Tentang "Drom Kramat" di Aceh Barat
"Sosok-sosok tak dikenal yang sudah tak bernyawa sering ditemukan menyudut, telungkup atau terlentang di semak-semak, di parit-parit, di belakang atau di depan rumah warga, di jalan atau di bawah jembatan. Sosok-sosok tersebut ditemukan dengan kondisi yang "cukup" mengenaskan!" (Aceh, 2000)
PAGI itu, warga Peuribu yang ketika itu masih tunduk di bawah Kecamatan Samatiga Raya, Kabupaten Aceh Barat dikagetkan dengan penemuan sembilan buah drum yang dicurigai terdapat bangkai manusia di dalamnya. Kecurigaan itu menguat tatkala tercium bau menyengat yang diduga berasal dari dalam drum-drum tersebut.
Setelah berembuk, warga--bersama pihak Komando Distrik Militer (Kodim), Kepolisian, dan pihak rumah sakit kabupaten setempat--sepakat membongkar salah dari drum-drum tersebut dengan menggunakan linggis, chain saw (gerjaji mesin) serta dibantu peralatan lainnya.
Benar saja, di dalam drum yang sudah di cor dengan semen itu ditemukan sesosok mayat yang diperkirakan seorang remaja berumur dua puluh tahunan. Anehnya, sama sekali tidak tercium bau busuk. Sebaliknya semerbak wewangian yang menyeruak dari dalam drum yang baru dibongkar itu.
Keterkejutan warga bertambah demi melihat jenazah yang digadang-gadang adalah santri dari salah satu pesantren tersohor di Aceh, dan diduga kuat dibunuh oleh oknum yang tak bertanggungjawab ini, mengenakan jam tangan yang masih berdetak. Seolah hendak menandakan, adanya sebuah kehidupan di balik kematian tragis dari si empunya jam tersebut.
"Delapan drum lainnya tidak dibongkar disini, tapi dibawa oleh pihak berwajib ke kota (Meulaboh) bersama jenazah dari drum yang telah dibongkar tadi. Lempengan drum yang dibongkar tadi dibuang begitu saja di semak-semak sekitar lokasi kejadian," demikian Amirrudin, atau Amir PW a.k.a (alias) Pawang mengawali kisahnya, Kamis, 7 Juni 2018, sore.
Panglima Laot Aceh Barat ini sedang menuturkan kronologi penemuan drum berisikan mayat di desanya pada 2000 silam. Tahun yang menjadi latar kisahnya adalah tahun dimana Aceh atau saat itu dikenal dengan sebutan Daerah Istimewa Aceh sedang berada dalam kemelut. Konflik!
Eskalasi konflik juga sedang berada di puncaknya kala itu. Karenanya, kejadian serupa sudah tidak asing lagi, bahkan menjadi tontonan sehari-hari. Sebagaimana diketahui, saat itu Rakyat Aceh menjalani kehidupan sehari-harinya di bawah kokang bedil dan desing peluru.
Di Aceh Barat, setidaknya terdapat tiga tempat penemuan drum yang diduga dibuang oleh oknum, yaitu selain di Peuribu, di bawah Jembatan Besi Meureubo, dan di bawah Jembatan Kuta Padang Meulaboh.
Menariknya, kisah penemuan drum di Peuribu ini tak berhenti begitu saja. Ia mengabadi dan menjadi warna tersendiri, melekat pada kisah lain yang juga masih setali atau berkaitan erat dengannya.
"Tengku dalam Drom Kramat"
Semua berawal saat seorang petani palawija yang merupakan warga setempat kebingungan dengan kejadian diluar nalar yang dilihatnya. Petani ini kebetulan memiliki lahan yang lokasinya berada di dekat lempengan drum yang dibuang tadi.
"Dia heran, kok tanaman miliknya yang ada di dekat drum itu tumbuh subur, bahkan hama atau hewan lain tak mau mengganggu dan mendekat di dekat drum. Dari situ, si bapak ini berdo'a, dan bernazar, kalau tanaman dia tumbuh subur semua, dan hasil panen bagus seperti yang ada di sekitar drum tersebut maka, ia akan menyumbangkan sedikit hasil panennya untuk anak yatim atau fakir miskin dan dia taruh hasil panennya dekat drum untuk kemudian bisa diambil oleh siapa saja. Kalau tidak salah itu terjadi pada tahun 2002 atau 2003," kata Amir PW.
Entah karena mujur, atau karena Sang Khalik meng-ijabah do'anya, hasil panen petani tersebut cukup memuaskan. Kejadian yang dialami oleh petani yang saat itu bernazar atas karomah (tuah) yang berasal dari--yang disebut oleh Amir PW--kebersihan hati jenazahbremaja yang dibunuh dan di cor di dalam drum tersebut--saat itu mulai menjadi buah bibir. Tidak sedikit yang mengikuti jejak si petani untuk bernazar atas yang mereka sebut, "Tengku dalam Drum Kramat".
Penyebutan "tengku" ini ditabal untuk si jenazah yang sebelumnya ada di dalam drum tersebut, yang oleh warga, dipercaya merupakan seorang santri.
