YUK MENGENAL SEKOLAH RAMAH ANAK!
Dear Steemian Indonesia,
Telah kita fahami bersama, pendidikan merupakan modal dasar perubahan sosial, dimana pendidikan menjadi bekal yang berharga bagi anak untuk memahami, menjalani dan mengubah realitas sekitarnya kearah lebih baik kelak. Menimbang peran strategisnya, maka pendidikan pun kemudian dianggap sebagai sebuah “kewajiban/compulsory” bagi seluruh ummat manusia, yang berlaku “seumur hidup/life-long learning” dan “dapat dilaksanakan “dimanapun”, berupa pendidikan jarah jauh/distance learning, pendidikan online, maupun dirumah/homeschooling.
Meski sejumlah pendekatan layanan pendidikan baru mulai diperkenalkan, namum sekolah formal masih dianggap sebagai institusi penyedia layanan pendidikan terbaik, yang ditandai dengan ciri: konsistensi ketersediaan layanan, beragam pengetahuan yang ditawarkan, keberlanjutan pendidikan dan kemudahan aksesnya dari segi jarak dan biaya.
Sekolah, sesuai asal katanya dari bahasa Yunani “Schola” yang berarti waktu senggang, berasal dari tradisi masyarakat Yunani purba yang memanfaatkan waktu luang yang dimilikinya untuk mendatangi para filsuf untuk bertanya dan mempelajari hal-ikhwal segala sesuatunya. Seiring waktu, kegiatan ini mulai dilembagakan dan dijalankan secara sistematis dan metodik dalam kehidupan modern. Masyarakat modern yang mengubah praktek sekolah dimasa lalu yang lebih “santai” menjadi organisasi transfer pengetahuan yang lebih ketat, dengan target output terukur guna menghasilkan pekerja-pekerja terampil kebutuhan industri.
Tak ayal, perubahan drastis ini menciptakan tekanan bagi proses belajar-mengajar. Belajar menjadi proses menghapal dan menguasai kumpulan teori tanpa telaah kritis kenapa dan bagaimana; sementara mengajar tereduksi kedalam baris-baris instruksi pedagogi yang harus diikuti dan saklak. Pendidikan yang semestinya menyenangkan pun berubah kaku dan terkadang menghasilkan “kekerasan.”[1]
Praktek kekerasan yang terus-menerus dilakukan ini, justru kemudian dianggap wajar. Seorang ibu yang menjewer telinga anaknya agar mau mandi atau guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengar dianggap wajar, padahal tindakan keduanya merupakan kekerasan fisik. Demikian pula dengan “kekerasan berbungkus budaya”, misalnya, “Anak-anak di sini harus dipukul agar disiplin, karena budaya kita keras”.
Menyikapi ini, sejumlah pakar pendidikan kemudian mengajukan gagasan “Sekolah Ramah Anak” atau SRA sebagai upaya mengembalikan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pengasuhan yang mencerdaskan dan menyenangkan bagi anak.
Apa Itu Sekolah Ramah Anak?
Ada beragam pengertian dari banyak pihak yang saling menguatkan dan melengkapi. Begitupun demi kemudahan disini, saya menggunakan definisi UNICEF yang diyakini diterima secara global yaitu: “Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang menjamin pengadaan lingkungan yang aman, situasi emosi yang tentram dan terbuka terhadap perkembangan psikologis anak”.
Tentu saja definisi diatas masihlah umum dan jauh dari memadai. Sebagai pengantar untuk masuk kedalam gagasan ini, kita biasanya disodorkan pada identitas atau praktek kunci pembentuk konsep yang biasa disebut 5 Dimensi Sekolah Ramah Anak.
Dimensi pertama bermakna sekolah haruslah inklusif atau berlaku adil dalam pelayanan diantara murid laki–perempuan, cerdas–lemah, kaya–miskin, normal–cacat/berkebutuhan khusus, anak pejabat–anak buruh, dan sebagainya. Aplikasi SRA dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), bermakna semua anak harus dapat dilibatkan, meski anak memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Sekolah juga harus mengeliminasi stereotype/pernyataan yang mempromosikan diskrimasi, tanpa memandang latarbelakang sosial dan kemampuan, setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh dan berpartisipasi didalam maupun luar kelas. Sekolah melayani setiap anak untuk mewujudkan potensi yang dimiliki secara maksimal.
