The Fraternity that Fragrance | Sebuah Persaudaraan yang Wangi |
THE TITLE above me is the adaptation of the title of a short story @kurnia-effendi—A Love of Fragrance (Sebuah Cinta yang Wangi)—which I read about 1993 but I still remember the conflict until now. Several sentences in the story are still strong in the memories. And suddenly, when met with @kurnia-effendi on Friday, May 11, 2018 at the foot of Mount Salak, North Aceh (Indonesia), under a spatter, a few sentences in the short story reappeared.
Imagined in the bubble of my memories, a woman paralyzed in Canada, Mrs Narowsky, sits in a wheelchair and yearns for herself to be a grandmother in Indonesia after she was treated by her beautiful and kind girl from Indonesia, Nina. In his country, after struggling to educate and raise a child to become a successful person, Mrs. Narowsky found the reality thrown into a nursing home for disturbing the busyness of her children. In Indonesia, many grandchildren just miss their grandmother and grandfather.
Once the essence of the story Sebuah Cinta yang Wangi that glorifies the universal love without distinguishing tribe, religion, nation, skin color, and so on. Love is fragrant when it is spread to anyone. Whereas hatred scatters rotten smells and even deaths, like the recent suicide bombings in Surabaya (Indonesia), as well as bombs occurring in any country on earth. The violence that occurs because there is no love in the heart. The love has died for whatever name, perhaps a heaven that will not come with hatred. The violence is not a golden bridge to heaven.
ONCE in Lhokseumawe after a long and exhausting flight from Jakarta, I immediately took the family to the foot of Mount Salak located on the border of North Aceh Regency with Bener Meriah Regency. A few days before, I have obtained the information of the author @kurnia-effendi going to Lhokseumawe to provide writing training to students along with poet @ibedzubaidah.
After the event at the University of Malikussaleh, they sat discussing while sipping coffee with the author @mahdi-idris, @idafitri0825, and Nasrullah Taib. They have an agenda to the foot of Mount Salak to enjoy nature and read poetry. Unfortunately, @mahdi-idris and Nasrullah Taib did not participate.
Under the rain and cool air, @kurnia-effendi reads a poem entitled Seumpama.
Seumpama (Look Like)
If this lying down is your body. With an elongated scar
Maintained for years
I want to wipe with the ingredients of a prayer that accepted by nature:
- The sea that keeps raging
- The wind that always blows
- And the cloud procession
Supposing that is prostate is none other than your body. With his forehead docked the earth
Exceeds the prays of times
I want to be a staunch progeny
Against anxiety with remembrance
Accommodate grief in resigned
Like the treatise at the hands of the caliph
Filling the niches of history
Suppose that this far step is your body. With a shredded and warm robes
Which oceans do you want to go?
Poetry becomes the medium of delivering the message of love to fellow human beings, to nature, and to God. Poetry became a universal language as well as music and sports. When the conscience is dead, the poetry that enlivens it to make love continues to grow and smells fragrant all day long.
Is there a better life without love?
The longing, compassion, and love, made me write a short poem when crossing the street in Banda Aceh, at midnight, Tuesday, May 15, 2018:
The Longing
throughout the night you are entrenched in memory
in a passionate the longing
ran the time till the day changed
our minimalist footprints scattered among the aroma of coffee
waving between breaths
that much is my longing for you
Sebuah Persaudaraan yang Wangi
Judul di atas saya adaptasi dari judul sebuah cerpen @kurnia-effendi—Sebuah Cinta yang Wangi—yang saya baca sekitar 1993 tetapi masih saya ingat konfliknya sampai sekarang. Beberapa kalimat di dalam cerpen itu masih terpatri kuat dalam kenangan. Dan tiba-tiba, ketika berjumpa dengan @kurnia-effendi pada Jumat 11 Mei 2018 di kaki Gunung Salak, Aceh Utara (Indonesia), di bawah hujan rintik-rintik, beberapa kalimat dalam cerpen itu muncul kembali.
Terbayang di gelembung kenangan saya, seorang perempuan lumpuh di Kanada, Mrs Narowsky, duduk di atas kursi roda dan merindukan dirinya menjadi seorang nenek di Indonesia setelah ia dirawat gadis cantik dan baik hatinya dari Indonesia, Nina. Di negerinya, setelah bersusah payah mendidik dan membesarkan anak hingga menjadi orang sukses, Mrs Narowsky mendapati kenyataan dilemparkan ke panti jompo karena mengganggu kesibukan anak-anaknya. Di Indonesia, banyak cucu justru merindukan nenek dan kakeknya.
Begitu inti kisah Sebuah Cinta yang Wangi yang mengagungkan cinta kasih yang universal tanpa membedakan suku, agama, bangsa, warna kulit, dan sebagainya. Cinta itu harum mewangi ketika ditebarkan kepada siapa saja. Sedangkan kebencian menebarkan aroma busuk dan bahkan kematian, seperti kasus bom bunuh di Surabaya (Indonesia), baru-baru ini, dan juga bom yang terjadi di negara mana pun di muka bumi ini. kekerasan yang terjadi karena tidak tidak ada cinta di hati. Cinta telah mati entah atas nama apa, barangkali surga yang takkan datang dengan kebencian. Kekerasan bukanlah jembatan emas menuju surga.
