Pulang dan Hujan
(sumber gambar: pxhere.com)
Perjalanan. Masih tentang perjalanan yang lebih banyak mengaduk diam. Hanya kekata saja yang sedemikian panjang menarasikan. Syukurlah, aku masih punya... Selain itu apa lagi?
Kemerdekaanku perlahan dirampas, ditelanjangi. Aku tidak boleh melawan, karena melawan adalah ketidakpatuhan yang hanya akan mengahasilkan perpecahan. Siap-siap saja menerima obrolan singkat tentangku, sepercik ketololan akan manjadi masalah besar bagi sebuah pertolongan. Silahkan, aku sudah selesai dengan itu.
hujan.
Gedong Kuning.
motor dan emperan toko.
seromantis roman, kuharap.
sayang.
duduk lesu. buku.
semua hanyut;
genangan nanti akan surut jua.
hanyut akan bersengut
denyut menyangkut sadar
dasar yang cemas cemarut.
Diam. Aku teringat kabar studiku. Ini untuk kesekian kalinya aku harus mengumpat bahwa sahabat tidak pernah mau mengerti tentang itu, mengapa? Entahlah, mungkin karena sahabat menawarkan sesuatu yang katanya lebih dari sekedar duduk di bangku kelas. Semoga saja.
Aku telah menjalani getir dan getarnya diam, tapi orang-orang itu tetap tidak peduli. Diam; seperti sebuah puisi kosong. Seharunya kau dan hatimu harus lebih dari sekedar tahu, melainkan harus dari sekedar mengerti. Prosa-prosa lahir tanpa proses panjang. Hanya kadang dalam perjalanan kita ditendang, lalu mengumpat dalam hati dengan sangat hati-hati; jadilah prosa.
Teriak? Itu hanya sebuah hal yang rugi, bukan. Aku telah terjerat dari segala sisi. Aku ingat dengan hujan di bulan Februari beberapa bulan yang lalu. Air mata belum terhapus, tapi hura mengajakku dalam hujan dan air mata lagi. Apalah gunanya puisi atau prosa ini, sekiranya banyak bait yang tak dimengerti.
Sayang. Aku ingin mengecup mata kirimu saat mata kananmu ragu, lalu mata kananmu saat bibirmu haru, lalu bibirmu saat hatimu gusar, lalu gusarmu saat tanganmu peluk. Semoga kau masih sempat sekolah, tapi tidak setolol abangmu ini. Hilang diperdaya waktu, lenyap diperdaya bayang, lumpuh diperdaya orang. Kalau kau tak cukup berani meludahi raja, sudahlah jangan menolong raja. Apa bedanya kau dengan budak?
Adikku sayang. Sekiranya nanti kau melangkah kaki ke kota, paksakan sepi yang tak kentara merangkap jilid mimpi dan batas baca nyatamu. Karena dengan begitu kau telah siap dengan segala sepi yang percuma mereka ciptakan itu.
Jadilah sampan yang memiliki dayung sendiri, sayang. Karena dengan begitu kau bisa melebar layar pada laut yang mana yang paling ganas, pada maut mana yang naas. Jangan seperti aku, tolong jangan seperti aku, memiliki sampan yang tak siap tubuh meggayung, akhirnya aku hanya menjadi pemilik yang penumpang saja. Jangan mengasihani raja, sayangku. Sebelum kau telah merasa cukup mampu meludahinya.
Apa? Puisi yang kukarang terlalu garag? Tidak, itu bukan puisiku lagi. Itu dia yang pada saat itu memasukiku sebentar, lalu aku dilumat gelombang kecil, karam. Yang tersisa di bawah samudra penyesalan adalah aku, punya setungkus buku, segenggam pena dan sebotol anggur. Aku tetap menulis di dasar sana, pun jika masih belum disita semuanya dariku. Lalu saatnya tiba, aku cerai dengan tulisan yang sewaktu lalu kuapungkan melalui botol sisa durja itu.
Setelah sekian waktu engkau baru mengerti, bahwa sebotol anggur telah merasuk aku. Aku tidak meneguknya, tidak mencium baunya, tapi aku yang mencekik lehernya. Tidak usah kau terkejut, inilah pebudakan raja dengan raja; yang ditahtakan sebagai jamuan.
Dik, semoga kau mengerti dengan prosa ini. Dari waktu. Cerai buku. Semoga jadi. Jadi untukmu harap dariku. Oh.
Yi Lawe
Yogyakarta, 2017.