Farmer Blues
/Teringat sawahku
(I)
Aku hanya seorang petani, kataku pada pria tambun
yang hendak meminang sawah dengan wajah tak ramah.
Dan aku hidup menghidupi dengan tanah yang kugarap
dengan butiran keringat tak terhingga, air mata dan cinta.
Lalu apa hakmu untuk menyingkirkan kehidupan
yang kujalani secara turun temurun. Bukankah seperti
butiran gandum yang dihasilkan petani benua mana
sama ada harganya, seperti kau lihat buliran padi
yang merunduk dalam aura keemasan di rembang petang.
(II)
Mungkin kau masa bodoh dengan kami, bagimu kami
petani bau lumpur dan tanah lembab aroma dedaunan.
Namun kami mencangkul dengan batin nanar,
saat semua orang bilang tanah air subur dan makmur.
Namun mana kesuburan itu, jika kami tak dapat apa-apa.
Hanya tanah dan airlah yang kami miliki.
Kemakmuran hanya omong kosong jika nasib kami
tak pernah berubah, tetap dililit himpitan kemiskinan.
Gemah ripah loh jinawi hanya slogan para birokrat
yang tinggal sikat, siap santap. Lalu buang hajat.
(III)
Dan kehidupan inikah yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kemerdekaan tak beda dengan zaman penjajahan.
Kami tetap sengsara dililit rodi. Kekayaan terlalu jauh
dalam hirupan peluh, campur anyir tanah yang menjelma darah.
Dan kami pertaruhkan semua; kulit legam, mata rabun, tulang ngilu,
hanya untuk tanah yang rasa-rasanya tak menghasilkan apa-apa.
Jika jerih payah kami untuk orang kota yang terlalu sibuk
membangun pemukiman, cerobong limbah. Lalu di mana sawah
berdiam dalam damai, tanpa diusik sesiapa yang ingin menjadikannya
bangkai kerontang. Hanya lapangan golf yang begitu subur dan makmur
dalam tatanan kehijauan. Apa kita cuma bisa hidup dari lapangan golf,
yang cuma membiaskan elegan kaum berkantung tebal.
(IV)
Aku hanya seorang petani, kataku pada pria tambun
yang mendengus seperti banteng mabuk siap menyeruduk
dengan tanduk kesewenangan. Namun bukan berarti aku pasrah.
Maka, dor! Dor! Dor! Seperti Rambo atau Django,
kulumuri tubuhnya dengan rentetan pemberontakan.
Namun inilah perjuangan, darah sesiapa yang harus tumpah.
Bandung, 22 Agustus 1999
Sebuah potret hidup yang coba dilukiskan dalam puisi, sebuah perlawanan tanpa henti yang coba diberi alangkah seru dan memikat perlawanan lewat puisi, salam kenal dan salam kreatif buat @rohyatisofjan dariku @mghufroncholid31, Madura be enjoy in writing ok
Terima kasih, @mghufroncholid31. Saya kerap melihat potret semacam itu di kehidupan silam dan sampai sekarang. Hanya dengan puisilah perlawanan itu bisa saya berikan. Terima kasih sudah mampir dan menjalin silaturahmi di @steemit ini. Salam pula dariku yang bermukim di Garut @rohyatisofjan.
Enjoy be writer, too.
Congratulations @rohyatisofjan! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!