Begitu sampai di Lhokseumawe setelah menempuh penerbangan panjang dan melelahkan dari Jakarta, saya langsung membawa keluarga ke kaki Gunung Salak yang terletak di perbatasan Kabupaten Aceh Utara dengan Kabupaten Bener Meriah. Beberapa hari sebelumnya, saya sudah mendapatkan informasi penulis @kurnia-effendi akan ke Lhokseumawe untuk memberikan pelatihan menulis kepada mahasiswa bersama dengan penyair @ibedzubaidah.
Seusai acara di Universitas Malikussaleh, mereka duduk berdiskusi sambil menyeruput kopi dengan penulis @mahdi-idris, @idafitri0825, dan Nasrullah Taib. Mereka memiliki agenda ke kaki Gunung Salak untuk menikmati alam dan membaca puisi. Sayangnya, @mahdi-idris dan Nasrullah Taib tidak ikut serta.
Di bawah rintik hujan dan udara sejuk, @kurnia-effendi membaca sebuah puisi berjudul Seumpama.
Puisi menjadi media penyampaian pesan cinta kasih kepada sesama manusia, kepada alam, dan kepada Tuhan. Puisi menjadi bahasa universal sebagaimana musik dan olahraga. Tatkala hati nurani telah mati, maka puisi yang menghidupkannya untuk membuat cinta terus tumbuh dan harum mewangi sepanjang hari sepanjang masa.
Adakah kehidupan yang lebih baik tanpa cinta?
Kerinduan, kasih sayang, dan cinta, membuatku menulis sebuah puisi pendek ketika melintasi ruas jalan di Banda Aceh, pada tengah malam, Selasa 15 Mei 2018:
Kerinduan
sepanjang malam dirimu mengakar dalam ingatan
dalam kerinduan yang menggebu
menggilas waktu sampai hari berganti
jejak minimalis kita tercecer di antara aroma kopi
menguar di antara desah napas
sebanyak itulah kerinduanku kepadamu
Dengarkanlah puisi @kurnia-effendi yang mengalir di bawah gerimis romantis:
Seumpama
Seumpama yang terbaring ini adalah tubuhmu. Dengan bekas luka memanjang
Terpelihara bertahun-tahun
aku ingin mengusapkan dengan ramuan doa yang diaminkan alam:
- Laut yang terus bergelora
- Angin yang selalu berembus
- Dan arak-arakan awan
Seumpama yang sedang bersujud ini tak lain tubuhmu. Dengan kening merapat bumi
Melampaui waktu-waktu munajat
Aku ingin menjadi makmum yang tabah
Melawan gelisah dengan zikir
Menampung duka dalam tawakal
Bagai Risalah di tangan khalifah
Mengisi relung-relung sejarah
Seumpama yang melangkah jauh ini semata tubuhmu. Dengan terompah dan hangat jubah
Tanah rantau mana hendak kautuju?
kompak banget ya😁
Kompak merupakan sumber kekuatan @arulphonna123. Saleum kompak.
Sayang keluarga x yah bg, tidak dengan cara mencuci otak keluarga utk melakukan bunuh diri...
Itu cara bekeluarga yang paling menerikan @jamanfahmi.
Wanginya sampai membuat Ida mengubek-ubek brankas untuk menemukan password akun steemit, Bang. 😂😂
Persaudaraan yang indah.
Ayolah @idafitri0825. Aktif lagi idi Steemit. Pindahkan semua kalimat indah dan pesan kuat Ida dari FB ke Steemit. Penggemar @idafitri0825 juga banyak kok di Steemit. Jangan biarkan mereka kecewa.
wah lokasi gunung salak tampaknya menarik sekali. Berapa jauh dari lhokseumawe? Nah ini tempat yang asyik jika dibikin keigatan sastra dan literasi di sana. Sekaligua bisa mempromosikan tempat wisata itu. Saya baru tahu ada lokasi wisata gunung salak ini.
Ini memang lokasi yang baru tumbuh dan sedang menjadi pilihan warga Lhokseumawe, Aceh Utara, dan sekitarnya untuk menikmati hari libur. Dalam perjalanan tugss ke Bener Meriah atau Takengon, kami sering istirahat sejenak di lokasi itu. Tidak terlalu jauh dari Lhokseumawe, Bro @musismail, sekitar satu jam perjalanan. Tapi di musim hujan, harus mewaspadai longsor.
Ketika Cinta dan kasih sayang lerai dari tubuhmu, adakah celah dari nurani yang akan menghembus disela-sela naluri, jangan hukumkan mega yang tak memayungimu, tanyakan angin yang menerpanya..!!!
😊 Sukses selalu abangda @ayijufridar.
Oya, yg benar Nasrullah Thaleb, bang. 😃 Ha ha a