Dimensi kedua adalah bahwa sekolah harus mengembangkan kualitas pengajaran/teaching dan menciptakan pembelajaran efektif yang berpusat pada anak. Tujuan ini meliputi: pembangunan pembelajaran kontekstual,[2] instruksi pendidikan yang bersifat individual bagi pelajar berkebutuhan khusus, metode belajar yang demokratis (misal: melibatkan siswa dalam penentuan cara belajar maupun penataan ruang), penggunaan beragam alat dan metode pembelajaran, serta mendukung siswa untuk lebih aktif dalam proses belajar dan menemukan cara/ jawaban sendiri dalam menyelesaikan suatu persoalan.
SRA juga bermakna Sekolah Ramah Guru, dimana manajemen sekolah selalu berupaya untuk meningkatkan kapasitas, moral, dan dukungan yang berketerusan guna menjamin pengajaran yang berkualitas.
Dimensi ketiga dari sekolah ramah anak adalah sehat, aman, dan protektif; dimensi ini berhubungan dengan tingkat keamanan fasilitas/sarana sekolah, serta tingkat pengetahuan dan keterampilan warga sekolah. Dimensi ini meliputi: penyediaan sarana air bersih dan sanitasi yang sehat dan aman bagi siswa (terutama perempuan), sarana bermain yang menyehatkan (misa: sarana olahraga) dan aman (tidak mencederai dan menyebarkan penyakit), maupun pengajaran cara hidup sehat (fisik maupun moral) yang dintegrasikan kedalam kurikulum sekolah. Dimensi ini juga mensyaratkan kemampuan sekolah untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan orang tua untuk mengaplikasikan prilaku hidup sehat dirumah.
Dimensi keempat adalah sekolah harus responsif terhadap kesetaraan/keadilan gender. Sekolah mendorong guru untuk memperhatikan perlakuan yang adil diantara anak laki-laki dan perempuan, menjamin keduanya memperoleh penghargaan yang setara dan kesempatan yang sama untuk belajar dan bermain tanpa diskriminasi.
Begitupun, praktek kesetaraan gender ini haruslah selaras pula dengan budaya masyarakat dan meminimalisasi kesenjangan gender yang ada. Sejumlah kelompok sosial memiliki kekhasan dalam memperlakukan identitas seksual, namun tidak semuanya dapat digolongkan sebagai diskriminasi gender.
Dimensi Kelima adalah bahwa sekolah harus mampu memfasilitasi peran serta aktif masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan anak-anaknya, dan meninggalkan paradigma lama yang memandang keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai terpisah. Dalam regulasi pemerintah terkini, proses penyelenggaraan menggunakan pola manajemen yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), yang dalam aspek teknis edukatif dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Dimana orangtua siswa, dan masyarakat sekitar, bergabung dalam sebuah Komite Sekolah dan membantu manajemen sekolah dalam merancang dan melaksanakan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Terima kasih,
Bireuen, 11 Desember 2017
Catatan Kaki:
- Kekerasan terhadap anak didefinisikan: “semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan” (UNICEF, 2002).
- Pembelajaran kontekstual didefinisikan sebagai konsep belajar yang mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata (realitas) siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dalam kata lain, siswa bekerja dan mengalami, bukan praktek transfer pengetahuan dari guru ke siswa selama ini.
Panjang kali, tak sanggup saya baca.
He he he
YUK MENGENAL SEKOLAH RAMAH ANAK!. Banyak orang tua mengharapkan sekolah ini benar benar ada atau harus diperbanyak. Tetapi sampai sekarang saya belum menemukan sekolah yang benar benar ramah, kebanyakan hanya sebutan saja, Sekolah Ramah Anak
JANVANHOESSImplementasinya EMG susah tp di Bireuen kita mulai ke arah multilpe intelegensi yg diharapkan mampu memfasilitasi beragam kecerdasan anak yang unik
great post buk !!
Tq, tulisan sederhana tp panjang x ternyata 😀