"Ini bukan untuk kesyirikan (menduakan Tuhan), tapi diniatkan saja atas kesalehan si santri itu atau kami sebut si tengku dalam drom. Kebetulan banyak yang saat bernazar berhasil," demikian pria kelahiran 1971 itu bertestimoni.
Sikap warga yang cenderung percaya pada keramat drum tersebut sempat menjadi sorotan. Drum yang saat ini berada di sisi kanan jalan dari arah Meulaboh ke Banda Aceh atau di dekat jembatan Peuribu (Alue Eumpuk) ini sempat dibuang oleh warga yang diduga tidak senang dan mencium adanya aroma kesyirikan pada prilaku warga saat itu.
Namun anehnya, kata Amir PW, setelah dibuang ke semak-semak, beberapa hari kemudian drum tersebut telah berada di tempatnya semula. Kejadian ini semakin memperkuat keyakinan warga bahwa drum tersebut memang bertuah atau keramat.
Konon lagi, saat tragedi gempa-tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam, Peuribu yang jaraknya tidak jauh dari laut dihantam oleh ombak dan memakan banyak korban. Namun aneh bin ajaib, orang-orang yang berlindung atau berada di dekat drum tersebut semuanya selamat.
"Ada sekitar 30 orang yang berlindung disitu, dan semuanya selamat. Saat itu, gelombang tsunami seolah tidak mau mendekat ke area drum tersebut. Hanya mengitarinya saja," sebut Amir PW.
Hal ini, tak ayal semakin mempopulerkan kisah mengenai drum tersebut. Berkisar 2006-2007, ceritera mengenainya meluas hingga ke luar Aceh Barat.
Melihat semakin banyaknya pengunjung yang datang dan bernazar di tempat itu, maka pada 2008, warga diinisiasi Amir PW dan beberapa tokoh masyarakat setempat sepakat untuk membangun rumah dari kayu--yang selanjutnya akan disebut "gubuk" saja ditulisan ini--seluas 3x2 meter untuk para pengunjung yang singgah juga sebagai tempat dititipkannya barang-barang dari para pengunjung yang datang, untuk kemudian dapat digunakan bagi yang memerlukan. Pembangunan dan renovasi terus dilakukan hingga 2010.
"Misalnya orang bernazar: kalau nanti aku selamat sampai ke tujuan ya Rabb, nanti aku titip seekor kambing ke "tengku dalam drom". Maka banyaklah yang menaruh disitu, mulai hewan hingga buah dan lainnya, untuk melepas nazar. Barang yang kemudian bisa diambil dari desa, bahkan warga atau pelintas. Kalau dulu, sebelum ada celeng, itu uang sering diambil warga dan pelintas. Dan itu tidak apa. Memang kami bolehkan," kata dia.
Kini disamping gubuk tersebut terdapat kran air dilengkapi bak berukuran 1x1,5 meter yang sering digunakan untuk wudu, membasuh muka, atau mandi untuk anak bayi, bagi yang melakukan tradisi "turun mandi anak".
Drum tersebut diletakkan di dalam sumur dari beton bersegi tujuh yang dibangun di sisi kanan pintu gubuk. Di dalam gubuk yang sering dijadikan tempat sembahyang hajat ini juga terdapat spanduk bertuliskan "Sumbangan/Hajat Nazar yang Saudara Berikan di Tempat Tengku Dalam Drom Ini Kami Sumbangkan untuk Pembangunan Meunasah Nurul Ikhsan dan Sumbangan Lainnya yang Menyangkut dengan Syariat Islam di Gampong Peuribu."
Di atas drum diletakkan dua buah celengan dari besi yang saling bertindihan. Satu berwarna merah berukuran kecil terletak di bawah, dan satu lagi berwarna putih dengan ukuran lebih besar. Uang yang ditaruh oleh orang-orang yang datang melepas nazar atau di Aceh dikenal sebagai "peuleuh ka'oi" di tempat itu, menurut Amir PW, perbulannya mencapai jutaan rupiah.
"Sebulan terkumpul hingga Rp4 juta. Uangnya kita buat untuk bangun "meunasah" (mushola, red), untuk anak yatim dan fakir miskin dan lainnya," kata dia. Mushola yang dimaksus Amir PW terletak di seberang jalan, lebih kurang 50 meter dari letak gubuk, atau di sisi kiri jembatan, jika dari arah Meulaboh ke Banda Aceh.
Demi menunjang keberadaan drum tersebut. Pemerintah gampong (desa) setempat menggelontorkan dana sebesar Rp30 juta untuk membangun bangunan baru yang permanen, berukuran luas 4x3 meter yang terletak hanya seperlemparan batu dari gubuk yang lama.
Saat mengunjungi lokasi, bangunan tersebut tinggal tahap finishing saja. "Ya, tidak lama lagi selesai. Jadi pengunjung bisa lebih nyaman," demikian Amir PA, ayah dari tiga bersaudara, Pince, Salsabila, dan Anin Dito Argani, suami dari Mak Nong, berceritera untuk mengabadikan tuah "tengku dalam drom."
Teurimong Geunaseh!
Congratulations @atjehfenomena! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
You published your First Post
You made your First Comment
You got a First Vote
You made your First Vote
Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP