Rio dan Segenap Harap Literasi
Di Aceh, mungkin tidak banyak perkumpulan yang mewadahi aktivitas kepenulisan. Tetapi termasuk ada lah. Salah satunya adalah Forum Lingkar Pena (FLP). Sebuah komunitas yang didirikan oleh Helvy Tiana Rosa 1997, telah memiliki banyak cabang. Termasuk di Aceh.
Tiga hari yang lalu, FLP wilayah Aceh baru saja memilih ketua barunya. Adalah @riodejaksiuroe yang kali ini mendapatkan mandat untuk menahkodai FLP Aceh periode 2018-2020. Bursa calon ketua FLP Aceh memang tak semenarik capres, tetapi ada satu hal yang agaknya bagus diingat; kerja-kerja timses.
Saya masih ingat betul, bagaimana Rio di-branding dan dikampanyekan. Rio beruntung, memiliki teman-teman yang melek disain dan paham konsep. Di saat yang sama, ia juga memiliki buzzer 'ikhlas beramal' yang siap memposting fotonya di kanal media sosial.
Timbul pertanyaan, kenapa saya mau menulis beberapa kali tentang Rio? Padahal saya bukan bagian dari FLP? Saya memiliki harapan dan menitipkan hal-hal yang dapat menggerakkan literasi, salah satunya via FLP. Apakah FLP komunitas yang saya kagumi? Jawabannya biasa saja. Tetapi, saya punya kepedulian terhadap gerak literasi di Aceh, baik lewat komunitas bacaan ataupun kepenulisan. Sekalipun saya tidak bersama mereka dalam platform organisasi.
Yang saya tahu, Rio yang konon juga guru Sukma Bangsa Pidie itu, memiliki banyak bacaan dan relatif variatif. Dan saya juga meyakini, koleksi bukunya melebihi saya. Bahkan membandingkan diri sendiri dengannya, sudah salah besar. Maluk aku! (Dibaca dalam aksen Bergek). Karena itu, harapan saya akan ada warna lebih berbeda di masa kepemimpinannya.
Salah satu ciri khas utama FLP Aceh yang saya lihat terletak pada serba sopannya. Secara anggota, rata-rata adalah mereka golongan akhwat dan ikhwan. Begitu istilahnya. Bacaan pada umumnya, juga 'datar bersyariah', sebut saja karya-karyanya Helvi, Asma Nadia pun Habiburrahman, dst. Bahkan bila ditawarkan buku yang aneh, sebahagian oknum langsung terkejut. Seperti buku yang agak sensual, atau kiri bahkan liberal.
Saya tidak tahu, mengapa sebagian dari mereka cukup kekeh membatasi diri. Entah karena terlalu takut, atau ada doktrin yang dibangun sendiri. Wallahu.
Dulu, FLP Aceh lumanyan sering menghiasi media cetak di tanah rencong; Serambi Indonesia di rubrik budaya; cerpen dan puisi setiap hari minggu. Namun entah mengapa, beberapa tahun terakhir, agaknya sepi sekali. Sebagai penonton, saya melihat grafik FLP menurun. Lalu, kurang muncul kader FLP Aceh yang kaliber. Tentu penilaian saya sangat subjektif, dan tolong dibantah sekeras-kerasnya jika saya keliru.
Di tengah kebekuan itu, mudah-mudahan Rio dengan selera humor yang terbilang lumayan, dapat mencairkan kebekuan tersebut. Rio juga harus lebih open minded terhadap generasi FLP berikutnya. Mempertahankan khas FLP sembari meng-upgrade apa yang absen. Menyodorkan referensi yang mungkin dianggap 'gila'. Hal ini penting, agar saat mereka keluar gelanggang sudah biasa dan tak gampang shock.
Zahlul Pasya adalah salah seorang pentolan FLP yang paling produktif menulis di media cetak. Tetapi Pasya tidak membawa embel-embel FLP. Ia naik satu tingkatan karena tahu latar belakang dan sesuai tulisannya. Pasya menulis opini tentang hukum. Bukan cerpen, novel ataupun puisi yang identik FLP.
Pasya yang juga sudah lulus master di UGM itu, selama di Jogja telah banyak berdialektika. Bacaannya, anti tesis dari FLP pada umumnya. Tentu ia bukan tanpa cacat, tetapi pada suatu waktu saya tahu, ada beberapa oknum di FLP yang menilai Pasya sudah melenceng. Kata 'melenceng' sengaja saya pakai agar lebih halus.
Kasus itu menjadi penguat, bahwa ada ketidaksiapan oleh beberapa oknum di FLP untuk berbeda. Harusnya, ada ruang toleransi lebih terhadap arah pikir, bahkan yang remeh; gendre bacaan. Hal-hal demikian, harusnya lebih pelangi di masa kepemimpinan Rio. Komunitas punya AD/ART sebagai kerangka dan dasar, tapi AD/ADT bukan penjara yang bisa menjengkali ruang gerak eksplorasi pikir anggotanya.
Sudah agak lama, terkhusus Banda Aceh senyap gebrakan karya komunitasnya. Yang banyak adalah mereka yang sedari awal keren dari otodidak, tapi kebetulan ada dalam komunitas. Merekalah, yang kerap mengisi kekosongan dengan ruang hampa. Kelak, andailah FLP bergeliat lebih, ruang literasi kita jauh lebih ceria dengan banyak ekspresi.
Itu hanya sedikit dari harapan sederhana saya. Sebagai seseorang yang mungkin teman dari kawan-kawan di FLP Aceh. Dulu, saat saya masih lugu, kalau tak salah 2013 atau 2012, saya pernah melamar ke FLP Aceh. Saat itu, kalau tak silap ingat sekretariatnya berada di Lambaro Skep. Entah rumah cahaya namanya, entah jalannya; cahaya.
Saat itu, selain wawancara dan sedikit tes. Turut pula diminta hasil karya, apalagi yang sudah dimuat di media massa. Saya menyodorkan guntingan koran yang pernah memuat tulisan kala itu. Tunggu punya tunggu, saya tidak lewat. Jauh waktu berjalan, saya tetap tumbuh sebagaimana manusia lainnya. Bahkan, rata-rata pentolan FLP Aceh di usia matang hari ini adalah teman mendekati akrab. Mungkin kala itu, saya terlalu liar untuk dijinak-sopan-kan. Atau barangkali, terlampau kurang untuk memenuhi kualifikasi yang ditetapkan. Tidak ada sesal di kemudian waktu.
Saya selalu bergairah, manakala bisa memetakan dari luar bagaimana pergerakan komunitas literasi di Aceh. Seperti Dokarim, Komunitas Jeunerob, Kanot Bu, hingga FLP dsb. Bagaimanapun Aceh hari ini dan di masa depan, komunitas (sekecil apapun) adalah ruang didik yang menumbuhkan dengan asa remang yang selalu coba diterangkan. Pijar lilin kala PLN sering pingsan.
Saya menanti seprogresif apa FLP Aceh yang dinahkodai you. Bila hanya mengikuti pola lama, tak akan ada lagi dentingan gelas kopi antara kita.
Selamat bertugas bro!
Ichsan Maulana, hamba Allah yang meraba-raba. Opppsss!