Kkumiya~
Malam tadi tidurku lebih nyenyak dari biasanya, bisa jadi disebabkan oleh panjangnya doa yang kuucap atau bisa jadi ada seseorang yang turut mendoakanku. Secara spiritual bisa jadi kemungkinan itu benar, namun kenyataannya aku kelelahan. Siang sebelumnya aku melakukan aktivitas di luar kebiasaan, bolak-balik rumah dan jalanan. Ahh perkara dunia memang selalu menyibukkan kita yang sudah sibuk maupun yang tidak.
Aku teringat mimpi semalam. Biasanya aku hanya tertidur lelap, tanpa mimpi juga air liur yang merembes keluar ntah dari mana. Tapi malam tadi sungguh luar biasa. Aku mimpi diintai oleh seorang raksasa, orangkah raksasa itu sebutannya? Ntahlah. Aku masih ketakutan jika mengingatnya.
Begitu terjaga, jam menunjukkan pukul 07:15 wib. Subuhku sudah lewat jauh, untung aku sedang off minggu ini. Aku bergegas menggali jejak mimpi semalam, sebab kata ibuku mimpi itu bukan sekedar bunga tidur. Bisa jadi itu "teguran".
Aku tidak percaya sama sekali, karena selama ini aku sangat jarang bermimpi. Dan lagi, siapapun boleh menegurku saat terjaga, jangan dalam mimpi. Mengganggu tidurku saja. Begitulah kiranya saat aku menjawab nasihat ibu. Lalu disambut dengan dua jemari ibu mendarat di pipiku. Beliau mencubitku gemas, mencoba menyadarkan agar aku tidak asal-asalan berbicara.
Kali ini mimpiku benar-benar membuatku ketakutan. Bahkan saat sadarpun suara tawa raksasa itu begitu nyata terdengar. Kucoba berbagi cerita dengan ibu malam sebelum aku dan iBu terlelap.
"hemm, bu, pernah mimpi tentang raksasa?" Tanyaku ragu-ragu.
"Tidak" Jawab ibu pelan.
"Ibu, raksasa kan gak ada yaa?" Tanyaku mencoba menghilangkan sedikit rasa takutku.
"Iya, tidak ada. Sudah tidur sana, ibu ngantuk" suara ibu semakin parau dan mengecil.
"Baik, bu" aku menarik selimut dan mencoba tidur, tapi tetap saja suara raksasa itu terus mengikutiku.
Kulihat ibu mulai terlelap, aku mengambil smartphone-ku. Katanya benda berbentuk persegi dan tipis serta nyaman digenggam ini terkenal dengan kejeniusannya, bahkan terkadang jeniusnya melampaui pemiliknya. Kontan saja aku buka google, dan mencoba bertanya pada paman yang tahu akan segalanya itu, termasuk hari kiamat. Meski tidak pernah tepat. Mungkin kiamat yang dimaksud ialah kiamat kecil.
Kuketikkan beberapa kata kunci di sana. Dan benar, ada jawabannya. Aku hampir berdecak kagum, tapi kuurungkan. Sebab jawaban satu sama lain berbeda dan bertolak belakang. "Sok tahu" kataku pelan. Kumatikan sambungan data internet, lalu kumatikan si smartphone yang kelewat smart ini. Aku terlelap.
Ada dua versi jawabannya, versi baik dan versi buruk. Jelas saja perkara percaya atau tidak itu kembali pada keyakinan masing-masing pihak. Dan untungnya aku masih memiliki hak untuk memilih "percaya atau tidak" nya itu. Versi buruknya, akan ada masalah besar yang akan segera kuhadapi. Otakku tanpa perlu dikomandokan langsung berputar dan mencari sumber masalah selama ini. "Benar, ada masalah. Kamu belum menikah" kataku pada diri sendiri, aku pun tertawa pelan seorang diri.
Lalu versi baiknya, dalam pekerjaan akan ada kemajuan atau naik pangkat. Laah, ini pun bukan berita baik, menurutku. Lha wong aku selama ini pengangguran kok, batinku. Etapi, bisa jadi aku akan segera mendapatkan pekerjaan, pikirku sekali lagi. Langsung saja batin ini meng-aamiin-kan pikiranku sendiri.
Sudahlah, itu hanya mimpi. Dan mimpi hanya bunga tidur. Mungkin bisa jadi tidurku selama ini cuma tumbuh batang edelweiss, dan malam tadilah ia baru berbunga. Maklum, edelweiss kan tidak bisa berbunga setiap saat. Ia hanya berbunga setahun sekali, dan alhamdulillah tidurku pun tidak sia-sia. Akhirnya berbunga juga. Hoho
Namun tetap saja ini seolah menjadi masalah bagi diriku sendiri, harusnya aku tidak perlu mencari tahu makna mimpi yang aku sendiri tidak percaya bahwa itu pertanda. Aku baper jadinya.
