PERADABAN ACEH YANG LUPUT BERCERMIN
Sedianya ingin sekali memahami apa adanya peradaban Aceh, Indonesia, juga nusantara, namun semuanya terlalu luas dan membutuhkan waktu dalam mengkajinya. Tulisan ini bermaksud menyulap sesingkat mungkin perjalanan peradaban kita, sikap kita terhadap kepercayaan diri selaku bangsa yang pernah mencapai ketinggian peradaban, juga hal-hal lain yang dianggap berhubungan guna mengokohkan dan melengkapi cermin retak peradaban Aceh.
Beberapa catatan telah menguji kepercayaan kita terhadap ketinggian serta keluasan peradaban Aceh. Bagi seorang sejarawan yang asli barat maupun kebarat-baratan, mereka menilai peradaban Aceh sudah tamat. Sebagian dari para penulis sejarah ala barat yang justru kelahiran Aceh, Indonesia dan nusantara menelaah dengan taklid buta atas ilmuan-ilmuan Eropa yang dianggap penting menjadi referensi pokok mereka.
Sayangnya, kesempatan memahami khazanah peradaban Aceh yang gemilang terus saja menjadi proyek tanpa ujung, opini tanpa bukti, bahkan hutang tokoh yang dipercayakan masyarakat Aceh yang tak pernah sanggup ditunaikan. Berbagai lembaga kajian sejarah Aceh sangat tertarik menumpukkan manuskrip, file tulisan primer, foto-foto dokumentasi sejarah, dan lembar-lembar kliping maupun majalah masa silam yang terkait sebagai ilustrasi dari perjalanan pemahaman sejarah peradaban yang semestinya terus dikaji dan ditulis ulang.
Suara-suara penentu adanya keluhan atas ketidakpercayaan publik terhadap tulisan-tulisan peradaban Aceh terus bergulir hingga masa kini. Siswa dan mahasiswa Aceh kehilangan kepercayaan atas apa yang disampaikan oleh guru juga dosen mereka. Setiap versi yang terpublikasi dari sejarah Aceh masih dianggap misteri. Padahal lembaga pendidikan setingkat SMA apalagi strata satu (sarjana) merupakan harapan utama dari lulus dan lurusnya cara berpikir peradaban Aceh yang mumpuni. Tidakkah ini menjadi tanggung jawab yang mesti dibuktikan oleh para dosen dan guru.
Jangan pula kita menaruh curiga kepada bangsa lain, apalagi dengan saudara setanah air, mereka bukanlah bangsa Aceh, bukan pula penerus dan penentu ke mana Aceh mesti berjalan di masa depan. Perihal silang pendapat dan ketika seminar-seminar sejarah peradaban hanya menghasilkan kecurigaan politik sebagai kendali kepanitiaan, hal itu bisa terjadi disebabkan memang ada lampu kuning yang menyala-nyala di khalayak.
Lembaga setingkat propinsi, nasional, ataupun internasional yang berafiliasi melindungi dan memugar makna dan realitas sejarah peradaban Aceh turut menjadikan mereka berperan aktif dan tidak berseberangan dengan konsep ilmiah dan moderat. Pemahaman atas pentingnya mengenali dan serta memperkokoh peradaban melalui pengkajian terus menerus oleh para ahli dapat secara perlahan namun pasti menemukan formula yang aset dan nilainya bagi bangsa Aceh jauh lebih bermakna daripada membiarkan kebodohan dan pembodohan sejarah Aceh terus berjalan tanpa desakan yang berwibawa oleh pemerintah daerah.
Resensi-resensi terhadap buku sejarah Aceh yang pernah terbit harus kembali digalang, media mesti mafhum dan arif, para ahli literasi dan ilmuan bidang sejarah mesti diberikan tempat yang ideal dalam menggalang informasi publikasi peradaban Aceh yang benar dan terbukti.
Jangan sampai pendidikan menjadi lorong gelap yang menyesatkan bagi para lulusan, lembaga kajian sejarah juga tidak sepantasnya membiarkan tanggung jawab ini menjadi pekerjaan para peneliti di luar lembaga mereka. Perpustakaan-perpustakaan milik pemerintah maupun swasta harus duduk bersama menelaah komparasi sejarah peradaban Aceh yang sebenarnya, jangan lagi menghidangkan bacaan yang busuk dan menyesatkan, tidak sepantasnya membawa-bawa kemunduruan kajian sejarah Aceh hanya sebagai mata acara seminar seremonial tanpa hasil yang signifikan.
Selanjutnya, bahaya dari bertaburnya informasi mistis, asbun, gosip, dongeng, dan sejarah yang ditulis atas pesanan penguasa menjadi makanan siap saji yang dimakan oleh masyarakat awam dan kurang jeli. Jika dibiarkan, maka lahirlah generasi Aceh yang gamang, jauh dari nilai-nilai peradaban bangsanya, lekang dari kulit sikap bangsanya yang asli sehingga perubahan-perubahan sosial yang murni terus dihempas gelombang pergaulan antarbangsa yang kian terbuka.
Dongeng yang selama ini dianggap sejarah, mistisme yang selalu menjadi momok menguasai pikiran manusia Aceh, lembaran yang tak lengkap dari komponen hasil penelitian ilmiah, dan berbagi kecacatan peradaban sejarah kita yang selama ini hanya disahuti segelintir ahli saja sudi duduk bersama mengkaji nilai-nilai ini tidak dapat serta merta menjadi alasan yang diwariskan untuk masa depan.
Perahu Nuh yang telah mengangkut apapun yang sanggup dan mampu menjadi silsilah hancur dan kembali tumbuhnya peradaban manusia, demikianlah kiranya analogisme paham atas betapa pentingnya memugar budaya mencintai diri sendiri sebagai Aceh yang bangsawan, penguakan yang telah tertimbun dan berlumpur, pembersihan nama baik bangsa Aceh yang telah pernah dirusakkan oleh perang dan politik kekuasaan akal sehat, di sanalah kita songsong martabat peradaban Aceh.
Ilustrasi: foto milik Nelson Dino, dipotret saat Pekan Kebudayaan Aceh Barat 2016, Meulaboh.