#indifolk 4 : Silampukau dan Surabaya
Kali ini saya akan membahas band #indifolk lain yang di request oleh bang @senja.jingga, yaitu Silampukau.
Silampukau merupakan band #indifolk yang berasal dari Surabaya, yang pertama kali terbentuk pada tahun 2009. Walaupun sebenarnya Silampukau terbentuk pada tahun 2008 silam.
Di tahun 2009, band yang dibentuk Kharis mengalami kebuntuan, dan Eki yang sebelumnya mengawali karier perskenaan sebagai manajer band, memutuskan untuk menjajal kemampuan olah vokal lewat suara bariton. Dan Kharis yang sebelumnya pernah menggawangi beberapa band, memutuskan untuk membentuk band folk. Bertemulah Kharis Junandharu dengan Eki Tresnowening, dan bermain bersama di salah satu orkes keroncong yang dibina Jathul Sunaryo, tokoh keroncong di Kampung Petemon, Surabaya. Pria itu berjasa bagi awal karier musik mereka. Dari situlah mereka memutuskan berkolaborasi dan membentuk Silampukau.
Arti Silampukau adalah kepodang, burung kuning keemasan yang indah dengan kicauan merdu.
''Mereka adalah biduan di alam raya. Orang-orang Melayu lampau memanggil burung itu Silampukau,'' ungkap Eki.
Kharis dan Eki mendirikan Silampukau dan merekam single berjudul Berbenah. Di tahun itu pula mereka mengeluarkan EP (Extended Play) Sementara. Namun, pada 2010, mereka memutuskan untuk vakum karena merasa kehabisan ide dengan lagu yang itu-itu saja. Kharis pun malah memutuskan keluar dari musik dan memulai pekerjaan kantoran. Akhirnya di tahun 2013, mereka memutuskan untuk menseriusi kembali musik mereka. Bulan April 2015, mereka mengeluarkan album pertama mereka Dosa, Kota, dan Kenangan.
Mengalunkan musik sendu dengan lirik-lirik kritis, penampilan duo Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening menjadi khas karena hampir semua lagu bergenre folk yang mereka bawakan itu bercerita tentang Surabaya. Mulai permasalahan sosial, suasana kota, hingga perempuan penghiburnya. Potret Surabaya pada lagu-lagu Silampukau memang tak sepenuhnya manis. Mereka berusaha menggambarkan wujud Kota Pahlawan secara apa adanya. Anak-anak yang bermain bola (bola raya), lokalisasi Dolly (Sang Pelanggan), kemacetan Jalan Ahmad Yani (Malam Jatuh di Surabaya), dan masih banyak lagi.
Bagi mereka, lagu-lagu yang bertemakan sosial tersebut adalah lebih ke arah penuturan tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Surabaya, tanpa bermaksud untuk meneriakkan pesan tertentu. Mereka senang bertemu dan mengobrol dengan warga Surabaya di manapun mereka bertemu: terminal, stasiun, pinggir jalan, warung kopi, dan lain-lain. Dari obrolan itulah ide lagu-lagu mereka datang. Selain tema lagu yang rasanya belum pernah dibawakan musisi lainnya, tentu saja yang luar biasa dari mereka adalah lirik dan musiknya. Seperti puisi, liriknya sarat dengan pesan-pesan. Meskipun sederhana, namun musik mereka terdengar sangat indah.
Di tengah arus musik Indonesia yang cenderung ke arah genre pop dan rock, Silampukau justru menekuni jalur musik folk. Hal itu dibuat bukan tanpa alasan.
”Karena keterbatasan untuk membeli gitar elektrik ya kami susah bermain rock. Dengan gitar bolong, kami lalu bermain folk,” ujar Eki.
Namun, lebih jauh dari itu, musik folk dianggap memiliki ruang luas untuk mengeksplorasi.
”Folk punya potensi eksplorasi yang lebih luas daripada genre lain, tetapi itu bagi kami. Eksplorasi yang dimaksud adalah dalam menulis lagu, bukan dalam konteks suara atau yang lain,” kata Kharis.
Saya pun yang baru mendengar karya dari Silampukau langsung suka sama lagu-lagu mereka. Untuk saat ini saya suka lagu mereka yang berjudul "puan kelana". Untuk kalian yang suka lagu agak ngebeat dan kurang suka sama lagu yang melow-melow, mungkin Silampukau bisa masuk ke list musik kalian.
Salam,
Maulidar Ridwan
30 Januari 2018