Faisal Oddang dan Kisah Tragedi Manusia
Salah satu keunggulan cerpen ”Kapotjes dan Batu yang Terapung” karya Faisal Oddang, menurut dewan juri, berhasil menyegarkan bahasa Indonesia secara kreatif.
SUMBER: KOMPAS.ID | OLEH: ELOK DYAH MESSWATI | KOMPAS, 5 JULI 2019.
FAISAL Oddang sehari-hari berbahasa Bugis. Sampai duduk di bangku SMA, ia bahkan tak lancar menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, Jumat, 28 Juni 2019, tepat di hari ulang tahun ke-54 Kompas, cerpen karyanya dinobatkan sebagai salah satu dari dua Cerpen Terbaik Kompas 2018.
Cerpenis dan novelis asal Wajo, Sulawesi Selatan, ini mengolah bahasa Indonesia menjadi bahasa yang segar, orisinal, dan enak dinikmati. Salah satu keunggulan cerpen ”Kapotjes dan Batu yang Terapung” karya Faisal Oddang, menurut dewan juri, berhasil menyegarkan bahasa Indonesia secara kreatif. Anak yang gagu berbahasa Indonesia itu dianggap memiliki kekuatan dalam membangun bahasa Indonesia yang khas dan kaya ungkapan orisinal.
Cerpen karya Oddang akhirnya berdampingan dengan ”Aroma Doa Bilal Jawad” karya Raudal Tanjung Banua menjadi cerpen terbaik yang dimuat Kompas sepanjang tahun 2018. Keduanya berhak atas piala istimewa yang digarap oleh maestro perupa Nyoman Nuarta.
Lebih istimewa lagi, ini merupakan kemenangannya yang kedua di ajang yang sama. Tahun 2014, Oddang memenangi penghargaan serupa. Bahkan, cerpen ”Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon”, adalah cerpen pertama karya Faisal Oddang yang dimuat Kompas Minggu. Sejak itu, prestasinya kian melejit dan pintu kesempatan makin terbuka lebar baginya. Pada tahun yang sama, Oddang juga memperoleh penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dari Pemerintah Thailand.
Dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014, karya Oddang yang berjudul ”Puya ke Puya” menjadi pemenang ke-4 dan karya itu pun terpilih sebagai novel terbaik oleh majalah Tempo pada 2015. Faisal Oddang juga memperoleh penghargaan sebagai Tokoh Seni Tempo 2015 di bidang prosa.
Sebelum lulus kuliah 2017, Oddang berkesempatan mengikuti residensi penulis di Belanda tahun 2016 dengan dukungan Komite Buku Nasional. Ia juga mendapatkan undangan untuk mengikuti International Writing Program 2018 di Iowa, Amerika Serikat. Masih tahun 2018, dia mendapatkan Robert Bosch Stiftung and Literarisches Colloquium Berlin Grants.
Sebagai pembaca
Semua prestasi dan pencapaiannya itu tak pernah terbayangkan. Menurut Oddang, jauh lebih awal, dia menemukan dirinya justru sebagai pembaca karya-karya sastra. ”Tante saya, Ibu Giang, yang bekerja di Perpustakaan SMP di Wajo, biasa membawa pulang buku-buku sastra. Saya titip ke beliau untuk dibawakan buku-buku sastra untuk saya baca, seperti buku-buku Angkatan Balai Pustaka, Marah Rusli, dan Tulis Sutan Sati,” kata Oddang di sela-sela Malam Jamuan Cerpen Kompas 2018 di Bentara Budaya Jakarta.
Oddang suka membaca buku-buku sastra sejak usia SD dan SMP. ”Karena kami tinggal di kampung, tidak ada alternatif hiburan, lampu padam dengan cepat, tidak ada aktivitas, maka buku-buku itu menjadi alternatif bagi saya,” katanya.
Ia menyukai cerita karena ayahnya selalu mendongeng untuk menidurkannya. ”Saya pikir semua penulis berangkat dari situ,” ucapnya.
Setelah duduk di bangku SMA Negeri 1 Majauleng (sekarang SMA Negeri 2 Wajo), Oddang agak jauh dengan buku-buku. Di masa SMA itu ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang dia ikuti, seperti basket, futsal, dan sepak bola. ”Saya bayangkan diri menjadi atlet, ternyata tidak. Saat kelas XII saya jarang ikut ekstrakurikuler karena siapkan diri mengikuti ujian akhir SMA. Saya mulai menulis cerpen dan puisi-puisi pendek,” katanya mengenang.
Cerpen karya Oddang pertama kali dimuat di koran lokal Harian Fajar pada 12 Februari 2012. Cerpen itu berkisah tentang cinta remaja dan dimuat menjelang Hari Valentine yang dirayakan pada 14 Februari. ”Saya senang cerpen saya dimuat, padahal kalau saya baca ulang, tidak bagus bagus amat, ha-ha-ha…,” katanya.
Sejak saat itu, dunia menulis menjadi terasa menyenangkan bagi Oddang. ”Banyak orang memuji, mengapresiasi, karena saya anak SMA. Orang-orang tua juga tidak tega mengkritik karena akan mematahkan semangat saya, makanya mereka memuji. Padahal, menurut saya, cerpen pertama saya itu buruk,” ujarnya kembali tergelak.
Karena sering menulis cerpen dan puisi, Oddang pun memutuskan untuk kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, Makassar. Inilah pertama kalinya dia pergi jauh keluar rumah meninggalkan keluarga dan kampung halamannya.
”Seumur-umur saya tidak pernah meninggalkan Wajo. Dan saat kuliah itulah pertama kalinya pergi ke kota lain,” katanya. Di kampus, Oddang belajar dari lingkungan dan berada di antara orang-orang yang sering membahas buku-buku sastra.
Setiap hari, ia mempunyai pengingat bahwa ada buku sastra yang baru. Dia pun makin banyak membaca karya sastra, bertemu dengan orang-orang yang senang membaca buku. ”Lingkungan saya menjaga saya untuk tetap menulis,” ucap Oddang.
Menulis lebih baik
Saat karya-karyanya mulai dikenal orang, Oddang berupaya menulis lebih baik. ”Saya menulis, orang membaca dan merespons. Ada yang merespons baik, ada yang merespons buruk. Ada yang menulis kritikan atau pujian atas karya saya di blog mereka. Ini menjadi alasan bagi saya untuk menulis lebih baik,” katanya.
Cerita-cerita Oddang sebagian besar bertutur tentang Sulawesi Selatan. ”Meski saya tidak pernah menekan diri untuk menulis tema tertentu, tetapi banyak cerita saya tentang Sulawesi Selatan. Saya hanya merespons hal-hal yang terjadi di sekitar saya,” katanya.
Meski berbasis di daerah, Oddang tetap membuka cara pandangnya. Pengalamannya di Amerika Serikat sangat bermanfaat bagi kepengarangannya. ”Saya belajar keragaman perspektif dalam hal melihat sastra, keragaman gagasan bagaimana orang menulis sastra di tiap negara,” katanya.
Mengenai cerpennya, ”Kapotjes dan Batu yang Terapung”, menurut Oddang, dia pernah berpikir bahwa dirinya sedang merepresentasikan orang-orang yang terpinggirkan. ”Ternyata tidak. Saya hanya merespons cerita-cerita yang saya dengar,” katanya.
”Saya merasa menyuarakan mereka. Saya mendengar cerita dari nenek saya, bagaimana perempuan-perempuan di daerah kami membaluri diri mereka dengan arang supaya tidak dibawa ke tangsi militer. Cerita saya soal tragedi manusia, dominasi orang-orang kuat kepada yang lemah,” tutur Oddang.
Jika kemudian cara berceritanya dalam cerpen tersebut dinilai meledak-ledak, namun dengan bahasa deskripsi tentang kekerasan yang pas, menurut Oddang, dia tidak sedang dalam kondisi marah saat menulis cerita. ”Masalahnya, saya hidup dengan cerita ini. Tidak ada tendensi sebagai upaya untuk berdiri memihak korban. Tetapi, hal ini adalah upaya untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa dengan cara berpikir atau memandang yang lebih baru,” ujarnya.
Bagi Oddang, kekerasan itu ada sejak kita mengenal kata itu. Kekerasan hanya berubah tempat dan pelaku. Cerpen ”Kapotjes dan Batu yang Terapung” mengambil latar masa lalu. ”Kita lihat kekerasan selalu ada dalam berbagai bentuk dan rupa,” kata Oddang.
Faisal Odang
Lahir : Wajo, Sulawesi Selatan, 18 September 1994
Pendidikan: Sarjana Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, Makassar
Bibliografi:
Rain & Tears (Novel, 2014)
Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon (Cerpen Terbaik Kompas 2014)
Puya ke Puya (Novel, 2015)
Pertanyaan kepada Kenangan (Novel, 2016)
Manurung (Puisi, 2017)
Perkabungan untuk Cinta (Kumpulan Puisi, 2017)
Tiba Sebelum Berangkat (Novel, 2018)
Sawerigading Datang dari Laut (Kumpulan Cerpen, 2019)
Prestasi:
Cerpen Terbaik Kompas 2014
Cerpen Terbaik Kompas 2018
Pemenang IV Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014
ASEAN Young Writers Award 2014
Tokoh Seni Tempo 2015
Robert Bosch Stiftung and Literarisches Colloquium Berlin 2018
Iowa International Writing Program 2018
Finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018
FOTO ILUSTRASI: Repro Kompas