tanah airku, aku ingin pulang
Oleh: KH Nadirsyah Hosen
(Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia)
Aku membaca ramai di media sosial, tagar yang berseliweran: #KaburAjaDulu. Katanya, Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Katanya, hidup di negeri orang lebih menjanjikan, lebih lapang, lebih bermakna.
Aku tersenyum kecil.
Sejak 1997, aku telah berada di luar negeri. Aku telah mencicipi hidup di tanah orang, menghirup udara yang berbeda, menyusuri jalan-jalan yang asing, dan menatap langit yang bukan milikku. Ada hari-hari penuh pelajaran, ada pengalaman yang mengasah ketangguhan, ada kisah yang membentuk siapa diriku hari ini.
Namun, jika ada satu hal yang semakin jelas dalam benakku, itu adalah keinginan untuk pulang.
Bukan karena di luar negeri hidup terasa hampa. Bukan pula karena aku gagal berakar di tanah asing. Justru aku menikmati mengajar, mengukuhkan posisi di salah satu kampus hukum terbaik di dunia. Track record akademik dan publikasi menjadi jaminan pencapaianku. Aku ingin pulang bukan karena aku produk gagal di luar negeri. Tetapi karena hatiku selalu tertinggal di tanah air, tempat yang dalam segala riuh dan gaduhnya, tetap menjadi rumah bagi jiwaku.
Aku ingin pulang untuk membangun, untuk menanam benih, untuk melihat tunas-tunas baru tumbuh lebih kuat dari generasiku.
Aku ingin mendirikan pondok pesantren. Aku ingin menunjukkan peta jalan pada para santriku, agar kelak mereka bisa mendunia, melebihi pencapaianku. Aku ingin mengajar di tanah air, meneruskan legasi peninggalan Abahku. Aku ingin mendirikan lembaga kajian strategis tempat para dosen muda dan peneliti pemula aku genbleng habis-habisan untuk menjadi akademisi kelas dunia.
Aku tak mau jadi pejabat, tak ingin lagi masuk dalam lingkaran ormas, tak mengejar jabatan atau pengaruh. Yang aku inginkan hanyalah mencetak generasi yang lebih baik—mereka yang akan menyalakan obor keilmuan, keadilan, dan kebijaksanaan di zamannya.
Aku ingin menyaksikan anak-anak muda dengan mata yang bercahaya, dengan semangat yang menyala-nyala, dengan pemahaman yang dalam tentang ilmu dan kehidupan. Aku ingin mencetak kader yang lebih hebat, yang tak hanya kokoh dalam keilmuan, tetapi juga tangguh dalam menghadapi zaman.
Indonesia tidak sempurna, seperti halnya negeri mana pun di dunia ini. Tetapi bukan berarti ia harus ditinggalkan. Negeri ini, seperti ladang yang luas, butuh tangan-tangan yang mau menggarap, bukan sekadar orang-orang yang pergi mencari ladang lain yang sudah subur.
Aku tak ingin kabur selamanya.
Aku ingin pulang.
Tapi yang ada hanyalah suara-suara sumbang:
“Kalau mau pulang, ya pulang saja. Bertarung dari nol di sini.”
Seolah kepulangan adalah sebuah kesalahan, seolah keinginan untuk mengabdi harus diperjuangkan seorang diri.
Tapi biarlah. Aku sudah terlalu lama jauh, terlalu lama menyaksikan negeri ini dari kejauhan. Aku tak butuh karpet merah, tak meminta panggung, tak menunggu undangan.
Aku tahu, membangun tidak mudah. Mengubah sesuatu lebih sulit dari sekadar mengkritik. Dan mengabdi tak selamanya disambut dengan tangan terbuka.
Tapi aku masih percaya, bahwa niat baik akan menemukan jalannya. Bahwa benih yang ditanam dengan kesungguhan akan berakar, meskipun harus menembus tanah yang keras.
Aku tak membawa banyak.
Aku cuma punya niat baik.
Pengalaman.
Keilmuan.
Prestasi.
Gagasan.
Semangat.
Dan itu sudah cukup bagiku untuk melangkah pulang. Tapi mungkin masih belum cukup bagi tanah airku untuk menerimaku kembali pulang. Entahlah.
Posted through the ECblog app (https://blog.etain.club)