Haji Ramli (bagian II)
Kini, ia menatap wajah kedua anaknya. Dua-duanya sudah beristri dan sama-sama memiliki dua orang anak. Mereka anaknya yang kedua dan ketiga. Yang kedua bernama Suhadi. Tinggi dan berkulit putih (sekarang agak kemerah-merahan). Kepalanya bagian depan sudah ditinggal bulu-bulu yang dulu terhias bagus di atas kepalanya. Anak itu ia beri nama saat sekompi tentara ditempatkan di kampungnya. Dalam kompi itu ada ajudan komandan yang bertubuh tinggi, agak kurus, tapi sangat tampan bernama Suhadi. Demikianlah. Karena tertarik dengan kesopanan tentara itu, yang berbeda dengan teman-temannya yang lain, anak keduanya ia beri nama Suhadi.
Hadi, begitu ia biasa memanggil memang tidak secerdas abangnya yang pertama. Tapi dia dan istri sangat sayang kepada anak itu. Di waktu kecil, anak itu sempat demam. Suhu badannya tinggi. Lalu dokter memvonisnya step. Otaknya mengalami goncangan. Karenanya ia tak boleh dikerasi.
Anak itu memang beda. Ia pendiam. Tak banyak menuntut. Tapi, kalau ngomong, kadang-kadang bikin hati orang sakit. Lima tahun setelah kuliah dan bekerja mengurus minimarket adik istrinya, Hadi lulus PNS dan ditempatkan di Dinas Kelautan dan Perikanan.
Anak ketiga agak pendek. Nama anak itu diberikan Abu Nur, ulama kesohor dari Cot Geulungku. Anehnya, di antara anaknya, anak inilah yang paling bandel. Setamat SMA ia merantau ke Jakarta. Tanpa setahunya anak itu kuliah sambil kerja. Ingat anak itu kerja apa, Haji Ramli pernah mengatakan bahwa ia sudah putus hubungan dengan anak itu. Mengapa tidak? Anak itu bekerja sebagai sopir sekaligus pemuas nafsu perempuan majikannya.
Sekarang, Haykal -- nama anak itu -- sudah punya anak. Istrinya pun pakai cadar. Haykal sendiri kini, ke mana-mana, berpakaian syar'i: celana cingkrang, berpeci, dan tak pernah meninggalkan jamaah sekalipun.
"Anakku, seperti kalian tahu, umurku tak lama lagi. Jika aku pergi, hanya satu yang kukhawatirkan. Kalian tahu apa itu?"
Kedua anak itu menatapnya dengan wajah ingin tahu.
"Kami tahu, Abu. Ibu 'kan?" tebak Haykal. Suhadi mengangguk perlahan. Haji Ramli tersenyum bijak. Lalu menggeleng.
"Bukan," ujarnya. "Bukan ibu kalian. Aku tidak mengkhawatirkan ibu kalian."
Hening sejenak.
"Lantas apa, Abu?"
"Maukah kalian mengabulkan permintaanku kalau aku memberitahukannya?"
Suhadi membaui aroma obat yang menyengat. Dari tadi ubun-ubunnya berdenyut. Sementara Haykal, saat mendengar itu, ia bertekad, apa pun permintaan abunya akan ia kabulkan.
"Aku mau, Abu," jawab Haykal.
"Aku juga, Abu," kata Suhadi.
"Benarkah," kejar Haji Ramli.
"Benar, Abu," jawab keduanya serentak.
Haji Ramli tersenyum. "Perlukah kalian panggil ibumu sebagai saksi?"
Keduanya saling pandang. Jam di dinding menunjukkan angka 8.13 malam.
Perempuan itu istri Haji Ramli, di teras ruang VVIP Mawar yang ditempati suaminya. Mereka berdua sudah berembuk. Itulah yang jalan yang terbaik.
Ketika Haykal mengajaknya ke dalam, ia pun tahu bahwa dia harus menjadi saksi dari keinginan suaminya.
Dan tampaklah tiga wajah yang sangat dikenal Haji Ramli. Pandangannya lebih jelas sejak beberapa hari dirawat di rumah sakit swasta itu.
"Ananda Suhadi, Ananda Haykal. Sebagaimana kalian tahu bahwa kalian menjadi PNS karena ada bantuan Pak Rusdi yang tak lain adalah sepupu kalian karena ibunya Pak Rusdi itu kakak kandungku."
"Aku sudah bersepakat dengan ibu kalian. Dan perlu aku ingatkan bahwa permintaan untuk diri aku saja. Bukan untuk ibu kalian saja. Tapi juga untuk kalian, anak dan istri kalian."
Haykal menunduk dan mengangguk. Ia tahu betul arah pembicaraan abunya. Namun tidak demikian dengan Suhadi. Selama ini ia laki-laki yang biasa dituruti. Namun semenjak berkeluarga, menikah dengan anak Haji Ismail yang memiliki ratusan hektar sawit, dua SPBU, puluhan kapal laut, posisinya dalam keluarga istri ada di urutan terakhir dari menantu-menantu lain. Ia hanya seorang guru di MTsN tak jauh dari rumahnya. Ia guru agama. Aibnya yang disimpan rapat-rapat terbongkar saat ia baru-baru ditempatkan di sekolah tersebut. Ya, ia tak bisa mengaji. Dan aib itu membuatnya khawatir sekali bila muridnya tahu.
"Suhadi, Hakyal," ujar Haji Ramli memutus ingatan Suhadi. Dan panggilan tanpa embel-embel 'ananda' membuat mereka seperti biasa lagi.
"Aku ingin kalian mengundurkan diri dari PNS. Alasanku sejak dulu pernah kuuturakan. Dan sekarang aku sangat yakin bahwa penafsiran Abu Cot Geulungku itu keliru. Aku lebih setuju pendapat Ustad Ruslan di Youtube itu."
Haykal mengangguk. Wajah tersenyum. Tapi tidak dengan abangnya.
Selama ini, di keluarga istrinya ia hanya kacung. Jongos. Apalagi kalau ia berhenti sebagai PNS?
https://steemit.com/betterlife/@gabrielmiswar/haji-ramli (bagian I)
Cc: @anroja, @nazarul, @steemchiller, @stephenkendal, @steemcurator01, @steemcurator02, @fooart, @ewindos, @misterreza, @fendie