Pendidikan Ala Sirkus
Siapa tak takjub melihat pertunjukan akrobatik yang ditampilkan hewan-hewan terlatih di sirkus? Lumba-lumba melompati ring api, gajah terampil bermain bola, singa beratraksi, dan kepiawaian hewan-hewan lainnya didapat dari hasil pembiasaan dan latihan yang luar biasa. Dalam dunia pendidikan, sistem pembiasaan ini dikenal dengan istilah behaviorism.
Pendekatan yang bersifat behaviorism fokus pada pemberian stimulus dan respon yang diberikan oleh target. Guru sebagai pemberi stimulus, dan siswa sebagai targetnya. Jika respon yang diberikan positif, maka berbagai bentuk reward akan diberikan kepada sang target, dan sebaliknya, jika respon yang diberikan negatif, maka punishment-lah yang akan diperoleh si-target. Stimulus yang diaggap sukses, akan terus diaplikasikan, namun jika stimulusnya gagal, maka akan dicarikan bentuk stimulus lainnya. Berlaku try and error pada pemberian stimulus tersebut.
Ketika sistem seperti ini yang galak diterapkan oleh sekolah-sekolah. Maka tanpa sadar, kita juga memperlakukan anak didik kita seperti ‘hewan sirkus’ yang dipaksa untuk mampu menampilkan pertunjukan terbaik menurut si-pemilik sirkus. Kita memaksa anak tidak menurut kelebihan yang mereka miliki, kita kencederung memaksa anak-anak untuk menjadi primadona dalam standarasisasi yang baku. Jika Ia sukses mengambil hati sang guru dengan nilai-nilai akademik yang memukau, maka berbagai pujian dan penghargaan akan disematkan padanya. Namun, jika Ia kalah bersaing, Ia akan menjadi pecundang dengan berbagai label negative yang diberikan oleh guru dan para temannya, baik tanpa sadar maupun dengan penuh kesadaran.
Guru Otoriter
Praktik mengajar dengan model autoritatian menurut teori Baumrind, jelas meniadakan aspek pendekatan personal dari guru kepada siswanya. Guru otoriter hanya menginginkan segala tujuan mengajarnya tercapai oleh semua siswanya, apapun ceritanya, ia akan menekan dengan kekuatannya sebagai penguasa di kelas. Ia tidak akan melihat dengan banyak ‘kacamata’ tentang keunikan yang dimiliki oleh anak didiknya.
Saat bersekolah dulu, saya dan teman-teman sekelas, memberi julukan ”guru killer” untuk tipe guru yang otoriter. Jangankan untuk mendapatkan nilai bagus pada mata pelajarannya, justru siswa lebih sering berharap agar guru tersebut tidak hadir ke sekolah. Jangankan untuk bisa paham materi yang diajarkannya, justru siswa lebih sering merasa tertekan saat Ia mengajar di kelas. Secara neurologis, situasi tidak nyaman memang benar sangat berpengaruh pada tingkat kepahaman siswa. Sehingga metode-metode mengajar kini cukup berkembang dan sangat mempertimbangkan kenyamanan para siswa.
Salah satu metode yang sangat menyenangkan adalah Quantum Teaching, yang dicetuskan oleh Bobby The Potter. Cara mengajar yang benar-benar ramah otak, menghadirkan kebahagian, dan mengedepankan teknik peningkatan kemampuan diri dan proses penyadaran akan potensi yang dimiliki oleh siswa di kelas. Sementara guru hanya berperan sebagai fasilitator bagi siswa. Guru bukan pusat pengetahuan bagi siswa, melainkan menjadi pembimbing siswa dalam menemukan metode paling efektif yang bisa digunakannya dalam memahami setiap materi yang diajarkan.
No Body Left Behind
Pendidikan yang layak adalah hak setiap warga Negara Indonesia, hal ini termaktub dalam kitab undang-undang dasar 1945. Dengan usia wajib sekolah 12 tahun, diharapkan seluruh anak-anak di Indonesia memiliki hak yang sama dalam mengenyam bangku pendidikan. Tak cukup sampai disini, pemerintah melalui Kementrian pendidikan dan kebudayaan juga membebaskan semua siswa dari biaya sekolah dan menunjang kebutuhan pembelajaran mereka melalui dana BOS (Bantuan Oprasional Sekolah).
Distribusi BOS yang dengan ketat telah diatur oleh Kemdikbud, bertujuan agar sekolah-sekolah dapat mengoptimalkan dana tersebut untuk kebutuhan urgent, bukan sekedar dihabiskan tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, semua sekolah dapat mengakses laporan dana BOS se-Indonesia melalui situs resmi BOS-Kemdikbud. Tujuannya tak lain adalah sebagai bukti transparansi bagi pengelolanya.
Upaya pemberian pendidikan gratis dimaksudkan juga untuk menekan angka putus sekolah anak-anak di Indonesia. Seiring dengan galaknya program yang dicanangkan pemerintah tersebut, sekolah juga harus berupaya memperbaiki kualitas pendidikan yang disajikan pada anak didiknya.
Di sisi lain, pemahaman akan keberagaman kemampuan dan potensi anak didik juga dapat membantu sekolah dan guru dalam melakukan penilaian dan evaluasi. Seperti yang dikemukakan oleh Howard Gardner dalam teorinya “Multiple Intelligences” bahwa setiap manusia memiliki kecendrungan kecerdasan yang berbeda. Sehingga sekolah sangatlah tidak layak untuk menyeragamkan penilaian bagi semua siswanya. Sebagai guru yang bijak, kita harus menghargai setiap keunikan yang dimiliki oleh siswa. Sehingga kita akan terhindar dari sikap menghakimi siswa yang mungkin kurang bisa dalam pelajaran yang kita ajar, atau mendewakan anak yang sangat cemerlang dalam bidang yang kita ajar.
Semoga dengan pemahaman yang lebih baik tentang keunikan pada anak didik, tak ada lagi sekolah ataupun pendidik yang menerapkan sekolah ala sirkus. Biarkan setiap anak mengukir prestasi dengan caranya sendiri. Cukup menjadi pendamping dan pembimbing yang baik untuk mereka. Menemani mereka menemukan kekuatan dan potensi yang mungkin belum mampu mereka gali, menjadi teman bagi mereka dalam mengarungi perubahan zaman yang begitu cepat, adala tugas yang jauh lebih mulia, daripada hanya sekedar mencekoki mereka dengan ilmu yang kita punya.
Karena jika hanya ingin mengunggulkan ilmu yang kita miliki, percayalah, Siswa kita jauh lebih suka menelusuri pengetahuan melalui berbagai media daring. Ada banyak ilmu yang bisa mereka akses yang melampaui apa yang kita miliki. Yang tak bisa mereka dapatkan dari mesin-mesin pintar adalah kelekatan, motivasi, dan kasih sayang. Maka manfaatkan hal tersebut sebagai pengikat hati antara guru dan siswa, dan bersiaplah menjadi guru abadi dalam hati anak didik kita.
artikel mantap
Upvote saudara
thank for the vote
Tulisan yang sangat bagus walaupun saya belum baca
kiban dulu apa Rio nyoe??? ;)