalah pikiran yang bisa bikin..... nyesek?.
Tidak ada salahnya untuk bersyukur, tersentuh atau pun terlena karena hal seperti tulisan yang menginspirasi dibuatnya tulisan saya ini.
Justru dengan juga kita mempunyai pengetahuan dasar yang sudah saya coba untuk sampaikan di tulisan ini, hendaknya kita bersyukur kalau memang kita mempunyai hubungan dimana terasa adanya cinta tak bersyarat itu.
Entah sebagai pemberi atau pun penerima.
Dibalas atau pun tidak.
Bersyukur karena diberkahi struktur otak dan komponen biologis lain yang membolehkan kita untuk memberi dan menerima cinta itu.
Bersyukur yang distertai dengan kesadaran yang lebih dan mental yang lebih objektif dan kritis.
Selagi kita membahas fenomena yang diagung - agungkan ini secara ilmiah,
Cinta itu 'datangnya' dari otak.
Who's to say, kalau berbedanya bentuk fisikal otak sejak lahirnya individu tersebut atau lewat kejadian yang merubah strukturnya, apakah dia akan tetap bisa memunculkan unconditional love?.
Akan berbeda atau pun tidak bisa sama sekali?.
Who's to say, bahkan cinta kasih bunda yang tiada tara terhadap keturunannya tetap ada terlepas struktur otak yang tidak membolehkan itu untuk terjadi?.
Dengan penjabaran dan pembongkaran yang saya lakukan tentang fenomena yang sangat familiar ini (unconditional love) secara ilmiah,
mudah - mudahan bisa mengingatkan mental kritis atau mungkin menjadi katalis untuk teman - teman pembaca agar mempunyai setidaknya ada usaha 'sadar' untuk melihat segala sesuatu secara ilmiah.
Sedikit keluar topik, saya ingin sampaikan,
Terus terang, salah satu faktor yang membuat saya gerah dan gereget hingga tergerak untuk membuat respon ini adalah concern saya terhadap kecenderungan manusia untuk memistifikasi/mengagung - agungkan atau bahkan mencemooh, menghina, dan membenci hal - hal yang mereka tidak mengerti.
Dan tidak adanya menelusuri mengapa mereka bisa mempunyai predisposisi atau merasakan hal yang mereka rasakan terhadap hal yang mereka tidak mengerti.
Sebagai individu yang mempunyai ADHD, tergolong minoritas dan mempunyai atribut - atribut lain; membuat saya tau rasanya di posisi yang disalahmengertikan.
Mulai dari pandangan dan perlakuan yang simpatik walau unnecessary; atau pun yang negatif dan abusive.
Dengan sadarnya saya kalau perilaku diskriminatif itu adalah perwujudan dari insting yang diwarisi turun temurun...
dan, ya, sebenarnya, untuk kepentingan keselamatan (awalnya).
Tapi jika diterapkan ke peradaban dan keadaan kita sebagai kolektif, akan termanifestasi sebagai perilaku yang 'jahat'
SARA.
So, bagi teman - teman yang mengaku progressive dan sudah berevolusi sebagai spesies, apa perlu insting yang jahat itu diindahkan?
Dan bagi teman - teman yang dengan kepercayaannya melihat manusia sebagai mahluk yang berbeda karena punya akal budi, apakah teman - teman hendak mendiskriminasi orang atau kelompok yang tidak bersalah dan perbedaan yang mereka punya tidak menyakiti siapa pun?.
Apa mau menuruti insting primitif seperti layaknya binatang biadab yang sedang menuruti hasrat biologis-nya semata?.
I wish I knew your language. Is spite of this, I do know there is unconditional love. Personally, I know a dude who is with a "hoe" and remains with that "hoe" no matter how "low" she goes.
I wish you did too. I try to explain how I see unconditional love both psychologically and biologically.
And believe me, that dude, no matter how crazy it seems, still has something to gain.
If anything, he satisfies one of the most primitive sides of his mind by staying in that relationship.
Some people are 'trained' to subconsciously be attracted to what you call "hoes".
I usually call them toxic people.
Thanks. I don't think my dude is toxic, at least he isn't towards me. In fact, it is because of him that I do what I do. I wouldn't be here writing if it weren't for his tireless efforts and constant inspiration to me and our tribe. I am not really a "hoe" in the truest sense of the word. As a nympho, I do have his permission to do what I wish sexually, but have not acted upon it. Is it because I respect him for respecting me? Maybe so. Thanks for the convo, friend. <3
Kami sudah upvote ya.. :) (Segelintir kontribusi kami sebagai witness untuk komunitas Steemit bahasa Indonesia.)
Terimakasih :).