Dunia Memang Kelabu
Jika kau tanya bagaimana wajah kampungku kala hujan menghunjam
jantung Februari. Segalanya mendung semata, sejauh pandang
kau akan menemu batas kelabu tak terhingga.
Demikianlah hujan selalu memberi wajah lain, mewujud asing.
Dan aku mencintai hujan. Mengekalkan pertemuan kita pada belasan
Februari silam, enggan menyingkir dari ruang kenang.
Mungkin kau akan menyebutnya semacam sentimental atau kebodohan,
apa pun itu aku tahu kau tak lebih dari seorang lelaki biasa yang bisa
tersanjung; seseorang mengekalkan namamu dalam doa-doa panjang.
Aku selalu mencintai aroma hujan, kau tahu itu.
Ruap harum mengambang dari basah tanah sampai dedaunan.
Tentu berbeda atmosfernya kala kita menyusuri malam berhujan
pada suatu ketika yang telah lampau. Aku hanya bisa bersembunyi
di belakang punggungmu merasakan dekat sekaligus jarak
membentang tenang. Sungguh rasa hangat sempat kucerap
saat hujan menerpa jas hujan panjang yang menyelubung.
Kita berkendara dengan kecemasan pada lengang jalanan
yang licin dipenuhi genangan air membanjir.
Itu hanya intermezzo, barangkali.
Hujan di sini berbeda dengan kotamu yang gaduh sekaligus pengap
ditelikung zaman, kubayangkan kau mencari tempat berteduh
kala hujan terlalu tajam Mungkin kau kedinginan, wajahmu yang basah
memandang hujan sebagai peristiwa nyata: siklus cuaca.
Garut. 6 Februari 2012
Selalu punya cara menyeketsa fenomena sosial dengan tajam dalam puisi yang diketengahkan. Salam kreatif buatmu @rohyatisofyan
Terima kasih, @mghufroncholid. Puisi seakan merasuki saya untuk mendedahkan apa saja kala stimung menggelegak.