Tak perlu berlama-lama, aku langsung mengaitkan arti mimpi tersebut dengan keseharianku saat ini. Bisa jadi, mimpi (cita-cita) ku kini pun harus kusudahkan (lagi). Aku berhenti berambisi meraihnya. Memutuskan untuk bermain lagi dengan imajinasi, memutuskan untuk mencintai dunia seolah aku hidup di sini selamanya.
Beberapa tahun silam posisinya sama, aku berhenti bermimpi bercita-cita menjadi guru hanya karena sesuatu hal yang sangat sepele. Hanya karena aku marah terhadap guru yang praktek di sekolahku, lalu aku merajuk dan takut mendapat karma serupa. Begitu kata temanku.
"Kau, katamu cita-citamu mau jadi guru. Tapi kek gitu kelakuanmu sama miss A (sebutan guru praktik di sekolah kami yang kebetulan mengajar bahasa inggris). Gak takut kau nanti kalo kau masuk ke kampus dia, kau bakal dipelonco habis-habisan. Dan kalo kau praktek nanti, kau akan bernasib sama kek dia. Mau kau?"
Sejak saat itu, aku menghapus semua mimpiku tentang menjadi seorang guru. Cita-cita yang aku mimpikan sejak aku masih duduk di sekolah dasar. Lalu pada saat umurku 17 tahun, aku menyerah. Ck, 12 tahun mimpi itu aku elu-elu kan di depan teman-temanku, tapi musnah hanya karena hal sekecil itu. Pencundang!
Aku banting stir tajam, dunia perkuliahan sudah di depan mata. Beberapa jurusan yang aku anggap menarik mulai aku list di kepala. Mulai dari Psikologi, Hukum, hingga Jurnalistik.
Kumulai lagi dari awal, mulai dari cuci kaki, muka dan tangan, menuju tempat tidur lalu tarik selimut, dan tinggal memejamkan mata terus bermimpi. Tapi ternyata tidak semudah itu. Aku konsultasi dengan beberapa orang kepercayaan, termasuk wali kelasku dulu.
"Bu, saya mau jadi psikolog" kumulai kalimat langsung straight pada pokok masalah. Lalu satu jawaban guruku mampu menghantamku telak. Dan aku berhenti bermimpi menjadi psikolog.
"Kamu mau mengurus masalah orang lain? Sedang masalahmu sendiri saja belum bisa kamu atasi." Ucapnya lalu mengulang ucapannya 2 kali lagi. Hiks, kasihan anak orang ㅠ.ㅠ
Tiba pada saat pemilihan jurusan untuk kuliah, aku yang bermimpi menjadi pengacara memasukkan jurusan ilmu hukum sebagai dasar jalanku menuju mimpi. Lalu temanku berkata "Gak inget kau gimana hubungan kau sama guru Pendidikan Kewarga Negaraan (PKN) kita? Yakin kau bakal paham mengenai aturan hukum dan Undang-undang?"
Mataku meliriknya sebentar, lalu aku ambil tipe-x dan kuhapuskan jurusan tersebut. Aku menggantinya menjadi jurusan ikut-ikutan, dan untungnya aku tidak lewat di jurusan tersebut.
Jurnalis, penulis atau apapun itu, aku sudah lama memimpikannya. Bahkan aku memang kuliah di jurusan itu. Dan lagi-lagi karena faktor ketidak-kuatan rasa percaya diriku, aku mengubur mimpi itu di tengah jalan. Aku hanya kuliah, absen, lalu pulang. Lurus sekali. Bahkan tidak ada kenakalan atau pemberontakan apa pun, seperti saat aku sekolah. Aku penurut sekali.
Sekarang, aku siap memulainya dari nol kembali. Mengumpulkan semua yang sudah pernah kumiliki, kosa kata, ketajaman analisis, kepiawaian bicara, bahasa dan lain sebagainya. Namun lagi, sepertinya kali ini aku harus membunuhnya. Membunuh mimpi yang berkali coba kuhidupi. Ibu menginginkan aku produktif, bekerja dan menghasilkan uang. Disisa usianya yang -menurutnya, sudah tidak lama lagi, beliau ingin aku mandiri. Minimal bekerja. Jika aku menolak menikah, bekerjalah. Begitu perintah ibu. Beliau tidak ingin aku susah sendiri nantinya.
Aku harus apa? Membunuh lagi, kah? Atau bertahan sendiri dengan motivasi-motivasi yang kuucap dan kutulis seorang diri? Atau menuruti ibu dan berangkat bekerja dari jam 8 pagi hingga sore dengan gaji UMP? Atau melupakan semuanya, lalu memilih menikah dan mengabdikan diri pada orang baru yang mungkin saja-bisa jadi bukan pilihan tepat? Aku harus bagaimana? Atau aku harus tidur sedikit lebih lama agar raksasa lain datang menyelamatkanku dari kejaran raksasa sebelumnya?
Ntahlah, aku pasrah!